Derin tidak hentinya memandangi pemandangan kota Bogor lewat jendela mobil. Kota Bogor yang terkenal dengan curah hujan yang tinggi, masih menyimpan sedikit kesejukan di siang hari. Meskipun bukan tempat kelahirannya, kota ini menyimpan kenangan tersendiri dalam kehidupannya bersama ibunya. Dan hari ini ia dengan berat hati harus mengucapkan selamat tinggal pada kota penuh kenangan ini.
"Sekretaris Papa sudah mengurus semua yang kamu perlukan di sekolah yang baru. Dia mendaftarkan kamu di sekolah yang sama dengan Nara," ujar Hardana—pria paruh baya yang tidak lain adalah ayahnya—di balik kemudi. Memecah keheningan yang terjadi di antara mereka.
Derin memutar bola matanya malas. "Aku nggak mau satu sekolah sama Nara," balasnya datar. Bertemu dengan Nara setiap saat adalah hal yang tidak pernah ia harapkan.
Untuk pindah ke rumah Hardana saja, ia sudah berat hati. Apalagi jika harus bertemu setiap saat dengan orang yang sudah merenggut sosok ayah dari dirinya?
"Tapi-"
"Pa, Derin nggak pernah minta apa-apa selama ini. Bisa kan kabulin untuk yang satu ini? Biar aku milih sendiri mau pindah kemana," sela Derin sebelum Hardana menyelesaikan ucapannya.
Derin bukan orang yang mudah menyerah jika keinginannya tidak tercapai. Dengan cara apapun akan ia lakukan demi mendapat apa yang ia inginkan. Sekalipun ia harus berdebat terlebih dahulu dengan Hardana.
"Baik, Papa tidak akan memaksa. Tapi tolong, kamu harus belajar menerima Nara dan mamanya," pinta Hardana.
Gadis itu diam-diam mencoba mengingat sudah berapa kali ia mendengar permintaan itu. Dan kini ia sudah mulai muak. Ayahnya hanya tidak mengerti bagaimana sulitnya menerima orang yang telah menghancurkan kebahagiaan kecilnya.
Derin memilih mengabaikan permintaan Hardana. Pria itu harusnya mengerti akan butuh waktu lama bagi Derin menyembuhkan lukanya. Terlebih lagi setelah kehilangan ibunya kemarin.
"Untuk itu, aku nggak bisa janji, Pa." Akhirnya hanya itu yang bisa ia ucapkan.
Tidak lama kemudian, mobil yang dikemudikan Hardana sampai di rumah. Derin yang sempat tertidur langsung terbangun dengan sendirinya ketika mesin telah dimatikan. Ia turun dari mobil mengikuti Hardana yang kini sedang menurunkan koper miliknya.
Derin mengamati rumah yang pernah menjadi tempatnya singgah. Rumah yang dulu juga merupakan tempatnya pulang sebelum akhirnya orang tuanya bercerai. Kini rumah itu tampak berbeda dari terakhir kali ia melihatnya—mungkin sudah hampir sepuluh tahun yang lalu. Dinding yang dulu bewarna abu-abu cerah yang nampak elegan kini berubah warna menjadi biru laut. Halaman depan pun kini dipenuhi oleh berbagai tanaman bunga yang mempercantik suasana rumah—dulu tidak banyak tananam di sini. Rupanya rumah ini sudah banyak berubah.
Ternyata secepat itu waktu berjalan. Secepat itu pula waktu merubah segalanya.
"Ayo masuk," ajak Hardana.
KAMU SEDANG MEMBACA
TWISTY ✓
Teen FictionMemilih atau dipilih? Dengan cepat Derin mengarahkan jari telunjuknya pada opsi pertama. Dalam hidup ini dialah yang harus menentukan. Tidak perlu saran, tidak peduli komentar. Karena prinsip Derin; garis hidupnya terletak pada garis telapak tangan...