AZIRA. Ya, perempuan itu berdiri di depan pintu kamar Zahra beberapa menit lalu. Niat awalnya hanya ingin mengecek keadaan Zahra. Azira malah terharu di balik pintu.
Ternyata hidup Zahra tak semanis yang ia bayangkan. Awalnya, Azira merasa iri pada Zahra yang bisa menjadi istri pertama Alif. Tapi, setelah mendengar ucapan Zahra barusan membuat hati kecil Azira tersayat. Ternyata kehidupan Zahra tak semanis yang dibayangkan olehnya. Ternyata Zahra memiliki sisi yang sangat amat rapuh, tapi tak pernah ada yang tau kecuali Zahra dan Allah.
Setelah menunggu beberapa menit Zahra tenang, barulah Azira mengetuk pintu.
"Za, assalamu'alaikum" ucap Azira sambil mengetuk pintu kamar Zahra.
Zahra yang sedang menatap foto bundanya, langsung menyeka air matanya cepat ketika mendengar ada suara Azira.
"Wa'alaikumussalam. Tunggu Mbak Zira" Zahra memberdirikan frame itu di nakas lalu berjalan menuju pintu. Zahra membuka pintu itu.
"Ada apa, mbak?" tanya Zahra ketika melihat Azira.
"Ah, mm, mbak boleh gak bicara sama kamu berdua aja di kamar kamu?" ucap Azira sedikit ragu. Zahra juga ragu, tapi akhirnya ia mengangguk lalu mempersilahkan Azira masuk kamarnya.
"Itu siapa, Za?" tanya Azira ketika mereka berdua duduk di tepian kasur. Azira melihat sebuah frame berfoto ibu-ibu dan seorang gadis kecil.
Zahra mengikuti arah pandang Azira sekilas. "Ouh, ini. Ini tuh foto bundanya Za, mbak"
Zahra memberikan frame itu pada Azira. Azira meraihnya lalu menatap lekat ke wajah bundanya Zahra.
"Wah, parah-parah" ucap Azira tidak habis pikir membuat Zahra heran dengan ekspresi Azira.
"Parah kenapa mbak?" tanya Zahra heran.
"Bundanya aja cantik, mana mungkin anaknya nggak cantik" Azira tersenyum lebar menampilkan giginya. Zahra membalas Azira dengan senyum manisnya.
"Mbak nih bisa aja" ucap Zahra kemudian.
"Kok mbak serasa gak pernah lihat bunda kamu sebelumnya sih, Za?" Azira belum pernah melihat bunda Zahra sebelumnya kecuali di foto ini sekarang.
Zahra menunduk membuat Azira heran. "Ada apa, Za?" tanya Azira ingin tau.
"Bunda Za udah meninggal, mbak" ucap Zahra pelan.
"Innalillahi wa innailahi roji'un" Azira menutup bibirnya dengan telapan tangannya tak percaya. Ia salah bicara dan kini ia merasa tidak enak.
"Ya Allah, Za. Maafin mbak ya. Mbak gak tau" ucap Azira merasa sangat tidak enak.
Zahra tersenyum. "Nggak papa, mbak. Wajarlah mbak nanya."
"Aduh, mbak jadi gak enak sama kamu"
"Nggak papa, mbak. Santai aja, ya. Wajar kok mbak nanya soal itu" ucap Zahra diakhiri senyuman yang di balas Azira.
"Bunda kamu pasti lembut banget. Kelihatan kok dari wajahnya juga kalo bunda kamu berkepribadian lembut" puji Azira. "Bunda kamu begitu hebat telah mendidik seorang perempuan sehebat kamu, Za"
"Ini semua karena Allah, mbak. Za gak ada apa-apanya" balas Zahra merendah.
"Za, ini kamu?" Azira menunjuk seorang gadis ompong di foto itu. Zahra tersenyum geli melihat foto itu.
"Iya, mbak" ucap Zahra serasa sedikit malu karena wajahnya disana begitu konyol.
"Kamu lucu banget sih dari kecil. Ini umur berapa, Za?"
"Mm, sekitar 7 tahunan"
"Mbak waktu umur 7 tahun itu belum bisa nyebut 'r' dengan jelas lho" ucap Azira membangun pembicaraan.
"Cadel, mbak?" ucap Zahra memastikan. Azira mengangguk cepat.
"Mbak bisa nyebut 'r' sekitar usia 11 tahun tau" Azira tertawa mengingat masa lalunya itu.
"Wah? Seriusan mbak?" Zahra ikut terkekeh mendengar hal itu. Azira mengangguk sambil tertawa.
"Banyak temen mbak yang pada bully mbak, tapi sayangnya mereka salah bully orang. Mbak gak dengerin mereka dan lebih fokus biar bisa nyebut 'r'. Alhamdulillah usia 11 mbak bisa nyebut 'r'" mereka kembali terkekeh berdua serasa tak ada yang mereka pikirkan soal rumah tangga mereka. Mereka berdua serasa melupakan apa yang terjadi sebelumnya pada mereka.
🌼
Zahra, Azira, dan Alif duduk di meja makan. Mereka sarapan bersama pagi ini. Zahra dan Azira yang memasak. Hubungan Zahra dan Azira pun membaik. Mereka lebih dekat dari sebelumnya.
"Telur baladonya buatan siapa nih?" tanya Alif setelah menyantap telur balado di piringnya.
"Buatan Mbak Zira, mas" ucap Zahra menyahut
"Gak enak ya mas?" wajah Azira sudah sedih duluan karena takut jika telur buatannya tidak enak.
"Mmm, ini mah enak banget tau, Zir" puji Alif berlebihan, tapi memang rasa telurnya enak. "Kalo kalian mau tutup mulut sih, enakkan telur balado Zira daripada bunda" ucap Alif pelan hingga hanya dirinya dan kedua istrinya yang dengar.
Mereka bertiga terkekeh bersama. Itu hanyalah candaan.
"Zira aduin ke bunda lho, mas" ancam Azira so iyeh.
"Ya jangan dong. Nanti mas di coret dari daftar keluarga tau" mereka kembali tertawa bersama. Serasa jika kebahagiaan ini tak akan kembali. Mereka begitu menikmati seakan-akan besok mereka tak akan merasakan kebahagiaan seperti ini, seakan-akan besok ada air mata yang tumpah karena kebahagiaan.
Suara musik 'Bahebbak' dari penyanyi Mostafa Atef menggema di ruang makan.
Zahra mengernyit ketika melihat nama di layar ponselnya.
Bu'de?
"Siapa, Za?" tanya Alif ketika Zahra hanya menatap layar ponselnya.
"Mm, bu'de nelpon, mas" ucap Zahra pelan.
"Angkat aja dulu, Za" ucap Azira. Zahra mengangguk. Saat akan mengangkat panggilan, tiba-tiba diputus oleh sebrang sana.
Zahra pun menelpon balik, tapi tidak diangkat-angkat membuat Zahra cemas pada bu'denya itu. Takutnya terjadi sesuatu pada perempuan yang menyayangi Zahra itu.
"Kenapa Za?" Alif jadi penasaran sendiri melihat wajah Zahra begitu cemas.
"Telpon dari Za buat bu'de gak diangkat, mas. Za khawatir terjadi sesuatu sama bu'de" Zahra terus mencoba menelpon bu'denya walau tidak diangkat terus. Kekhawatirannya memuncak.
"Ya Allah, bu'de kenapa sih?" ucap Zahra begitu pelan. Azira dan Alif jadi khawatir.
🌼
Assalamu'alaikum
Bagaimana chapter ini? Harus bahagia dong sekali-kali ya😄. Kalo sedih terus mah nanti para readers kabur. Udah kabur gak voment pula😆. Bercanda. Voment seikhlasnya aja. Gak maksa kok. Jazakumullah khairan katsiiran🌸.
Tania Ridabani.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wanita Kedua [Dihapus Sebagian]
SpiritualHight Rank~ 1-#islam 1-#spiritual 1-#airmata 1-#allah 1-#cintasegitiga 1-#ikhlas Note: Part tidak lengkap. Empat belas chapter saya unpub termasuk 3 extra chapter. Di unpub bukan karena keperluan penerbitan, tapi karena tahap revisi. Selamat membaca...