CG*Coma*BB

2.4K 77 0
                                    

Rafi menyeringai. "ini kedok asli lu Lexsa." ucapnya dengan membelalangi Lexsa.

Lexsa tertawa lepas. "hallo Rafi, senang bisa bertemu kembali." lagi-lagi Lexsa menyepelekannya.

Rafi benar-benar sangatlah marah. Kalo bukan dia perempuan Rafi tidak akan pernah mengampuninya, meski sejahat-jahatnya perempuan, Rafi tidak akan memukulnya sama sekali, itulah didikan dari orang tuannya. Perempuan wajib di lindungi. Namun, Lexsa bukan untuk di lindungi tetapi di beri pelajaran yang setimpal.

"lo akan mendapatkan balasannya Lexsa!" tegas Rafi.

Lexsa tersenyum. "sebelum gue mendapatkan balasannya, gue harus menyelesaikan ini semua" Lexsa mengangkat pistol, dan menembakan pelurunya ke arah Rafi.

"Rafiiii" teriak Delliya dengan berlari ke arahnya. Tetapi kelambatan Delliya. Rafi terkena peluru itu.

Tidak lama polisi datang dan menangkap Lexsa dengan dua lelaki itu, terlihat Claras sedang ketakutan, dia membuang belatinya ke sembarang arah. Tetapi polisi itu menuju ke arahnya, dan tentunya akan menangkapnya. Ini semua Brayen yang melakukannya, dia yang melaporkan semuanya. Namun, Ricky memberhentikan polisi yang akan bertugas. " Dia tidak bersalah pak, dia hanya mengambil belati itu dari tangan laki-laki tadi agar tidak menyakiti Delliya." Ricky berbohong.

"ini semuanya sudah ada dalam laporan, maaf, mohon kamu jangan menghalangi jalannya tugas kami."

"tapi pak dia gak bersalah, apabila ada sesuatu tentang dia, biar saya yang nanti bertanggung jawab sepenuhnya, dan akan melaporkan langsung ke bapak" ucapnya lagi.

Bapak itu menyetujuinya, dan pergi bertugas kembali.

"lihatlah pengkhianat!! Lihat siapa yang menyelamatkan lo, dari hukuman yang harusnya lo jalani sekarang, apa lo gak pernah berfikir lagi?" ucap Daniel dengan amarah yang tiada hentinya sejak tadi.

Claras menangis. "ma-af bang Daniel" ucapnya dengan gemetar sembari menunduk.

"jauhi kami semua, dan satu lagi gue bukan abng lo, pergi dari kehidupan kami!!" usirnya. Tetapi Claras hanya terdiam dengan tangisannya, penyesalannya sangatlah besar.

Setelah berucap itu Daniel pergi dari hadapan Claras, melihat keadaan Delliya sang adik yang butuh penenang. Dan Rafi yang sekarang ini tengah kehabisan darah, menahan rasa sakit di perutnya, hasil tembakan tadi.

Perasaannya hancur, hatinya sakit. Delliya menyimpan kepala Rafi di pangkuannya. " enggak Rafi enggak, Liya gak mau terulang lagi enggak" ucap Delliya dengan air mata.

Rafi hanya tersenyum.

"Afii bertahanlah. Tolong panggilkan ambulance tolong, aku mohon. Cepat!" teriak Delliya.

Fardan mendekati Delliya. "Ambulance  akan lama Dell, biar pakai mobil gue, Brayen!! Ricky!! tolong bantu gue." mereka semua bergegas.

Mereka bertiga membawa Rafi dalam mobil, dengan kecepatan penuh, Fardan mengendarai mobil di atas rata-rata. Delliya yang masih setia menemani Rafi dengan tangisannya. Pikiran negatif terus saja bermunculan di otaknya, kejadian beberapa tahun ke belakang mengingatkan kepada Rangga, Delliya tidak ingin terulang lagi. Tidak.

Yang lainnya menyusul mengikuti mobil Fardan.

Rafi di masukan ke ruangan oprasi, tentu saja peluru yang ada di dalam tubuhnya harus di keluarkan dengan cepat, apabila tidak akan berakibat buruk.

Mereka semua menunggu dengan sangat resah, Delliya yang terus saja terdiam di pelukan Monica, di dampingi oleh Alvi, wajah pucatnya sangatlah terlihat, dia menahan perih di tangannya serta pipinya, sudah beberapa bujukan dari Daniel serta sahabatnya, agar Delliya membersihkan telebih dahulu luka itu. Namun, Delliya tetap Delliya, dia hanya ingin diam dan menunggu kabar dari dokter tentang Rafi.

"Fardan!! Tolong panggilkan dokter, untuk Delliya!" perintah Daniel.

Fardan mengangguk, dan pergi dari sana.

Tidak lama dokter itu datang, bersama Fardan. Tanpa menunggu lagi, dia langsung mengobati Delliya. Tidak ada ekspresi rasa sakit ataupun geraman dari mulutnya, Delliya hanya diam menatap kosong lantai di bawah, pikirannya sangatlah tidak aturan, air matanya turun setetes demi setetes.

Lampu telah padam, yang artinya oprasi telah selesai, dengan cepat Delliya bangun dari duduknya, menepis tangan dokter yang tengah mengobatinya.

Pintu terbuka lebar, dokter yang mengurus Rafi bernamakan Doni Falera tertera di name tag. Terlihat dokter muda itu menatap Delliya. "oprasi sudah selesai, tetapi dia dalam keadaan koma, pasien akan di pindahkan ke ruang teratai." ucapnya.

Harapan demi harapaan itu musnah, kini dirinya ambruk di lantai, lelah, letih, sakit, semuanya bercampur menjadi satu. Kini air mata turun kembali, penglihatan yang terlihat kabur, ntahlah badannya sudah tidak bisa bergerak, dan akhirnya gelap.

Tentunya semua orang panik, mereka pergi mendekati Delliya. Claras yang melihat itu pun menangis, penyesalannya terus saja tumbuh di dirinya, makin kemari makin besar, dia berlari untuk mendekati Delliya, berniat ingin ikut membantunya. Tetapi sebuah tatapan tajam, membuat niat itu terhenti, Claras menunjuk ke arah Delliya dan menyatukan tangannya, seperti memohon, agar di biarkan untuk membantu Delliya, tetapi itu semua tidak semudah yang di bayangkan. Daniel menatap tajam, dan tidak mengijinkan dirinya untuk ikut membantu, bahkan melihat Delliya sedikitpun.

Mereka membawa Delliya ke ruangan perawatan, terlihat di wajahnya penuh beban, pucat pasih, seperti tidak bernyawa. Gadis itu terbaring lemah dengan selang menyambung ke punggung tangan kanannya.

Dia benar-benar kekurangan darah, itu sudah pasti. Tentunya akan seperti itu, dari sejak kejadian tadi Delliya tidak ingin di ganggu, di obati juga tidak ingin, sekeras apapun Daniel serta yang lainnya membujuk Delliya tetap tidak mau.

"kalian sudah memberi tahu kepada keluarganya Rafi?" tanya Daniel ke semuanya.

Mereka hanya diam dengan gelengan pertanda belum.

Daniel menghembuskan nafas kasar. " apa kalian tidak berfikir sedikitpun, masalah sebesar ini, kalian tidak memberi tahu keluarganya, dasar bodoh" ucapnya menohok hati.

Monica berusaha menenangkan Daniel, seperti inikah sikap Daniel bila orang terdekat, keluarganya, ataupun orang yang di sayang, sedang dalam keadaan tidak membaik, dia akan marah, sekalinya terdiam ucapan yang tidak pernah di ucapkan, akan terucapkan olehnya.

Sedangkan di sisi lain, Brayen menemani Alvi yang diam saja sejak mengetahui apa yang telah terjadi. "semuanya akan baik-baik saja, jangan lemah seperti ini, aku tau kamu cewek tangguh. Kalo misalnya kek gini terus bagaimana dengan Delliya nanti, dia butuh suport dari sahabatnya." ucap Brayen.

Alvi menatap Brayen dengan kesedihan, sungguh tatapan itu, tatapan yang paling tidak di sukai oleh Brayen. "tapi Claras?"

Brayen tersenyum dan mengelus pelan rambut Alvi. "Biarkan dia menyesal dengan perbuatannya, lo gak perlu khawatir. Yang terpenting hentikan tatapan kesedihan itu, aku gak suka Alvii, tersenyumlah untukku" ucapnya dengan senyum yang sangatlah manis, beginilah Brayen, masalah sedang menimpa sahabatnya, tetapi dia tidak ingin kesedihan. Bukan berarti dia tidak sedih, bagaimana masalah akan hilang bila kita terus meratapi nasib yang telah terjadi, waktunya untuk bangkit, kelak badai itu akan bisa di terjang dan hilang, kemudian datanglah sang cahaya.

<•><•><•>

Ntahlah Lala sendiri jadi sedih. Coba kalian membaca ini dengan memplay lagu Don't Watch Me Cry atau All I Want Kodaline, itu tips Lala sih, feelingnya akan jadi terasa.

heumm, Lala jdi nangis, deng:((

Brayen: Lala jangan nangis, Brayen gak suka itu# sambil mengusap air mata.

Lala: Iya Brayen, Lala gak akan nangis kalo kamu ada di sini.

Brayen: iya sayan--# pletak

Alvi: iya apa?? Coba bilang lagi, baru di tinggal sebentar udah lengket aja.

Lala: mwehehe, Lala pergi dulu ah, takut kena;Vv

Dan apa yang terjadi mereka bertengar layaknya kucing dan tikus;Vv

Cool Girl Vs Bad Boy [Revisi] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang