Chapter 27🌼

23.1K 976 18
                                    

      MATA itu menatap ke arah luar jendela dengan tatapan kosong. Hanya sesekali saja dia berkedip. Mata itu tak sedikit pun merasa lelah menatap keluar. Sudah sejak pagi tadi dia menatap seperti itu sambil terbaring di brankar.

Sudah 2 hari Zahra di rawat di rumah sakit. Besok Zahra diperbolehkan pulang ke rumah. Inilah aktivitas Zahra saat sendiri. Ia terus berpikir bagaimana rumah tangganya ke depannya.

Zahra tak terlihat rapuh di hadapan orang-orang. Ia terlihat seperti biasa hanya saja ada luka dan memar di wajahnya. Teman-teman kampusnya tak ada yang tau jika ia dirawat di rumah sakit. Ia tak mau merepotkan banyak orang. Nani saja tidak mengetahui tentang hal ini. Tapi, Zahra telah bilang pada dosennya jika ia tidak akan masuk ke kampus selama 3 hari atau 4 hari.

Zahra melepaskan napas berat. Ia lelah dengan takdir yang seperti mempermainkan dirinya. Rasanya ia lelah.

"Allah, I'm tired.." lirih Zahra. Ia mengusap wajahnya lembut sambil beristigfar. Ia terlalu banyak mengeluh padahal masih banyak orang yang lebih menderita darinya tapi tanpa mengeluh.

"Assalamu'alaikum.."

Zahra mengalihkan pandangannya  pada ambang pintu. Seorang lelaki muda datang sambil tersenyum. Ia menutup pintu lantas berjalan mendekati brankar Zahra. Lelaki itu duduk di sebelah brankar Zahra.

"Wa'alaikumsalam, Mas Alif" Zahra tersenyum manis pada Alif.

"Badannya udah enakkan?" ucap Alif berbasa-basi.

"Udah. Za pengin buru-buru pulang aja. Za udah bosen ngehirup udara disini. Bau obat-obatan"

"Sabar, ya. Insya Allah besok kamu boleh pulang. Oh ya, pagi ini saya jagain kamu."

"Mbak Zira kemana? Kok gak ikut?" Zahra merasa ada rasa bahagia menyelusup dalam hatinya. Ia bisa berbicara banyak dengan Alif. Hanya berdua.

"Dia ke rumah Bunda Rima. Bundanya kangen katanya" Zahra mengangguk paham sambil berkata 'oh'.

"Kamu udah makan?" tanya Alif. Ia hanya sekedar merasa simpati saja. Hanya itu saja.

"Alhamdulillah, udah. Za bahkan makannya kenyang" Zahra nyengir. Alif merasa Zahra lucu.

"Alhamdulillah kalo gitu"

Hening mulai terasa. Mereka sebebarnya canggung untuk memulai setiap pembicaraan. Dulu, Zahra akan memulai segala pembicaraan dan Alif akan menjawab seadanya, tapi kini berbeda. Zahra merasa canggung dan malu jika harus memulai pembicaraan. Terlebih sekarang Alif telah memiliki istri dua.

"Za" panggil Alif pelan. Zahra menoleh pada Alif.

"Iya, mas?" sahut Zahra.

"Kamu kemana saat di pernikahan?"

Deg!

Ternyata pertanyaan itu muncul juga dari Alif. Zahra bahkan tak tau harus menjawab apa. Ia bingung. Tidak mungkin dia bilang jika ia cemburu saat pemasangan cincin kala itu. Tak mungkin jika ia berbicara ia sakit hati. Begitu mustahil.

"Mm, Za tiba-tiba sakit kepala, mas" ucap Zahra tersenyum canggung. Zahra merapalkan istigfar karena telah berbohong untuk menutupi luka hatinya.

"Kenapa gak chat saya atau bunda untuk beri tau kami?" Alif terus mendesak. Ia tau jika itu bukan alasan yang tepat baginya. Ada ganjalan di hati Alif kala mendengar alasan Zahra.

"Ponsel Za low bat" Zahra kembali beristigfar dalam hati. Lagi-lagi ia berbohong untuk menutupi satu kebohongan.

