Chapter 8🌼

23.6K 1K 26
                                    

ZAHRA menatap rintik air hujan yang membasahi bumi dari dalam rumah mertuanya. Tatapan Zahra kosong tak bermakna.

"Zahra.." Zahra menoleh ke arah kiri sambil tersenyum tipis saat sebuah tangan menyentuh bahunya lembut. Ternyata bunda.

"Kamu kenapa nak?" tanya bunda

"Gak kenapa-napa kok, bun" sahut Zahra

Selepas ashar, kebetulan Zahra tidak ada mata kuliah lagi jadi ia bisa langsung ke rumah bunda.

Jam telah menunjukan jam delapan lebih tapi Alif tidak menunjukan tanda-tanda akan pulang. Zahra menjadi cemas karena hujan cukup lebat. Ponsel Alif tidak bisa dihubungi.

"Kamu percaya ya sama Allah. Allah akan melindungi Alif, sayang. Tapi, kamu harus terus berdoa" wejangan bunda yang diangguki Zahra.

Mas Alif, Za cemas...

🌼

A

lif menghentak-hentakan kakinya pelan di lantai rumah sakit. Kini Alif cemas kala lelaki paruh baya yang ia tolong sedang dalam keadaan kritis.

Alif kini duduk menunggu kabar baik dari lelaki paruh baya itu. Alif menoleh ke arah tas kerja milik lelaki paruh baya itu.

Alif kemudian membuka tas kerja itu. Tidak sopan memang, tapi Alif ingin menghubungi keluarga lelaki itu.

Alif sudah menanyakan pada polisi apakah ada ponsel lelaki itu atau tidak. Ternyata tidak ada. Alif berharap ponsel lelaki itu ada di tas kerjanya.

Mata Alif berbinar kala mendapati sebuah ponsel.

"Alhamdulillah.." ucap Alif.

Alif membuka layar yang tidak di password itu. Alif membuka riwayat panggilan. Mungkin saja ada nomor istrinya atau anaknya.

Alif melihat kontak bernama 'Putriku💜'. Langsunglah Alif menelpon nomor itu. Ternyata nomornya aktif.

"Hallo, assalamu'alaikum. Ini dengan putrinya Pak-" Alif menghentikan ucapannya. Ia tidak tau nama lelaki itu

[Wa'alaikumsalam. Maksudnya Pak Akbar? Iya, saya putrinya. Kenapa ponsel ayah saya ada pada mas?] suara itu familiar walau terdengar serak. Suara yang sudah tidak akan Alif dengar karena ia mengundurkan diri dari perusahaan.

"Ayah Anda kecelakaan. Segera datang ke RSJH. Ayah Anda di ruangan nomor 24. Beliau kritis"

Sambungan diputus sepihak oleh sebrang sana. Alif memakluminya. Pastilah putri Akbar panik karena ayahnya sedang kritis.

Alif memasukan benda pipih milik Akbar itu ke dalam tas kerja Akbar. Ia lalu merogoh ponsel di sakunya.

"Kok mati?" ucap Alif ketika ponselnya tidak menyala.

"Pasti low bat" gumam Alif.

39 menit sudah Alif menunggu kehadiran keluarga Akbar.

"Maaf, bu. Ibu siapa?" Alif berjalan menghampiri perempuan paruh baya berhijab itu yang hendak masuk ke ruangan Akbar.

"Ini ruangan Pak Akbar, kan? Saya istrinya" ucap perempuan itu dengan mata yang siap menangis

"Betul. Ini ruangan Pak Akbar. Beliau kecelakaan karena menabrak pembatas jalan" ucap Alif memberi tau

"Astagfirullah.."

"Sebenarnya beliau sempat sadar sebentar setelah kecelakaan terjadi. Tapi, saat di jalan beliau tidak sadarkan diri"

"Terima kasih nak karena kamu membantu suami ibu" ucap ibu itu yang diangguki Alif.

"Kalau begitu say-" ucap Alif terpotong. Tubuhnya membeku.

"Bun, gimana keadaan Ayah?" seorang gadis sekitar 24 tahun itu menghampiri ibunya dan Alif.

Gadis mendongak. Ia tidak kalah terkejutnya dengan Alif.

Azira?, bisik Alif dalam hati

Untuk beberapa saat, mereka berdiam diri di depan pintu ruangan bernomor 24 itu hingga dokter pun datang dari dalam ruangan itu.

"Permisi, Pak Akbar sudah siuman, tapi kondisinya sangat lemah. Beliau ingin bertemu dengan putrinya dan orang yang menolong dirinya" ucap dokter yang diangguki mereka bertiga.

Dokter pun pamit ke ruangannya.

"Zira, kamu ke dalam gih dengannya. Ayah ingin bertemu. Nanti bunda nyusul, ya. Bunda mau ngurus administrasi dulu" ucap ibu itu

"Tapi bun-" ucap Azira terpotong

"Jangan khawatir, Azira. Ada ayah di dalam. Kalian gak berdua. Bunda permisi, ya. Assalamu'alaikum" ibu itu pun berjalan menuju bagian administrasi

"Mari, Azira!" ajak Alif.

Azira menunduk dalam lalu berjalan lebih dulu diikuti Alif di belakang.

Hati Azira ketar-ketir. Ia takut pertahanannya runtuh. Ia takut hatinya ingin kembali menerima Alif. Tapi, luka hatinya?

"Ayah.." lirih Azira sambil duduk di sebuah bangku di sisi kiri ayahnya

"Az-zira.." senyumam lemah itu membuat air mata Azira luruh. Ia tidak suka melihat ayahnya seperti ini.

"Ayah harus kuat.." lirih Azira

"Nak, siapa namamu?" tanya Akbar pada Alif

"Saya Alif, pak" sahut Alif

"Terima kasih ya, nak Alif. Makasih udah bantu bapak" ucap Akbar dengan suara lemas. Azira masih menangisi Akbar.

"Azira.." panggil Akbar. Wajah senja Akbar begitu lemah.

"Ya ayah?" sahut Azira. Akbar tersenyum kecil. Rima-istri Akbar- datang ke ruangan Akbar.

"Ayah.." lirih Rima

"Bunda" sahut Akbar.

Suasana menjadi begitu murung.

"Mungkin umur Ayah gak akan panjang lagi, Azira" lirih Akbar

"Nggak, Ayah. Ayah harus kuat demi Azira" tangis Azira semakin pecah. Alif menjadi tidak tega dibuatnya.

"Maaf, ya, kalo Ayah gak bisa nyaksiin pernikahan Zira sama suami Zira nantinya.

" Ayah ingin wasiat ini Azira lakukan demi Ayah. Kalo nggak, Ayah kecewa. Zira mau melakukannya demi Ayah?" Azira mengangguk cepat dan mantap dengan air mata terus luruh. Rima juga ikut menangis menyaksikan semua ini.

"Menikahlah dengan Alif"

🌼

Assalamu'alaikum

Wah, Alif bakalan nikah lagi gak ya sama Azira😰? Akbar bakalan setuju gak kalo Azira dinikahi lelaki yang telah beristri😰? Tunggu jawabannya di next chapter😉.

Voment nya mana uy🎉?

Tania Ridabani.

Wanita Kedua [Dihapus Sebagian]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang