ZAHRA serasa terbang ke Sidratul Muntaha. Jujur, Zahra bahagia saat Alif memeluknya erat. Pelukan dilerai Alif.
Yang Zahra anehkan, kenapa tatapan Alif setajam itu padanya? Apa ada yang salah?
"Kamu kemana aja, Za? Kamu pergi tanpa pamit sama saya!" suara Alif agak tinggi membuat jelas bahwa dalam hati pria itu ada yang mengganjal. Zahra mengerutkan dahi, heran.
"Maaf, mas. Ini emang salah Zah—" belum genap ucapan Zahra, Alif segera memotong cepat.
"Apa kamu cemburu dengan kejadian di toko mas tadi?" Zahra semakin tidak mengerti. Apa hubungannya cemburu dengan ia pergi?
"Maksud Mas Alif?"
"Apa kamu mau menarik perhatian semua orang?! Kamu ingin menghancurkan momen saya dan Azira?!" suara Alif meninggi membuat Zahra terkejut dan beristigfar.
Zahra serasa di naikan ke atas langit lalu di jatuhkan hingga ke dasar bumi. Hatinya tetap hati seorang perempuan. Ia tak suka dibentak.
"Zah gak berniat sep—"
"Cukup! Kepergian kamu tadi cukup mebuktikan bahwa kamu memang sebenarnya tak pernah ikhlas saya menikah dengan Azira" suara Alif melemah walau tetap tegas.
"Astagfirullah.." lirih Zahra. "Mas, suatu hubungan tidak boleh egois seperti ini. Kita harus saling meruntuhkan ego. Mas harus dengar penjelasan Za" mata Zahra berkaca-kaca. Ia hampir menangis.
Dada Alif bergemuruh. Ia ingin marah, ingin menghancurkan apa saja yang ada di depannya.
"Ini memang murni salah Za. Za minta maaf pergi tanpa pamit. Tapi sungguh, Za gak pergi dengan alasan cemburu. Nggak! Za ngerjain tugas di rumah sahabat Za karena dikumpulin jam lima. Itu gak bisa dibantah. Za ke ruma temen." air mata Zahra luruh.
Zahra memang begitu lemah apalagi dengan bentakan. Ia tak bisa menerima bentakan seperti yang Alif lakukan tadi. Apalagi Alif menuduhnya seperti tadi.
"Soal keikhlasan tentang pernikahan mas, hanya soal waktu untuk memuluskan keikhlasan ini." Zahra menarik napas berat.
Alif beristigfar dalam hati. Ia telah dikuasai emosi. Ia telah membentak Zahra. Ia telah menuduh Zahra yang tidak-tidak.
Untuk beberapa saat, mereka berdiri mematung tanpa ada niat beranjak pergi. Mereka sibuk dengan pikiran masing-masing.
"Za mau nyiapin air hangat buat mas mandi" ucap Zahra sambil meletakan tasnya di atas kasur lantas beranjak menuju kamar mandi untuk memanaskan air.
"Za, tolong maafin saya" ucap Alif setengah teriak agar terdengar Zahra. Alif sama sekali tidak mengubah posisinya. Ia membelakangi Zahra.
Zahra berbalik lantas menatap sendu punggung Alif dengan senyum kecil.
🌼
M
ereka berdua duduk di atas kasur sambil bersandar di kepala ranjang. Mereka memakai selimut. Jam telah menunjukan pukul sepuluh tapi mereka masih belum mau tidur.
Untuk beberapa saat mereka saling diam. Tak ada yang ingin angkat bicara. Mereka hanya ingin diam dan merenung.
Zahra meraih novel miliknya lalu membacanya. Ia tidak fokus. Pikirannya berkecamuk antara ikhlas dan tidak. Ia memikirkan apakah ia ikhlas dengan pernikahan Alif dan Azira.
Zahra kembali teringat sang bunda. Ia selalu bercerita apa saja pada bundanya. Andai saja bundanya masih ada maka ia akan menangis di pelukan hangat bundanya.
Astagfirullah, ucap Zahra dalam hati.
Zahra memngingatkan hatinya agar tidak baik berandai-andai dalam Islam.
"Za" panggil Alif setelah mengumpulkan keberanian. Zahra menoleh.
"Hm?" sahut Zahra lalu ia kembali memabaca novel. Bedanya kali ini hanya pura-pura.
"Maaf, saya tadi bentak kamu. Kamu pasti sakit hati kan?" Alof begitu menyesal dengan kejadian tadi. Ia merasa telah berlebihan.
"Gak papa kok, mas" suara Zahra bergetar seakan-akan ia akan menangis sekarang.
Mengingat kejadia tadi sore, membuat mata Zahra panas. Ia ingin menangis. Sekuat mungkin Zahra tak secengeng itu. Ia tak mau menangis hanya karena kesalahpahaman semata.
"Za, kamu maafin saya kan?" tanya Alif.
Zahra semakin menenggelamkan kepalanya ke buku. Ia mulai menangis. Sekuat apapun ia bertahan, tetap saja pada hakikatnya ia merasa lemah. Ia merasa paling tersakiti.
"Za, kamu nangis, hm?" Alif mulai menaruh curiga kala Zahra menenggelamkan wajahnya di buku.
"Hey, Za. Kamu nangis?" tanya Alif lagi. Alif merebut novel milik Zahra. Seketika Zahra memalingkan wajah ke arah lain agar Alif tak melihatnya dalam keadaan sekacau ini.
"Za kamu nangis?" tanya Alif lagi.
Air mata adalah jawaban atas segala luka selama ini. Zahra tak bisa mengelak lagi. Ia hanya bisa menangis dalam diam.
Alif menarik dagu sang istri. Zahra semakin memalingkan wajahnya. Ia tetap kekeuh tidak mau melihat Alif.
Alif menarik lembut dagu Zahra. Akhirnya Zahra menoleh. Alif melihat sebuah bukti luka selama ini yang Zahra pendam dengan senyuman.
Alif mengusap lembut air mata Zahra dengan tangannya. Ia tersenyum tipis pada Zahra.
"Mungkin akan sulit, tapi bertahanlah bersama saya"
🌼
Assalamu'alaikum
Uluh uluh Neng Zahra nangis. Kalo semisal cerita ini terlalu lebay, kalian boleh tinggalkan jika tidak suka. Voment?
Tania Ridabani.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wanita Kedua [Dihapus Sebagian]
SpiritualHight Rank~ 1-#islam 1-#spiritual 1-#airmata 1-#allah 1-#cintasegitiga 1-#ikhlas Note: Part tidak lengkap. Empat belas chapter saya unpub termasuk 3 extra chapter. Di unpub bukan karena keperluan penerbitan, tapi karena tahap revisi. Selamat membaca...