Arka menghela napas kasar. Sudah hampir lima menit ia berdiam diri di depan sosok yang saat ini ingin habisi sampai mati. Cowok itu benar-benar sudah melebihi batas. Bahkan dengan beraninya dia menyentuh seseorang yang paling berharga di hidupnya, ayahnya.
Arka menatap tajam Tristan. Sementara yang ditatap justru menyunggingkan senyum meremehkan. "Gue harap selama di sini lo sadar atas semua tindakan jahat yang lo perbuat."
"Lo pikir lo menang setelah berhasil jeblosin gue ke sini?" Tristan tertawa hambar.
Tatapan Arka semakin menghunus, jemarinya sudah terkepal kuat, siap meluncurkan satu bogeman mentah ke rahang cowok itu. Namun, sekuat mungkin Arka menahannya. Ia hanya tidak ingin menambah masalah, karena sekarang dirinya berada di kantor polisi.
"Jangan pernah lo ganggu orang-orang terdekat gue. Kalau sampai lo nyelakain bokap atau bahkan sahabat-sahabat gue lagi, gue nggak akan pernah tinggal diam." Arka terdiam sebentar. "Gue bakal bikin lo membusuk selamanya di tempat ini."
Tristan tersenyum, seolah tidak ada penyesalan di hidupnya. "Lo pikir lo siapa ngatur-ngatur hidup gue?" tanyanya.
Tristan mengehela napas panjang. Kemudian menyandarkan tubuhnya pada bahu kursi. "Bukannya hidup ini nggak adil?" tanyanya, masih dengan senyum di ujung bibir. "Kita mencintai, tapi nggak dicintai. Kita dicintai, tapi nggak mencintai. Di saat gue ngerasain salah satu dari itu, lo justru merasa kebebasan karena cinta lo berbalas. Lo pikir itu adil?"
"Lo tau hal yang paling nggak adil di dunia ini?" balas Arka. "Saat lo nggak bisa menerima kenyataan," lanjutnya dingin.
Tristan terdiam. Seakan ucapan Arka tepat mengenai sasaran.
"Lo terbelenggu hasrat memiliki sesuatu yang bahkan nggak ditakdirin hadir di hidup lo. Lo merusak kebahagiaan orang lain, agar kebahagiaan itu berpindah tangan ke diri lo. Lo cuma psikopat yang nggak akan pernah dapet cinta setulus apa pun. Apa gue salah?"
Kedua jemari Tristan terkepal kuat di atas meja. Dia berdecih menatap Arka. "Derin gimana? Apa dia berhasil hidup dengan cara kotor yang pernah dia perbuat?"
"Lo---" Arka menggeram, hingga otot-otot lehernya terlihat.
"Ini terakhir kali gue peringatin. Jangan pernah ganggu kehidupan gue, dan sahabat-sahabat gue lagi," ujar Arka dingin. Kemudian segera berlalu meninggalkan Tristan dengan emosi naik-turun.
Tristan mengedikan bahu, menyingrai lebar menatap kepergian Arka.
"Ada---" Arka mengantupkan bibirnya ketika menyadari ia dan juga Nara mengeluarkan kalimat yang sama. Hampir tiga puluh menit mereka terjebak dalam keheningan. Bahkan makanan yang mereka pesan pun sudah terasa mendingin sekarang.
"Lo dulu," titah Arka. Yang langsung disambut gelengan kecil dari Nara.
"Nggak, lo dulu."
Tidak mau memperpanjang perdebatan antara siapa yang akan berbicara terlebih dahulu. Arka pun menghela napas pelan. "Kenapa lo nggak jujur dari awal?"
KAMU SEDANG MEMBACA
TWISTY ✓
Teen FictionMemilih atau dipilih? Dengan cepat Derin mengarahkan jari telunjuknya pada opsi pertama. Dalam hidup ini dialah yang harus menentukan. Tidak perlu saran, tidak peduli komentar. Karena prinsip Derin; garis hidupnya terletak pada garis telapak tangan...