Entah sudah berapa jam Derin terjebak di ruangan ini. Mungkin hampir dua puluh empat jam. Rasa lapar dan haus yang sempat menyerangnya kini tergantikan rasa sesak karena kurangnya sirkulasi udara. Tubuhnya yang mulai melemas ia sandarkan pada dinding sedari tadi. Sama sekali ia tidak bisa berbuat apa-apa.
Tidak bisa begini. Waktu Derin sudah banyak yang terbuang. Setidaknya ia harus melakukan sesuatu untuk melarikan diri. Matanya mengedarkan pandangan ke sekelilingnya, mencari sesuatu yang mungkin bisa ia gunakan untuk memutus tali ini. Selang beberapa menit Derin menemukan ada sebuah kotak yang kemungkinan besar berisi perkakas di sebelah kanan tumpukan kayu dekat pintu. Sekitar lima meter dari tempatnya berada. Kemungkinan Tristan tidak menyadari adanya kotak itu di sana.
Susah payah Derin menghampiri kotak itu. Butuh waktu yang tidak sedikit hingga ia tiba di depan kotak itu. Kedua tangannya berkerja keras untuk membuka kotak itu sebelum tiba-tiba pintu ruangan itu terbuka. Seketika Derin menutupi kotak itu saat Tristan datang. Matanya membulat sempurna begitu melihat Tristan tidak sendiri.
"Derin, lo nggak apa-apa?"
Nara. Untuk apa pula Tristan membawa cewek itu ke sini?
Tristan mencengkeram salah satu lengan Nara agar cewek itu tidak leluasa bergerak. Kini tatapannya beralih kepada Derin yang tercengang melihat kehadiran Nara.
"Ah, gue sengaja ngajak Nara ke sini," kata Tristan seakan menjawab pertanyaan Derin meski tidak sepenuhnya.
"Gue udah di sini, sekarang lepasin Derin seperti yang lo bilang tadi!" tegas Nara dengan sorot setajam mungkin. Ia mencoba tidak gentar berhadapan dengan Tristan.
"Lo pikir semudah itu?" balas Tristan tersenyum licik.
Sialan lo, Tristan! Lagi dan lagi Derin hanya bisa berseru dalam hatinya.
"Mau lo apa lagi?!"
Tristan tidak menjawab pertanyaan Nara. Ia langsung menarik cewek itu dengan paksa meninggalkan Derin tanpa lupa menutup pintunya lagi.
Demi Tuhan, kenapa ada cowok gila macam Tristan di dunia ini?
Derin dengan tangan gemetar melanjutkan pekerjaannya yang tertunda. Begitu kotak itu terbuka, ia benar menemukan perkakas seperti palu, paku, cutter, gunting dan yang lainnya. Derin mencoba mengambil cutter itu dengan susah payah. Gerakannya terhenti ketika Tristan kembali masuk ke ruangan itu.
"Gue jadi terharu sama persaudaraan kalian," gumam Tristan sambil duduk di salah satu kursi kayu yang mulai lapuk. Cowok itu mencondongkan tubuhnya ke arah Derin. "Bukannya Nara terlalu baik sama lo, setelah apa yang lo lakuin selama ini?"
Derin tentu saja bergeming. Kesempatan untuk bicara saja ia tidak punya. "Ah, iya, gue lupa," Tristan membuka lakban Derin agar cewek itu bisa membalas ucapannya.
"Dimana Nara?!" sahut Derin tidak sabar. Mengetahui keberadaan cewek itu kini adalah yang terpenting.
Tristan menyeringai. "Gue bosen nih. Mau main game?" tawar Tristan.
Derin mendengus kesal. "Gue tanya sekali lagi, dimana Nara?"
"Tenang. Dia aman kok," jawab Tristan enteng. "Gue jadi penasaran. Siapa yang akan diselamatin Arka duluan. Lo atau Nara," lanjut Tristan menimang.
Apa ini permainan yang dimaksud Tristan? Tentang siapa yang akan diselamatkan lebih dulu oleh Arka. Derin tertawa sumbang. Tristan pasti sudah tahu jawabannya.
"Lo mau taruhan?" tanya Tristan masih dengan senyum menyebalkan bagi Derin. "Kalo Arka nolong lo lebih dulu daripada Nara, gue nggak akan ganggu kehidupan kalian lagi bahkan Nara sekalipun,"
KAMU SEDANG MEMBACA
TWISTY ✓
Teen FictionMemilih atau dipilih? Dengan cepat Derin mengarahkan jari telunjuknya pada opsi pertama. Dalam hidup ini dialah yang harus menentukan. Tidak perlu saran, tidak peduli komentar. Karena prinsip Derin; garis hidupnya terletak pada garis telapak tangan...