"Ar," panggil Derin.
Arka hanya berdehem. Ia bertopang dagu.Jemarinya sesekali membalik lembar demi lembar halaman buku yang tengah ia baca saat ini.
"Baca apa, sih!" geram Derin.
Bukannya belajar cukup di sekolah, ya? Kenapa harus di rumah sakit? Kenapa harus saat menemani Derin?
Arka menutup bukunya. Menaruhnya kembali ke dalam tas. "Gue ceritain pun lo pasti nggak ngerti."
"Bukannya nggak ngerti, tapi nggak mau!"
"Terus mau lo apa?"
Derin terdiam sesaat, lantas melirik jahil. "Kalau gue sebutin, emangnya mau lo turutin?"
"Emang kemauan lo ada di gue?" tanya Arka. Yang mana langsung dibalas cubitan kecil dari Derin.
Arka meringis sakit. "Kemauan lo nggak lucu," dengusnya, seraya mengusap lengannya yang sedikit memerah.
"Bukan nyubit, ih!"
"Terus apa?"
Derin tersenyum sepintas. "Mana hp lo?"
"Mau ngapain lagi?" tanya Arka, seraya mengeluarkan ponselnya dari saku celana.
Tanpa menjawab, Derin langsung merebut ponsel cowok itu. Jemarinya mencari fitur kamera, lalu memencetnya dengan yakin.
"Sini deh,"
Arka yang belum paham pun, mengikuti instruksi Derin dengan patuh. Ia mendekatkan diri ke arah Derin, mencoba melihat apa yang tengah dilakukan cewek itu.
Mata Arka membola begitu melihat wajahnya dengan Derin terefleksikan di layar kamera ponselnya. Arka memundurkan wajah seketika. Tiba-tiba pipinya terasa memanas.
"Nggak mau!"
Derin merengut, ia menarik seragam sekolah Arka. "Sekali ajaaa," rengeknya, dengan wajah yang super demi apapun pengen Arka cubit sekarang.
"Enggak,"
"Nggak nolak, kan?"
"Nggak mau."
Derin menekuk kembali bibirnya. "Gue banting nih," ancamnya, mengangkat ponsel Arka tinggi di udara.
"Banting aja."
"Oh, oke! Tiga," Derin mulai menghitung mundur.
Arka masih biasa saja, karena yakin Derin tidak akan berani membanting ponselnya.
"Dua,"
Arka mulai was-was.
"Sat---" Derin mulai mengayunkan tangannya.
"Gue nggak main-main lho ini?" Derin memperingatkan sekali lagi.
"Sat---"
"Oke, oke," Arka menahan napasnya. Lantas menghembuskan dengan pasrah. Ia baru sadar jika Derin itu keras kepala, dan selalu tidak terduga dalam melakukan segala tindakan. Jadi, ia tidak mau ponselnya menjadi korban.
"Sekali aja tapi," ujar Arka memperingatkan Derin.
Derin mengangguk, seraya menautkan ibu jari dan telunjuknya, pertanda 'oke.'
Arka mendekatan wajahnya ke arah Derin. Benar-benar Dekat. Mungkin hanya terpaut beberapa senti saja. Jujur, ia sebetulnya jarang berfose di depan kamera. Menurutnya itu hal yang tidak berguna, membuang-buang waktu, dan lain-lain.
Dulu fotonya dengan Nara pun tidak banyak. Itu pun Nara juga yang memaksanya agar mau di foto. Ini kali kedua Arka berfoto dengan seorang cewek yang 'memaksanya' juga. Siapa lagi jika bukan Derin.
KAMU SEDANG MEMBACA
TWISTY ✓
Fiksi RemajaMemilih atau dipilih? Dengan cepat Derin mengarahkan jari telunjuknya pada opsi pertama. Dalam hidup ini dialah yang harus menentukan. Tidak perlu saran, tidak peduli komentar. Karena prinsip Derin; garis hidupnya terletak pada garis telapak tangan...