Senin pagi yang cerah ketika Derin menginjakkan kakinya di taman kota. Tadinya ia berniat berangkat sekolah, tetapi tiba-tiba saja ia memilih turun di halte taman kota. Kali ini ia tidak membawa motor karena rasanya ia tidak akan bisa menyetir dengan benar. Pikirannya sedang bercabang kemana-mana tanpa arah.
Derin berjalan santai sambil mengedarkan pandangan ke sekitarnya. Banyak pejalan kaki serta orang-orang yang sedang berolahraga. Tidak seperti dirinya yang membolos sekolah karena patah hati. Derin belum siap untuk berhadapan lagi dengan Arka. Padahal Arka sendiri juga pasti tidak ingin bertemu dengannya. Kemudian ia tertawa dalam hati, tepatnya menertawakan dirinya sendiri.
Pagi ini Nara mengatakan hal yang seharusnya ia dengar waktu itu—di hari Arka mengetahui kebenarannya. "Gue mau bantuin Nino," Itu yang dikatakan Nara sebelum Derin keluar dari rumah.
"Kenapa?"
Derin ingat betul jawaban Nara. "Gue lakuin ini buat nebus kesalahan gue ke lo semua, terutama Arka,"
"Baguslah," balas Derin setengah hati. Sekarang ia benar-benar merasa tersingkirkan dari kehidupan Arka. Pada akhirnya yang paling Arka butuhkan saat ini bukanlah dirinya.
Katakanlah Derin ingin menjadi sosok yang penting bagi Arka seperti ia menganggap Arka adalah bagian terpenting dalam hidupnya. Ia ingin melakukan sesuatu untuk Arka. Menebus semua kesalahan yang ia buat. Sayangnya, Derin tidak tahu harus berbuat apa.
"Gue harus apa, Ar? Supaya lo maafin gue," gumam Derin seraya menghentikan langkahnya hingga ia terduduk di salah satu bangku yang pernah ia duduki bersama Arka.
Derin berpikir keras. Memutar otaknya apa yang bisa ia lakukan untuk membantu Arka membebaskan Nino. Hingga sebuah ide gila terbesit di pikirannya.
Derin membuka resleting tasnya, mencari kertas kecil berisikan nomor telepon. Ia berhasil menemukannya di sela-sela buku tulisnya. Jangan tanya kenapa ia masih menyimpannya. Ia langsung mengetikkan beberapa angka itu di layar ponselnya. Hingga terdengar nada sambung. Tidak lama kemudian panggilannya dijawab.
"Gue mau ketemu lo, di kafe Angkasa sepulang sekolah nanti. Gue akan merasa terhormat kalo lo mau meluangkan waktu," Derin menunggu jawaban dari seberang.
"Okey,"
Setidaknya Derin harus mencoba melakukan sesuatu. Sekalipun ia harus masuk ke dalam kandang musuhnya, akan ia lakukan.
Derin merapikan semua bukunya di atas meja dengan terburu. Kali ini ia duduk sendiri karena Arka lebih memilih duduk di bangku Nino yang kosong. Pada akhirnya ia memutuskan untuk datang ke sekolah, meskipun ia sangat terlambat. Beruntung hukuman yang ia terima sebatas tidak masuk kelas ketika jam pertama dan kedua.
"Gue cabut dulu, Ya," pamit Derin kepada Arya sambil menepuk bahu cowok itu, mengabaikan Arka yang duduk di samping Arya. Lagipula sejak tadi memang tidak ada interaksi apapun di antara mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
TWISTY ✓
Teen FictionMemilih atau dipilih? Dengan cepat Derin mengarahkan jari telunjuknya pada opsi pertama. Dalam hidup ini dialah yang harus menentukan. Tidak perlu saran, tidak peduli komentar. Karena prinsip Derin; garis hidupnya terletak pada garis telapak tangan...