"Ra!" Derin memanggil Nara sedikit lebih keras. Ia menghadang langkah cewek itu di ambang pintu kamarnya. Nara menatap Derin seolah meminta cewek itu menyingkir dari hadapannya. Jangan harap ia melakukan yang Nara minta.
"Mau lo apa?" tanya Nara to the point.
"Tristan apa kabar?" tanya Derin basa basi membuat Nara mengernyitkan dahinya. "Setelah dia berhasil masukin Nino ke penjara?" lanjut Derin menjawab pertanyaan Nara tentang tidak biasanya cewek itu bertanya soal Tristan.
"Gue nggak tau dan nggak mau tau lagi soal dia," jawab Nara malas. Ia mendorong tubuh Derin pelan agar memberinya jalan.
"Tapi sayangnya lo juga udah terlibat terlalu jauh, Ra," balas Derin telak. "Seseorang harus di penjara untuk mengakui kesalahan Tristan. Dan lo mau diem aja?"
"Trus lo mau gue ngapain?!" Suara Nara meninggi. Sudah cukup ia merasa lelah dengan semuanya. Tetapi Derin sama sekali tidak memberinya waktu untuk istirahat.
"Lo harus bantuin Nino," ujar Derin tenang. Ia sudah mengesampingkan egonya untuk meminta bantuan Nara. Seharusnya cewek itu mau membantunya.
"Gue nggak mau terlibat apapun lagi sama dia," balas Nara dingin.
Derin berdecak kesal. "Masalahnya ini semua ada sangkut pautnya sama lo. Tristan lakuin hal kayak gitu juga karena siapa? Karena lo!" Kesabaran Derin mulai terkuras. Mungkin memang jika ia harus berhadapan dengan Nara meninggikan suara itu diperlukan.
"Lo pikir gue yang minta dia lakuin semua itu?" balas Nara tidak kalah emosi. Ia mendengus menahan gejolak amarahnya yang sempat terpendam.
"Jadi, kesimpulannya lo nolak bantuin Nino?" ucap Derin menarik kesimpulan. Sementara Nara bungkam. "I see. Gue rasa semua akan baik-baik aja buat lo selama bukan Tristan yang dipenjara. Right?"
Nara menghembuskan napas lelah. "Tristan bukan orang yang bisa lo hadapi semudah itu, Der,"
Derin mengangguk, menyetujui ucapan Nara. "Dari awal gue liat Tristan nganterin lo pulang. Gue udah feeling pasti ada sesuatu yang nggak beres,"
Nara tidak membalas lagi ucapan Derin. Terjadi jeda yang cukup lama sampai akhirnya Derin terpaku mendapati Arka dan Arya tengah berdiri di dekat tangga. Tatapannya beradu dengan Arka yang menatapnya dengan sorot dingin. Sedetik kemudian Derin menyesali ucapannya tadi.
"Lo berdua se—sejak kapan di situ?" tanya Derin sedikit terbata. Menyadari kesalahan yang baru saja ia buat.
Tanpa kata Arka beranjak dari sana. Melewati Derin begitu saja. Mengabaikan Arya yang mencoba menahannya. Lalu meleburkan diri bersama hujan yang membasahi bumi. Larut dalam petrikor yang menilisik indra penciumannya.
"Ar, tunggu," Derin mengejar Arka tanpa peduli hujan yang kini menerpanya. Ia menahan lengan cowok itu begitu Arka terkejar. "Dengerin gue. Gue bisa jelasin,"
"Gue udah denger semuanya," balas Arka lebih dingin dari hujan membasahi mereka. "Gue nggak nyangka lo juga fake, Der!" Sorot mata Arka kian menajam seakan mampu menohok Derin kala itu juga.
Tangis Derin pecah. Air matanya tersamarkan oleh tetesan hujan yang kian deras. Sekuat mungkin ia menggenggam tangan Arka yang selanjutnya ditepis dengan kasar. "Gue—"
"Lo semarah itu sama Arya, tapi lo juga lakuin hal yang sama. Apa bedanya?! Apa lo sengaja hancurin hubungan gue, Arya, sama Nara?!" Deru napas Arka semakin memburu seiring emosi yang yang semakin menguasainya. "Gue pikir lo orang yang paling bisa gue percaya saat ini, tapi nyatanya—"
"Itu semua karena gue suka sama lo, Arka!" sela Derin dengan gemetar karena menahan dingin yang mulai menyerang. Detak jantungnya bergemuruh semakin setelah pengakuan singkatnya. Kini matanya menatap Arka sendu seakan mengatakan bahwa ia sungguh-sungguh. "Gue suka sama lo," ulang Derin.
KAMU SEDANG MEMBACA
TWISTY ✓
Teen FictionMemilih atau dipilih? Dengan cepat Derin mengarahkan jari telunjuknya pada opsi pertama. Dalam hidup ini dialah yang harus menentukan. Tidak perlu saran, tidak peduli komentar. Karena prinsip Derin; garis hidupnya terletak pada garis telapak tangan...