"Kenapa kamu gak cari bunda atau Alika agar kamu bisa izin pulang?" Alif masih ingin mengetahui kebenaran. Ia tau pasti jika ini hanyalah kebohongan.

"Za gak kuat buat cari bunda, mas" Zahra memalingkan wajahnya ke luar jendela ruang rawatnya. Ia tidak sanggup berbohong lagi.

"Kamu bohong, Za!" dakwa Alif

"Za gak bohong, mas" Zahra masih memalingkan wajahnya dari Alif.

"Kalo kamu gak bohong, coba kamu tatap wajah saya, Za" sambung Alif. Zahra masih tetap memalingkan wajahnya.

Alif menghembuskan napas berat. "Za" suara Alif melemah. "Saya tau pernikahan ini akan terasa berat buat kamu. Saya mengerti perasaan kamu"

"Maafin Za, mas. Maafin Za karena Za bersikap kekanakan. Za gak bisa jadi perempuan dewasa. Maafin Za karena Za selalu nyusahin Mas Alif." lirih Zahra masih tetap pada posisi sama.

"Maafin Za karena menghalangi cinta Mas Alif dan Mbak Azira.." Zahra menoleh ke arah Alif dengan tatapan sendu dan senyum yang dipaksakan.

Relung hati Alif tersentuh. Ia terbelit rumah tangga yang cukup rumit. Bahkan ia merasa tidak bisa berpikir jernih kala sebuah momen yang begitu suram seperti ini.

"Za, yang harus kamu tau adalah kamu gak perlu merasa begitu. Sekarang mari kita pikirkan hubungan kita ke depannya. Kit—" Zahra buru-buru memotong perkataan Alif.

"Za terlalu egois, ya" Zahra tersenyum getir ke arah Alif. "Harusnya sejak awal Za gak egois dengan mempertahankan ini semua. Harusnya Za bisa mengalah demi orang yang Za cintai. Za harusnya gak bertahan seperti ini dan membuat banyak luka bagi orang-orang yang terlibat ini semua"

Alif tertegun. Saat Zahra berkata seperti itu, ada sisi dari diri Alif yang ingin terus mempertahankan Zahra disisinya. Ada sisi yang ingin selalu Zahra ada di hidupnya. Ada sebuah sisi yang tak menginginkan Zahra merasa seperti itu. Ada sisi yang tak ingin kehilangan Zahra barang sebentar.

"Za—" saat Alif akan menenangkan Zahra, Zahra kembali memotong.

"Tolong tinggalin Za sendiri, mas. Mas Alif kalo mau pulang, pulang aja. Za lagi pengin sendiri saat ini" Zahra memalingkan wajah ke arah jendela.

Alif menunduk dalam. "Baiklah"

Alif bangkit dari duduknya sedangkan Zahra masih menatap ke arah jendela. Alif mengerti jika ini adalah sisi rapuh Zahra. Alif tidak ingin mengganggu Zahra saat ini. Cukup ia membiarkan Zahra dengan pikirannya.

"Saya pulang dulu, ya. Insya Allah nanti sore saya ke sini. Assalamu'alaikum" ucap Alif. Zahra meraih tangan Alif lalu menciumnya.

"Wa'alaikumsalam" sahut Zahra. Alif mengayunkan langkah keluar ruangan Zahra.

Zahra menghembuskan napas berat. Zahra merasa sangat munafik. Pada awalnya ia berkata 'iya', tapi setelah terjadi malah menolak dan berkata 'tidak'.

🌼

Assalamu'alaikum

Sekarang chapternya panjang-panjang, ya. Gak akan kurang dari 700 kata. Aku usahain lebih dari 800 kata. Alasannya adalah kalo misalnya terlalu banyak chapter tapi cuma sedikit, ya menurutku cuma buang-buang kuota, kecuali kalo emang mentok. Tapi, kalo misalnya alur dari cerita ini udah kegambar, ya diusahain 1 chapter berisi lebih dari 800 kata. Gimana? Adil bukan?

Ayo voment biar aku semangat nulisnya. Tolong voment yang ikhlas, ehehe.

Tania Ridabani.

Wanita Kedua [Dihapus Sebagian]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang