“Adel, jika kekuatan serangan anak panahmu hanya seperti itu. Kamu tak akan bisa melukaiku sedikitpun,” cibir Songlan sambil mengusap sedikit darah yang merembes dari ujung bibirnya.
Adel terdiam. Dia punya beberapa anak panah yang memiliki daya serang lebih hebat daripada anak panah yang dia layangkan barusan, tapi itu adalah trump card miliknya. Dia tak ingin senjata pamungkasnya itu keluar di saat seperti ini.
Adel lalu mengalungkan busur panah yang dia pegang dan menggulung lengannya.
Dzingggg.
Dua buah crossbow pendek yang terpasang di pergelangan tangan dan kirinya kini terlihat setelah tadi busur yang kecil dan hanya berukuran sejengkal terlihat mengembang. Songlan memicingkan matanya ketika melihat dua buah crossbow kecil di tangan Adel tersebut.
“Busur yang tadi, digunakan untuk serangan jarak jauh dan menghasilkan daya serang yang besar. Sedangkan busur mungil ini? Untuk close combat?” tanya Songlan.
Adel masih terdiam dan mengambil sikap siaga. Songlan tertawa ketika melihat sikap Adel.
“Seorang Archer ingin bertarung close combat dengan seorang warrior sepertiku? Apa kau gila??” teriak Songlan sambil melesat ke arah Adel.
Adel mengatupkan rahangnya tapi sama sekali tak berniat untuk bergerak menghindari serangan Songlan, karena ada Aen di belakang Adel. Dan Adel yakin, seandainya dia menghindar dan beranjak dari tempat ini, Songlan tanpa segan-segan akan melayangkan serangannya ke arah Aen. Karena memang Aen lah yang menjadi sasaran Songlan.
Songlan menyeringai dan mengayunkan kedua belatinya ke arah Adel, sedangkan Adel sendiri mengangkat kedua tangannya kedepan dan berniat melepaskan bombardier panah-panah kecil dari kedua crossbow di tangannya.
Tapi di saat Songlan masih melayang di udara dan Adel masih bersiap-siap untuk melancarkan serangannya, sebuah bayangan hitam tiba-tiba muncul di antara Adel dan Songlan.
Trangggggggg.
Sebuah percikan api yang indah terlihat memercik mengiringi bunyi dentang keras antara dua buah benda logam itu.
Songlan kembali terpelanting ke belakang untuk sekian kalinya. Memang sudah nasib sebagai karakter figuran seperti dia, menjadi korban dari tulisan author dan terpelanting kesana kemari berkali-kali.
Adel bergerak mundur dengan cepat sambil kedua tangannya terbuka kesamping untuk melindungi Aen.
Songlan bersalto beberapa kali di udara sebelum akhirnya bisa mendarat dengan sempurna dengan kedua kakinya. Tangan kanannya yang memegang belati tadi terasa pegal setelah beradu serangan dengan si sosok hitam yang tiba-tiba menghalanginya.
Songlan menatap sosok hitam itu. Dari kepala sampai ujung kaki, dibalut warna hitam, kepalanya ditutupi dengan sorban yang berwarna hitam juga. Sorban yang digulung itu juga menyisakan kain panjang yang dibelitkan untuk menutupi mulut dan sebagian besar wajah musuhnya.
Sebuah belati yang berwarna hitam tapi memiliki garis berwarna merah di bagian tengah terlihat di tangan sosok hitam itu. Belati yang tidak lurus seperti milik Songlan sendiri, tetapi sedikit melengkung di bagian ujungnya. Bukan lengkungan khas katana milik para samurai. Tapi lengkungan yang lebih parabolic menyerupai pedang scimitar khas para petarung Timur Tengah.
Tapi, ada satu petunjuk yang membuat Songlan mungkin mengetahui identitas sosok yang berpakaian serba hitam di depannya itu. Dia memiliki sepasang mata yang berwarna biru laut. Dan hanya satu orang yang memiliki warna seperti itu di Pulau.
Koma.
“Koma… Kau? Juga ingin menghalangiku? Aku tak mengerti. Kalian tahu sendiri seperti apa kejamnya seleksi alam yang dilakukan oleh Pulau!! Tapi kenapa kalian menghalangiku?” teriak Songlan.
“Jangan berpikiran macam-macam,” jawab Koma dengan suara bergumam.
“Aku sama sepertimu. Aku disini hanya untuk memperoleh tiket ke tahap selanjutnya. Dan kau adalah tiketku,” lanjut Koma dengan suara yang sama seperti tadi.
“Koma menjadikan aku sebagai target?” gumam Songlan tak percaya, rasa takut tiba-tiba menyergapnya.
Ini adalah Koma, Kandidat Monster yang bahkan dulu dianggap sebagai rival Koga. Koga yang selalu menjadi idola Songlan sejak dulu. Tapi saat ini, Koma dengan terbuka mengakui kalau dia menjadikan dirinya sebagai buruan.
Lama kelamaan, rasa takut itu berangsur-angsur menghilang seiring dengan usaha yang dilakukan oleh Songlan untuk menekannya. Songlan menggenggam tangannya makin kuat dan melihat ke arah Koma dengan tatapan tajam.
“Aku bukan lagi Songlan yang hanya menjadi karakter pembantu. Aku mendapatkan serum yang sama dengan Koga. Aku bahkan hanya tinggal selangkah lagi menjadi petarung elit level 2. Koma, Koga, Gama, Gaju, kalian bukan lagi lawan yang tak bisa kuraih!!” teriak Songlan dalam hati sambil menguatkan tekadnya.
“Arrgghhhhhhh,” Songlan lalu berteriak dan melesat ke arah Koma.
Koma tersenyum di balik kain hitam yang menutupi mulutnya. Dia melirik sekilas ke arah Songnam yang berdiri di tingkat atas Gedung yang ada di Komplek. Kebetulan di saat yang sama, Songnam juga sedang melayangkan matanya ke arah tempat ini.
Tanpa sengaja pandangan mata mereka bertemu. Koma sama sekali tak merasakan getaran apa pun dalam dadanya. Kini dia yakin sepenuhnya kalau, soulmatenya tak memiliki arti apa-apa bagi Koma.
“Anggap ini sebagai hadiah perpisahanku. Aku akan memberimu tiket gratis untuk ke tahap selanjutnya,” gumam Koma.
Tak lama kemudian, hanya dua buah bayangan samar yang bergerak dengan kecepatan luar biasa saling beradu serangan. Secara attribute, Speed Koma jauh melebihi Songlan, tapi kekuatan fisik Songlan mampu mengimbangi kelemahannya dari segi speednya.
Yang terjadi adalah sebuah bayangan hitam yang secara bertubi-tubi dan berkali-kali menyerang Songlan yang bergerak dengan sangat cepat dan berusaha untuk menangkis serangan Koma sebisanya.
Tapi.
Seiring berjalannya waktu, tubuh dan penampilan Songlan makin tak karuan. Bajunya compang camping disana sini dan menunjukkan luka goresan yang tak begitu dalam tapi tetap saja terlihat mengerikan.
Songlan hanya bisa mengatupkan rahangnya dan terus berusaha untuk mengimbangi serangan Koma. Sesekali Songlan juga akan berusaha untuk melayangkan serangan balasan yang tentu saja akan selalu bisa dihindari oleh Koma.
Koma menggelengkan kepalanya setelah melihat kondisi tubuh Songlan yang kini terlihat mengerikan dengan puluhan luka gores di tubuhnya. Dia hanya bermain-main tadi. Koma seorang Assasins dan sekarang dia sedang bertarung di sebuah lapangan terbuka. Jadi dia meninggalkan cara bertarung ala assassins miliknya dengan prinsip one strike one kill, tapi bertarung terbuka layaknya petarung biasa.
Karena itu, Koma sama sekali tak menggunakan instantaneous movement miliknya ataupun menggunakan kecepatan maksimum yang dia miliki. Dia hanya menunjukkan speed yang sedikit lebih cepat daripada Songlan.
Selain dua hal tadi, ada satu lagi senjata pamungkas yang sama sekali tak digunakan oleh Koma, mimicry suit. Saat ini, Koma benar-benar memanfaatkan waktunya untuk menikmati pertarungan ala petarung close combat normal lainnya.
Dan sesuai dugaan Koma, ada beberapa pasang mata yang mengawasi semua gerak-gerik Koma dari tadi. Koga yang melihat semuanya dari ruangannya. Adel yang memperhatikan dari belakang Koma sambil tetap merentangkan tangannya. Gama yang entah sejak kapan sudah melayang tinggi di atas awan dan berdiri diam di sana sambil merekam semua pertarungan Koma dibantu oleh Armor-nya.
Ini semua adalah seleksi alam. Tak ada yang mau menyia-nyiakan kesempatan untuk mengetahui kekuatan musuh. Karena informasi adalah sesuatu yang vital untuk menentukan kemenangan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gaju - The Survivors (Completed)
Fiksi Ilmiah(Action, Fantasy, Sci-Fi) This page is intentionally left blank. *Biar berasa kek baca buku-buku luar negeri ya kan? Wkwkwk..