Chapter 19🌼

22.6K 1K 3
                                    

       ZAHRA menghembuskan napas lega. "Alhamdulillah.." lirihnya sambil menyandarkan tubuh ke sandaran sofa di kamar Nani.

Zahra melirik jam yang telah menunjukan pukul setengah lima kurang beberapa menit. Mereka berdua beruntung bisa mengerjakan tugas dari dosen mereka dengan cepat.

"Kekuatan Power Ranger  aku udah habis terkuras, Za" ucap Nani lelah sambil menyenderkan juga tubuhnya di sandaran sofa.

"Alhamdulillah, selesai juga." balas Zahra tak kalah lelah.

"Ya udah, kita anterin ke kampus yuk!" ajak Nani.

"Ya ud—" air wajah Zahra berubah menjadi cemas. "Masya Allah, aku kelupaan"

Zahra langsung meraih ponselnya di tasnya yang ia senyapkan karena ia tidak ingin diganggu pesan-pesan di grup chatt. Zahra lupa tidak memberi tau Alif bahwa ia ke rumah Nani.

"Ada apa, Za? Ada tugas lagi?" tanya Nani yang tak digubri sama sekali oleh Zahra. Nani mengerucutkan bibir lantas meminum jus jeruk miliknya.

Zahra terlihat panik sambil membuka layaf ponsel. "Astagfirullah.." ucapnya pelan.

Di layar ponsel tertera nomor Alif yang telah menelpon 23 kali. Zahra semakin panik mengetahui ini. Pasti Alif bingung mencari Zahra kemana.

"Nan, maaf ya aku harus pulang sekarang juga. Maaf ya kamu harus nganterin tugasnya sendiri. Ada keadaan darurat, Nan. Aku mau pulang sekarang" Zahra secepat kilat membereskan barang-barangnya lalu memasukannya ke dalam tas.

"Kok gitu sih? Jadi aku harus nganterin tugas kita ke Pak Nurman sendiri?" ucap Nani tidak terima

"Ya Allah, Nani sekali lagi maaf. Aku harus pulang sekarang"

"Terus kamu pulang naik apa? Biar dianter sama sopir rumah aku aja, ya"

Wajah Zahra menunjukan ketidakterimaan. "Gak usah. Aku mau pesen ojeg online aja"

"Yakin? Apa ada masalah?" Nani hanya khawatir Zahra diamuk oleh ibu tirinya. Secara ibu tiri Zahra galak abis.

"Gak ada masalah"

"Ya udah, aku anterin sampe depan, ya"

Nani dan Zahra keluar kamar lalu berjalan menuju teras depan. Ketika berjalan, Zahra memesan ojek online.

Zahra menchatt Alif agar suaminya itu tidak khawatir.

Zahra
Mas Alif, maaf
Zahra gak izin pergi
ke Mas Alif. Zahra
mau pulang sekarang.

Zahra menutup layar ponsel.

"Kamu yakin gak mau diantar Pak Bono? Biar aku minta sama Pak Bono buat nganter kamu, ya" mereka telah sampai di teras depan rumah Nani.

"Uhm, gak usah. Aku udah pesen ojol juga kok. Kamu gak usah khawatir. Aku minta maaf ya gak bisa ikut ke kampus" Nani tersenyum tulus sambil mengangguk seakan mengatakan 'gak papa'.

"Permisi!" Nani dan Zahra melihat ke arah pagar.

"Kayaknya ojol aku udah dateng. Aku pamit, ya. Assalamu'alaikum" ucap Zahra pamit pada Nani.

"Wa'alaikumsalam" balas Nani dengan senyuman.

Nani selalu melihat Zahra tersenyum. Kadang Nani kesusahan untuk memahami isi hati sang sahabat. Ia hanya tau jika ciri-ciri Zahra sedang ada masalah adalah coklat. Ya, coklat. Zahra akan memakan coklat atau olahannya saat sedang sedih.

Pernah suatu ketika saat Nani bertanya kenapa Zahra memakan coklat saat ia sedang sedih. Zahra menjawab pertanyaan Nani.

"Karena aku pernah baca di suatu sumber jika coklat bisa meningkatkan hormon endorfin. Dan aku akan makan coklat saat aku sedih" begitulah jawaban Zahra.

Zahra menaiki sebuah motor. Untunglah drivernya seorang perempuan. Jadi, Zahra tidak terlalu was-was.

"Jalan sekarang, mbak?" ucap driver ojol.

"Iya, mbak" motor di lajukan sesuai yang tertera di aplikasi.

Zahra meraih sebatang coklat yang ia beli kemarin. Zahra saat ini sedang banyak kesedihan. Zahra melahap coklat itu.

Setetes air mata jatuh dari pelupuk mata Zahra. Ia teringat sang bunda. Masya Allah, ingatan tentang sang bunda tak pernah hilang.

Kenangan kala sang bunda membersihkan coklat yang belepotam di wajah Zahra. Kala itu, bunda terus mengomel karena Zahra tidak belajar rapi saat makan. Zahra kesal saat itu pada sang bunda hingga ia meninggalkan bunda.

Bunda tersenyum lalu meminta maaf. Kata-katanya begitu meneduhkan Zahra.

"Nak, maafin bunda, ya. Mungkin saat ini kamu belum mengerti kenapa seorang ibu seperti ini. Itu semata-mata ingin mendidik putra-putrinya agar menjadi lebih baik. Bukan berarti bunda benci sama Zahra. Kalau pun kamu membenci bunda, tetap saja hati seorang ibu tak akan pernah membenci anaknya"

Zahra semakin deras menangis. Ia teringat kenangan itu. Tutur kata, wajah meneduhkan, senyuman tulus selalu Zahra ingat dari sang bunda.

Zahra terisak. Ia rindu sang bunda. Kini ia mengerti kenapa sang bunda mengomel kala itu. Sang bunda menginginkan Zahra lebih rapi saat makan. Bayangkan saja jika saat itu bunda membiarkannya, maka bisa saja sampai kini Zahra makan coklat sampai belepotan.

Motor berhenti di tepi jalan membuat Zahra heran. Ia lantas menyeka air matanya.

"Mbak nangis, ya?" ucap mbak driver. Jelas saja ia bisa melihat Zahra menangis dari kaca spion.

"Saya cuma teringat bunda saya, mbak. Bisa kita jalan lagi?" mbak driver  mengangguk lantas mengemudikan lagi motornya.

"Mbak mau coklat?" tawar Zahra. "Kebetulan saya punya satu buat mbak" Zahra tersenyum begitu tulus.

"Nggak usah, mbak. Buat mbak aja. Kayaknya mbak suka banget sama coklat sampai bisa menawarkan salah satunya sama saya" ucap mbak driver itu lembut sambil tersenyum dari spion.

"Saya hanya ingin berbagi dengan mbak. Saya punya beberapa tersisa kok. Mbak mau ambil salah satunya?"

Mbak driver  tersenyum lantas mengangguk.

Motor pun berhenti sesuai yang tertera di aplikasi. Zahra turun dari motor. Ia telah sampai di rumahnya dan Alif.

"Ini coklatnya, mbak." Zahra menyodorkan sebatang coklat pada mbak driver. Mbak driver  itu menerima dengan suka hati sambil tersenyum.

"Dan ini ongkosnya" Zahra menyodorkan uang.

"Terima kasih, mbak. Semoga Allah membalas lebih dari ini buat mbak" ucap mbak driver

"Aamiin ya robalaamiin. Makasih, mbak. Saya permisi. Assalamu'alaikum" ucap Zahra sambil melangkah memasuki pekarangan rumah.

"Wa'alaikumsalam" driver  itu melajukan motornya membelah jalanan.

Zahra membuka pintu rumah. "Assalamu'alaikum.."

Zahra melangkahkan kaki memasuki rumah. Zahra melangkahkan kaki menuju kamarnya. Ia berpikir mungkin Alif ada urusan di luar karena Alif tak terlihat di rumah.

Zahra memutar knop pintu kamar. "Mas Alif?"

Sebuah dekapan hangat menyambut Zahra. Erat sekali.

Jantung Zahra benar-benar tak bisa di kontrol saat ini.

🌼

Assalamu'alaikum

Alhamdulillah aku bisa update cerita ini. Semua ini atas kehendak Allah. Jangan lupa voment seikhlasnya☺.

Tania Ridabani.

Wanita Kedua [Dihapus Sebagian]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang