Chapter 32🌼

22.6K 1K 25
                                    

      MALAM yang sunyi. Angin berhembus membelai lembut wajah Zahra. Dingin yang merasuk tak dihiraukan oleh perempuan itu. Ia malah sibuk melihat bintang-bintang di langit.

"Bunda, Za kangen sama bunda. Za ingin ketemu bunda di mimpi Za. Za pengin ceritain beban di hidup Za. Bun, Za kangen.." tanpa terasa setitik air mata jatuh membasahi pipi mulus itu. Betapa dalamnya Zahra merindukan bundanya.

"Za merasa sendiri, bun.." Zahra menunduk dalam sambil meneteskan air mata. Kata-katanya begitu lirih hingga menyayat hati Alif.

"Kamu nggak sendiri, Za" Zahra langsung menoleh ke belakang dan ia cukup terkejut karena Alif telah berdiri tegap. Zahra langsung menghapus setiap air matanya lalu mencoba tersenyum.

"Ada apa, mas?" tanya Zahra sambil berdiri membelakangi pagar balkon dengan kedua tangan menyangga tubuhnya.

Alif berjalan mendekat dengan wajah datar membuat Zahra takut. Ia sedang merasa sangat sensitif.

"Ada apa, Mas Alif?" tanya Zahra sambil menunduk karena takut pandangannya bertemu dengan Alif.

"Astagfirullah!" Zahra tersentak kaget ketika tangan kekar Alif memegangi kuat kedua lengan atas Zahra. Zahra semakin takut. Pikirannya kalut.

"Mas, kamu ken-napa? Z-za takut" cicit Zahra seolah tak di dengar Alif. Pikiran-pikiran buruk mulai muncul.

Bagaimana kalo Mas Alif mau nyingkirin aku?, bisik Zahra dalam hati.

Alif menarik dagu Zahra agar wajah itu membalas menatapnya. Zahra mendongak walau pandangan masih ke bawah.

Alif tertawa lepas seolah mendapat kebahagiaan yang telah ia cari. Zahra mematung di tempat kala melihat Alif melepaskan tangan darinya sambil tertawa lepas. Sejauh ini Zahra tak pernah melihat tawa Alif selepas itu.

"Kam-mu kenapa, mas?" cicit Zahra masih sedikit takut. Alif mulai meredakan tawanya lalu menatap gemas Zahra yang sangat polos baginya.

"Za, kamu ngegemesin banget sih. Tadi kami takut sama saya?" tanya Alif dengan tawa yang tak bisa ditahan. Ia sangat puas melihat wajah Zahra yang ketakutan sekaligus menggemaskan.

"Maksud kamu mas?" tanya Zahra tak percaya.

Jadi bohongan?, gumam Zahra dalam hati.

"Kamu kayak takut baget sama saya. Lucu tau" Alif kembali tertawa lepas mengingat wajah Zahra yang menggemaskan.

Sebuah senyuman terbit di wajah Zahra. Begitu bahagianya dirinya sebagai istri melihat betapa bahagianya Alif dengan tawa itu. Dan yang paling membahagiakan bagi Zahra adalah dia sebagai alasan Alif tertawa. Momen ini bagaikan mimpi yang selalu dinanti Zahra untuk terwujud.

Alif berhenti tertawa dan nampaklah senyuman yang tampan di wajahnya membuat Zahra terkesima. Tanpa basa-basi, Alif menarik Zahra dalam pelukannya. Pelukan yang amat Zahra tunggu setiap harinya.

Dalam dekapan Alif, tak henti-hentinya Zahra tersenyum dengan kejadian ini. Ia terus bersyukur pada Allah atas kebahagiaan yang Allah berikan untuknya melalui Alif.

Senyuman kecil nampak begitu sendu. Antara bahagia dan luka tak bisa terjabarkan oleh kata-kata. Di satu sisi, ia bahagia atas kebahagiaan Alif dan Zahra, tapi di satu sisi ia terluka dengan perlakuan Alif pada Zahra. Padahal, ia tau betul jika perlakuan Alif pada Zahra tak semanis perlakuan Alif padanya.

"Aku akan menebus kebahagiaanmu yang sempat tertunda, Zahra"

🌼

Alif merapikan peci di kepalanya. Ia menatap Azira yang telah siap dengan mukenah putih di tubuhnya.

"Mas gak mau ajak Zahra buat shalat tahajud bareng?" tanya Azira memastikan ketika Alif telah berdiri di sejadah di depan Azira.

"Ouh, ya udah Mas panggilin dulu Za, ya. Kamu tunggu disini, zawjaty" Azira mengangguk patuh dengan perkataan Alif.

Alif mengayunkan langkah menuju kamar Zahra yang ada di lantai dua. Setelah ada di depan pintu, Alif langsung masuk kamar tanpa permisi.

"Za, ay—" baru saja akan mengajak shalat bersama, Alif telah mengurungkan niatnya ketika melihat  Zahra telah melaksanakan shalat tahajudnya sendiri.

Tak bisa dipungkiri bahwa hati kecil Alif merasakan kecewa karena Zahra telah lebih dulu mendirikan shalat.

Alif mengayunkan langkah menuju kamar Azira.

"Za mana, mas?" tanya Azira ketika ia tidak melihat Zahra di belakang Alif.

"Kita kerjain berdua aja, ya" Alif berdiri di atas sejadahnya.

"Lho? Kenapa mas?" tanya Azira heran.

Alif pun berdehem tanda ia akan segera memulai shalatnya. Azira mengurungkan pertanyaan-pertanyaan yang bergelayut dalam benaknya. Ia telan semua kata-kata yang ingin ia ajukan. Ia akan menanyakannya nanti saja.

🌼

Zahra menghela napasnya. Ia baru saja menyelesaikan shalat tahajudnya. Ia mendengar pintu dibuka seseorang. Oleh siapa?

Zahra membereskan alat-alat shalatnya lalu meletakan kembali di tempatnya. Setelah itu ia mengayunkan langkah menuju tepian ranjang. Zahra membuka salah satu laci nakas dan meraih sebuah foto berframe kayu.

Zahra menitikan air mata melihat wajah seorang perempuan berhijab setengah baya sedang terlihat bahagia. Di sisi ibu itu ada seorang gadis berkisar umur 7 tahun sedang tersenyum dengan gigi ompongnya dan hijab yang acak-acakan.

Zahra rindu masa kecilnya bersama bundanya. Ia rindu dibelai oleh bidadarinya. Zahra kecil sering ikut marah-marah ketika bunda mengomel karena Zahra nakal, tapi kini? Ia rindu di omeli oleh bundanya. Ia rela bundanya ngomel tiap hari demi kebaikannya saat ini. Zahra rindu senyum, marah, tawa, omelan-omelan, hidung mancung, dan segalanya tentang bundanya.

"Bunda, Za rindu bunda.." Zahra memeluk frame itu, merasakan setiap inchi kerinduan pada perempuan yang melahirkan dirinya.

Tetesan air mata tak terbendung. Entah kenapa saat ini ia merindukan bundanya. Zahra menatap wajah bundanya.

"Bunda gak tau betapa Za rindu bunda saat ini. Za kepengin nyusul bunda. Bun, ayah gak kayak dulu lagi. Beliau sekarang gak semanis dulu. Ibu udah ngehasut ayah, bun. Bun, tolong jelasin ke ayah bahwa ayah salah menikahi perempuan seperti ibu. Za rela kok kalo ayah mau nikah lagi, tapi jangan dengan ibu. Ibu jahat" Zahra kembali menangis. Bedanya kali ini lebih deras. Ia hanyut dalam kerinduan.

"Bun, tolong jelasin ke ayah kalo putrinya ini merindukannya yang dulu.." Zahra memeluk foto itu sambil menangis. Ia merindukan masa kecilnya yang bahagia tanpa ada tangisan berarti.

"Bun, tolong bilang ke ayah kalo Za sayang banget sama ayah. Tolong bilang juga kalo ibu gak baik buat ayah. Ibu bermuka dua, bun. Dia siksa Za dari kecil sampai prestasi Za juga nurun waktu kecil. Tolong bilangin ke ayah kalo ibu pernah mau bunuh Za." Zahra menangis sesenggukan. Tangisnya mereda.

"Bun, tolong bilang pada Allah jika Za sangat mencintai Mas Alif"

🌼

Assalamu'alaikum

Euleuh-euleuh Neng Zahra nangis tuh. Kasih tisu dong. Ada kah disini yang baper sama cerita ini? Kalo ada segera komen, ya. Jangan lupa vote juga. Makin kesini aku lebih suka kalo Zahra menderita, haha😈. Ehehe, kubu AlZa jangan marah ye😝. Kubu AlAz jangan seneng dulu😝. Chapter masih puanjang lho. Masih lama buat pisah. Ini téh cuma cerita fiksi. Gak beneran, ya.

Tania Ridabani.

Wanita Kedua [Dihapus Sebagian]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang