"Arrghh," rintih Arka ketika suster membersihkan luka di wajahnya. Matanya melirik Derin yang menunggu di hadapannya.
Derin berhasil menarik Arka paksa menuju IGD untuk mendapat pertolongan pertama setelah mengobrol singkat dengan Sarah. Pikirannya terbang kemana-mana ketika Arka tidak memberinya jawaban darimana luka itu ia dapat. Cowok itu masih membisu atau bahkan mengalihkan pembicaraan setiap kali ia punya kesempatan untuk bertanya.
"Lo berantem sama preman mana lagi sih, Ar?" tanya Derin mencoba peruntungan sekali lagi. Ia pikir, ia harus bertanya sampai mulutnya berbusa jika perlu—sampai cowok itu mau bicara.
"Lo ngapain ke ruangan Tante Sarah?" Arka justru berbalik bertanya. Untuk kesekian kalinya tidak mengindahkan pertanyaan Derin.
Derin mengelus dadanya, mencoba untuk bersabar. "Lo berantem sama siapa, Arka?" tanya Derin kali ini dengan penuh penekanan. "Lo nggak mungkin mau mengotori tangan lo kalau bukan karena sesuatu yang mengharuskan lo nonjok orang," Derin menunjuk buku jari Arka yang sedikit ternoda darah yang sudah mengering.
Arka menghela napas bersamaan suster yang selesai menempel plester di rahangnya. "Makasih, Sus," kata Arka begitu suster yang mengobati lukanya berlalu dari hadapannya. Kini ia memfokuskan dirinya kepada cewek yang tengah merajuk karena pertanyaannya tidak kunjung ia jawab.
"Tadi ada ibu-ibu yang dirampok, trus gue tolongin," ujar Arka akhirnya—tanpa Derin tahu ia sedang berdusta.
"Serius?"
Arka mengangguk. "Emang gue keliatan bohong?" Cowok itu mengenakan kembali jaketnya sambil beranjak meninggalkan ruang IGD.
Arka memang terlihat sangat meyakinkan. Membuat Derin mau tidak mau harus percaya. Secepat mungkin ia mengenyahkan pikiran buruk yang sedari tadi mengganggunya.
"Jangan berantem lagi," cicit Derin. "Kasian muka lo jadi jelek," lanjutnya asal. Derin segera melangkah mendahului Arka. Entahlah rasanya ia ingin melarikan diri saja dari hadapan Arka setelah ucapan asalnya—yang secara tidak langsung mengatakan bahwa Arka tampan jika tidak babak belur.
Arka hanya mengulum senyum seraya menyejajarkan langkahnya dengan Derin. "Bokap lo belom dateng?" Biasanya Arka akan pulang ketika Hardana datang untuk menggantikannya menjaga cewek itu. Ini sudah pukul setengah tujuh malam tetapi belum ada tanda-tanda Hardana akan datang.
"Biasa, orang sibuk," jawab Derin seadanya. Kenyataannya memang begitu. Baru akhir-akhir ini Hardana mau meluangkan sedikit waktunya untuk Derin. Meskipun hubungan keduanya masih sedikit terasa canggung, namun setidaknya itu lebih baik dari sebelumnya.
Arka mengangguk paham. Kini keheningan mengiringi setiap langkah mereka. Lidah Arka rasanya kelu, tidak tahu apa yang harus ia bicarakan lagi. Terlebih lagi Derin tidak se-berisik biasanya.
"Lo kenapa lebih diem dari biasanya?" Derin sadar betul jika ada sesuatu pada Arka. Cowok itu akan selalu lebih diam jika ada sesuatu yang menggangu pikirannya. Sayangnya tidak semudah membalikkan telapak tangan untuk Arka membagi pikirannya kepada Derin.
"Arka, Derin,"
Sepertinya Arka harus berterimakasih kepada Arya yang baru saja memanggil mereka. Arka jadi tidak perlu menjawab pertanyaan Derin yang begitu sulit untuk ia jawab. Kini yang menjadi fokus mereka hanya Arya yang berlari ke arah mereka.
"Gue cari kemana-mana juga," keluh Arya sambil sibuk mengatur napasnya.
"Kita abis dari ruangannya Tante Sarah," ucap Derin memberitahu.
"Ohh, kirain dari mana," balas Arya.
"Lo ngapain ke sini?" tanya Derin sekaligus mewakili Arka.
KAMU SEDANG MEMBACA
TWISTY ✓
Teen FictionMemilih atau dipilih? Dengan cepat Derin mengarahkan jari telunjuknya pada opsi pertama. Dalam hidup ini dialah yang harus menentukan. Tidak perlu saran, tidak peduli komentar. Karena prinsip Derin; garis hidupnya terletak pada garis telapak tangan...