(Masih) Daffa's POV
Anggep aja 9 bulan kemudian.. karena plis gue udah gak fokus buat ngitungin waktunya karena gue deg-degan!!!
Waktu mendengar Naora kecelakaan ketika hamil Kaluna dan Kaluna harus dilahirkan secara prematur untuk menyelamatkannya, yang akhirnya dia hanya menghirup udara dunia hanya sebentar, tanpa menunggu untuk bertemu dengan Bundanya, tanpa menunggu matanya mampu terbuka dengan sempurna, dia pergi. Dengan begitu tenang, meninggalkan gue dan Naora dengan penuh gemuruh.
Waktu itu dunia gue seakan berakhir.
Waktu ini pun dunia gue seakan berakhir ketika melihat Naora sedang kesakitan akibat kontraksi.
Keinginan gue cuma satu sekarang, kalo bisa, kalo Tuhan mengizinkan meskipun ini hal paling mustahil di dunia, gue pengen semua sakit yang Naora rasakan berpindah ke gue. Supaya dia melahirkan tanpa rasa sakit, supaya dia bisa nyaman, supaya dia-
"Mas Daf, jangan nangis dong hahahaha."
Di saat kayak gini, di tengah kesakitannya dan di tengah kesulitannya mengatur napas, dia masih bisa ketawa, dia masih bisa menenangkan gue saat seharusnya gue yang menenangkan dia.
"Gak suka liat kamu kesakitan kayak gini," jawab gue pelan.
Naora tersenyum, manis banget.
"Gak apa-apa, semakin sakit tandanya semakin dekat waktu buat dedek lahir, semakin dekat untuk ketemu dedek."
Gue tersenyum lalu mencium bibirnya singkat.
Wanita terhebat di hidup gue posisi pertama diisi oleh dua orang.
Ibu gue dan Naora.
Gak ada yang di posisi kedua, karena keduanya adalah yang terpenting di hidup gue.
Ibu gue berada di posisi satu karena dedikasinya terhadap keluarga. Semuanya jadi bener kalo udah ibu pegang. Semuanya jadi sempurna kalo udah ada ibu. Dan semuanya jadi berkesan ketika ada ibu.
Ketika ibu pergi, keluarga gue kehilangan porosnya. Semuanya terasa salah. Semuanya terasa kurang. Semuanya terasa biasa-biasa aja.
Seperti itu sampai Naora benar-benar menjadi bagian dari keluarga Bramanta.
Perlahan, semuanya kembali seperti semula. Perlahan, semuanya terasa lengkap kembali. Perlahan, semuanya kembali berkesan.
Dengan hati kami yang mulai mengikhlaskan kepergian Ibu, dengan begitu pula kami menjadi lebih bahagia karena kehadiran Naora.
Naora bukan hanya blessing di hidup gue, tapi juga di keluarga gue.
Makanya di saat dia kesakitan seperti ini, bukan hanya gue yang sedih, tapi juga Kayla dan Ayah.
Sejak tadi mata Ayah basah karena air mata. Entah apa yang sedang dipikirkannya sampai-sampai dia merasakan kesedihan seperti itu. Di sampingnya ada Papa, saling menguatkan tanpa bicara. Tipikal laki-laki memang. Mungkin gue akan seperti itu nanti sama besan gue.
Sedangkan Mama sedang menjadi sandaran untuk Kayla, sambil mereka berdua terus berdoa untuk kelancaran kelahiran Naora. Oh ya, Mama juga sedang menimang Humaira, anak kedua Kayla dan Ando yang lahir dua bulan yang lalu.
Ando juga ada kok, dia lagi ngeliatin lampu-lampu ibukota ke Bayu yang hari ini huruf R-nya sedang lancar-lancarnya.
"Mas," panggil Naora pelan.
"Ya, sayang? Mana yang sakit? Hmm?" tanya gue sambil mengusap-usap pinggangnya.
Dia tersenyum lalu menggeleng, "Pas banget tempat kamu usap-usapnya," jawabnya lalu melingkarkan tangannya ke leher gue lalu menarik gue mendekat.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Journey In Our Forever
Romance[FOREVER SERIES #3] [COMPLETED] --Sequel of The Beginning in Our Forever-- Pangeran berkuda putih yang tak pernah Naora sangka itu, ternyata datang di kehidupannya. Membawanya keluar dari lingkaran ketakutan yang selalu membelenggunya. Ia datang, de...