34 / 1
○ Lagi ○
-:-:-:-:-:-
"Kamu mau berpisah darinya?"
Naora mengepal tangannya yang ada di atas pahanya.
Lidahnya kelu. Dia tidak bisa berkata apa-apa.
"Kamu sudah tidak mencintainya?"
Kali ini Naora menatap laki-laki di hadapannya lalu menggeleng pelan.
"Aku masih mencintainya, tapi jika terus bersamanya aku takut akan terus menyakitinya."
Air matanya jatuh namun segera ia hapus.
Naora mengalihkan pandangannya, memandang sekeliling ruangan itu yang terasa begitu sunyi. Selain hanya karena 3 orang di ruangan tersebut, mungkin juga karena efek yang ditimbulkan dari kejadian-kejadian yang terjadi di ruangan ini.
Ruang persidangan cerai tidak seharusnya memberikan kehangatan dan kenyamanan, bukan?
"Kamu yakin suami kamu juga ingin berpisah darimu?" tanya laki-laki yang akan menjadi mediator-nya dengan Daffa.
"Setidaknya dia juga pasti akan memilih untuk tidak saling menyakiti lagi," jawab Naora.
"Meski itu artinya saya dan dia harus berpisah."
"Benarkah? Saya lihat suami kamu masih terus ingin bersama kamu."
Kening Naora berkerut. "Dari mana Bapak dapat menyimpulkan hal itu? Bertemu saja baru sekali, ya kan?"
"Saya sudah banyak menghadapi kasus-kasus yang bahkan lebih parah dari yang Ibu alami, dan banyak juga yang terlalu cepat mengambil keputusan untuk berpisah, mungkin.. sekarang mereka sering menyesali keputusan tersebut," jelasnya lalu memandang Naora tepat di manik matanya.
"Saya tidak mau daftar itu bertambah panjang."
Air mata Naora kembali menyesak keluar. Kali ini sampai pundaknya gemetar menahan tangisnya supaya tidak meledak.
"Saya... saya tidak lagi dapat membedakan mana kebohongan dan mana kejujuran dari setiap kata yang suami saya ucapkan, saya... saya..."
Sebelum Naora dapat melanjutkan kata-katanya, sebuah tangan kecil mengusap pelan tangannya.
Betapa terkejutnya Naora ketika melihat seorang anak kecil tengah memandangannya dengan tatapan sendu.
"Si-siapa kamu?" tanya Naora.
Anak perempuan kecil itu tidak menjawab pertanyaan Naora. Tangannya yang tadi mengusap tangan Naora, kini beralih ke pipinya, dihapusnya air mata yang mengalir di pipi Naora.
"Bunda..."
Satu kata, tapi mampu memberikan jawaban kepada Naora.
Gak mungkin...
Gak mungkin...
"Bunda jangan pisah sama Baba, nanti Nada di surga sedih..."
Ya Tuhan...
"Nada mau Bunda tetep sama Baba, Nada udah gak apa-apa Bunda... nanti kan kita ketemu lagi, Bunda tunggu sebentar lagi ya?"
Ya Tuhan...
Dan air mata Naora akhirnya meledak ketika merasakan kedua tangan mungil itu melingkari lehernya lalu memeluknya.
"Baba sayang sekali sama Bunbun, Nada juga sayang sekali sama Bunbun..."
"Na-nada sayang... anakku..."
"Iya bun, ini Nada..."
"Bunda tetep sama Baba ya?"
Dan Naora langsung mengangguk lalu berlari keluar ruangan yang begitu menyesakkan itu.
Berlari...
Dia terus berlari...
Sampai dia melihat seseorang yang begitu dia kenal...
Seseorang yang begitu dia cintai namun juga yang dia sakiti...
Namun, sebelum semuanya terlambat, dia ingin memperbaiki semuanya...
Sebelum...
"Mas Daffa!" teriak Naora, berusaha menghentikan Daffa yang hendak memeluk seorang wanita.
"Mas!" teriaknya lagi namun tetap tidak Daffa gubris.
Teriakan Naora seperti tidak didengar oleh Daffa.
Teriakannya, seolah hanya menggema di telinganya saja.
Teriakannya...
Seolah menunjukkan bahwa dirinya sudah terlambat...
*****
Naora's POV
Rasanya begitu nyata...
Mimpi yang baru saja ia alami, terasa begitu nyata...
Kata orang, jika seseorang berhasil masuk ke dalam mimpimu, itu berarti alam bawah sadarmu begitu memikirkan orang tersebut.
Dan untuk kedua kalinya, aku bermimpi buruk tentang Daffa.
Berbeda dari yang sebelumnya, kali ini, ketika aku membuka mata dengan tangisan yang sudah tidak mampu lagi aku hentikan, Daffa tidak ada di sampingku.
Sontak aku langsung bangun dari tidur dan mencoba menghubungi nomornya. Menghubungi dirinya yang sudah dua hari itu tidak pulang ke rumah.
Selama dua hari ini aku tidak mencarinya, karena ku pikir Daffa sedang membutuhkan waktu untuk sendiri, aku pun demikian.
Setelah mimpi yang begitu menyakitkan yang terasa sangat nyata itu, aku tidak lagi berpikir dua kali untuk menghubunginya, tapi...
Nomor yang anda sedang tidak aktif, cobalah beberapa saat lagi..
Ponselnya dimatikan.
Dengan kalap aku langsung mengambil cardigan tipisku, kunci mobil, dan ponsel.
Aku harus menemukan Daffa sebelum mimpi burukku itu berubah menjadi kenyataan.
Karena jika iya...
Aku tidak tahu lagi bagaimana caranya memperbaiki ini semua.
Kesalahanku...
Yang membuat Daffa menyerah padaku...
🍀🍀🍀🍀
AN:
Maaf membuat kalian menunggu lama dan sekalinya up malah pendek.
Aku belum sempet melanjutkan nulis lagi karena dua minggu ini lagi hectic dengan pekerjaan. Tapi aku putuskan untuk up meski pendek, soalnya aku gak enak sama kalian yang udah nungguin.
Dan yak, segala pertanyaan seputar kenapa memilih mimpi lagi untuk menyadarkan Naora, akan aku sampaikan di chapter selanjutnya ya. Ada alasan kenapa aku memilih seperti ini ehuehuehue.
Sekali lagi maaf dan terima kasih sudah bersabar menunggu💙
xo, ae.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Journey In Our Forever
Romance[FOREVER SERIES #3] [COMPLETED] --Sequel of The Beginning in Our Forever-- Pangeran berkuda putih yang tak pernah Naora sangka itu, ternyata datang di kehidupannya. Membawanya keluar dari lingkaran ketakutan yang selalu membelenggunya. Ia datang, de...