Chapter 55🌼

22.2K 977 60
                                    

بسم الله الر حمن الر حيم

Selamat Membaca
Vote»Read»Coment»Share

🌼

 

   ALIF keluar dari kamar Zahra dengan perasaan campur aduk. Zahra meminta Alif meninggalkan dirinya seorang diri untuk saat ini. Dengan berat hati Alif harus keluar dari kamar Zahra.

Deg!

Entah kenapa Alif merasa ada petir menyambar tubuhnya ketika melihat Azira tengah berdiri di depannya ketika ia berbalik.

"Mas bohong ya sama Zira" wajah Azira begitu menampakan kekecewaan. Ternyata Alif berbohong padanya. Baru saja Azira akan memberi tau Zahra bahwa mereka akan segera jadi umi, tapi Alif membuat moodnya hancur. Harusnya Alif jujur saja, tidak perlu beralasan akan menelpon Aryati padahal menemui Zahra. Azira juga kecewa karena sepertinya Alif lebih memilih Zahra dibanding dirinya. Ia merasa lebih sensitif.

"Zira, maaf. Tad—"

Azira langsung melenggang pergi meninggalkan Alif yang akan menjelaskan. Alif berlari kecil mengejar Azira yang menurutnya lebih sensitif dari biasanya.

Zahra tersenyum getir mendengar dialog suami istri itu. Apakah ia seorang pengganggu? Apakah ia seorang penghalang? Apa yang Azira maksud Alif berbohong? Entahlah. Satu jawaban yang dapat Zahra berikan pada dirinya sendiri. Pertanyaan-pertanyaan tak terjawab selalu saja muncul dan ia hanya bisa memberikan jawaban 'entahlah'.

Waktu makan malam telah tiba. Zahra yang memasak semua makanannya. Ia hanya berusaha memasak sendiri dan semoga masakannya tidak mengecewakan.

Zahra menyusul duduk bersama Alif dan Azira yang telah menunggunya mencuci tangan. Mereka mulai makan malam kecuali Azira yang hanya menatap makanan di depannya. Piring putih di hadapannya masih kosong. Ia tidak mau makan. Ia tidak merasakan adanya nafsu makan.

"Zira, kenapa gak makan?" Alif kini heran kenapa istrinya ini hanya menatap makanannya.

Zahra menatap Azira dengan penasaran. Ia juga ingin menanyakan hal yang sama pada Azira.

"Zira mau makan, tapi disuapin Mas Alif, ya"

Deg!

Dada Zahra mendadak sesak. Perasaannya jadi tidak enak. Harusnya Zahra maklum saja jika Azira memintanya pada Alif karena mungkin Azira ngidam. Harusnya ia tidak sesesak ini. Ah, rasanya sulit untuk membagi cinta dengan perempuan lain.

Alif membeku di tempatnya. Ada satu hati yang pasti hancur saat ini. Ada satu hati yang cemburu. Apalagi jika harus menyuapi Azira di depannya. Bagaimana perasaannya nanti.

Alif menoleh ke arah Zahra yang membuang mukanya ke sembarang arah, tidak mau menatap Alif dan Azira. Alif mengalihkan pandangannya pada Azira yang menatapnya penuh harap seakan-akan ia sangat berharap Alif akan mewujudkannya.

Alif memberikan respon diam. Ia mungkin akam menyakiti Zahra jika menuruti keinginan Azira. Sudah terlalu banyak luka yang ditorehkan Alif padanya. Jika memang ia belum bisa mencintai Zahra, maka setidaknya Alif tidak terus menyakiti Zahra. Ia tidak mau sisa umur Zahra hanya dihabiskan untuk menangisi lelaki seperti dirinya.

Apa aku terlalu egois?

Ya, terbesit kesadaran akam keegoisannya selama ini. Keegoisan dimana banyak hati terluka dan banyak air mata terbuang. Keegoisan yang tak akan memberi kepastian. Alif mulai merasa dirinya egois dengan menetapkan Zahra di dalam satu rumah bersama Azira. Ia harusnya tau jika ini akan menyakiti hati dirinya dan hati istri-istrinya. Harusnya Alif mengerti semua ini. Mengapa ia sebodoh ini?

Azira langsung angkat kaki berjalan menuju kamarnya. Ia ingin dimanja layaknya ibu hamil lainnya. Mungkin ia ngidam.

Tinggal Alif dan Zahra yang hanya berdiam diri tanpa menyentuh makanan mereka. Selera makan serasa menguap setelah mendengar permintaan Azira.

"Za, kamu siapin semua barang-barang kamu. Lusa kamu pisah rumah sama Zira"

🌼

Hari ini telah tiba. Hari dimana yang 'mungkin' bisa memperbaiki hubungan mereka yang retak. Keputusan telah diambil. Keputusan dimana Zahra dan Azira pisah rumah. Setidaknya mereka tidak terus terluka melihat suami mereka bersama wanita lain dalam satu atap yang sama.

Zahra melihat ke luar jendela. Dunia terlihat berseri seakan menertawakan kesedihannya. Entahlah, Zahra masih saja memiliki begitu banyak beban dalam hidupnya. Ia ingin sekali rasanya menjadi seorang istri yang selalu menunggu suaminya pulang, lalu mereka akan bercerita tentang hari ini bersama sambil meminum secangkir coklat panas bersama. Ah, mungkin semua itu hanya akan menjadi angan semata. Hanya sebatas impian karena nyatanya hal itu tak akan pernah terjadi dalam hidup Zahra.

"Za" panggil Alif begitu lembut.

"Hm, iya, mas?" sahut Zahra sambil berhenti dari aktivitasnya menatap keluar jendela.

"Kamu masih ingin bertahan bersama saya?"

Deg!

Dada Zahra terasa ditindih berton-ton batu. Sesak. Mengapa Alif harus bertanya demikian padanya? Apakah Alif menginginkan dirinya pergi secepatnya dari hidup Alif? Apa Alif mengusirnya secara perlahan?

Alif terus berdzikir semoga Zahra tetap ingin di sampingnya. Ia sangat mengharapkan hal itu. Sangat. Alif tak mau kehilangan.

"Kenapa Mas Alif nanya gitu sama Za?" hanya itu yang bisa Zahra tanyakan saat ini. Ia ingin tau apakah dugaannya benar atau tidak. Semoga prakiraannya tidak benar sama sekali. Semoga Alif menepis pikiran buruknya.

"Ahm, nggak kok"

Skakmat!

Bagi Zahra, jawaban Alif pun telah menjelaskan jika Alif memang tak lagi menginginkan dirinya di sisi Alif. Ralat. Mungkin saja Alif 'tak pernah' menginginkan Zahra di sisinya. Zahra sungguh kecewa dengan jawaban Alif yang seakan tak menunjukan bahwa Alif menginginkan Zahra tetap disisinya. Semua sudah cukup jelas untuk Zahra pahami.

Salah paham. Mungkin dua kata itulah yang akan Alif utarakan saat mengetahui Zahra salah tangkap dengan pertanyaannya. Mungkin Alif memang salah menanyakan hal pada Zahra karena seharusnya itu tak perlu dibahas kecuali ingin berpisah. Sayangnya, Alif terlalu gengsi untuk mengutarakan jika ia memang menginginkan Zahra tetap di sisinya. Alif tak mengerti jika keadaan ini sudah cukup mempersulit hidup Zahra.

Hening. Hanya suara deru mesin mobil yang memecah keheningan. Tak ada obrolan. Semua terasa canggung terutama bagi Alif. Bagi Zahra saat ini semuanya terasa pelik. Ia ingin lari. Lari dari kenyataan yang menguras habis emosinya. Lari dari takdir yang terus mengucurkan air matanya. Tapi, Zahra sadar diri untuk tidak lari. Ia tidak boleh jadi pengecut. Ia harus menghadapi semuanya walau mungkin terasa menyakitkan.

Hancur. Satu kata yang menggambarkan kondisi hati Zahra. Akankah dengan upaya yang dilakukannya semua akan terasa lebih baik? Atau justru lebih buruk? Mengapa semua terasa senang menyakiti Zahra. Zahra ingin menangis. Ia butuh keluarganya, tapi keluarganya sepertinya sangat marah padanya. Tentu mereka berhak marah. Seharusnya Zahra tak perlu menutup-nutupi semuanya. Benarkan yang ini salah Zahra juga?

Pintu menuju kedamaian. Itulah sebutan Alif akan langkah yang diambil ini. Pisah rumah harusnya dilakukan sejak berminggu-minggu lalu. Lembaran baru yang mungkin saja akan dipenuhi oleh tawa. Ah, Alif berdoa semoga inilah langkah awal mereka menuju rumah tangga yang tak perlu air mata lagi.

🌼

Assalamu'alaikum

Maaf ya kalo chap ini feelnya kurang kurang banget banget. Inilah hasilnya kalo aku nulis dipaksain. Biasa anak sekolah mah banyak tugas dan bikin lupa sama WP. Makasih ya buat yang mau nungguin dengan setia. I love you so much.

VOMENT??

Tania Ridabani.

Wanita Kedua [Dihapus Sebagian]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang