Chapter 26🌼

23.4K 945 17
                                    

            AZIRA berlari kecil. Ia mengusap air mata yang berjatuhan dari pelupuk matanya. Alif terus mengejar di belakang. Saat sudah semakin dekat, Alif menarik lembut tangan Azira hingga perempuan muda itu berhenti berlari kecil.

Posisi Azira membelakangi Alif yang memegang pergelangan tangannya. Air mata benar-benar tak bisa berhenti. Ia memang sakit hati dengan perkataan Aryati tapi bukan itu penyebab utama Azira menangis. Azira merwsa sangat bersalah pada Zahra. Ia merasa menjadi penyebab utama Zahra terluka sedemikian rupa.

Perkataan Aryati memang ada benarnya bagi Azira. Ya, Azira merasa sangat egois. Rumah tangganya bukan hanya 2 orang tapi 3 orang saat ini. Azira tak bisa egois seperti ini. Jika Zahra mampu membagi suami dengannya, maka Azira juga harus mampu untuk melakukan hal yang sama.

"Zira, maafin perkataan bunda, ya. Bunda hanya tersulut emosi aja. Kamu jangan ambil hati, ya" ucap Alif dengan suara selembut mungkin.

Azira menyeka air matanya dan berusaha tersenyum. Ia berbalik menghadap Alif sambil tersenyum kecil.

"Zira gak nangis karena bunda. Zira hanya merasa sangat bersalah sama Zahra. Zira merasa egois karena kemarin malam kita nginep di rumah bunda dan bersenang-senang. Kita gak mikirin Zahra yang sendiri di rumah. Ini salah Zira, mas" lirih Azira penuh rasa bersalah.

Alif tersenyum tipis. "Ini salah kita berdua, zawjaty. Jangan merasa salah sendiri. Mas juga salah karena gak telpon bunda buat temenin Zahra di rumah."

Mereka berdua saling melempar senyum lantas saling berpelukan. Lorong yang sedikit ramai membuat mereka hanya berpelukan sekilas sebagai tanda sayang.

"Kita ke kamar rawat Zahra, yuk!" ajak Azira pada Alif. Alif mengangguj setuju lalu mereka berjalan menuju kamar rawat Zahra.

🌼

Zahra tertawa renyah kala mendengar cerita dari Aryati.

"Seriusan, bunda?" tanya Zahra tak percaya dengan senyum mengembang siap tertawa.

"Beneran tau!" Aryati juga berekspresi seperti Zahra. "Sewaktu kecil itu Alika kecebur ke lumpur di sawah sampe kepalanya nyungseb di lumpur. Untung aja gak kenapa-napa"

Mereka berdua tertawa bersama. Momen seperti inilah yang membuat Zahra merindukan bundanya. Dengan kehadiran Aryati, Zahra tak terlalu merasa kehilangan. Ia merasa dalam diri Aryati terdapat diri bundanya. Ia merasa masih memiliki bunda tercintanya.

Tawa mereka mulai mereda.

"Bunda" panggil Zahra lembut. Aryati menoleh dengan tatapan lembut. "Bunda tau? Dengan kehadiran bunda, Zahra gak merasa begitu kehilangan bundanya Zahra. Zahra merasa bundanya Za masih ada disini"

Aryati tersenyun tulus. "Za, bunda minta sama kamu. Kamu anggap aja bunda ini sebagai bunda kamu. Anggap bunda bukan ibu mertua kamu. Anggap aja bunda sebagai bunda yang mengurus kamu."

"Makasih ya bunda karena bunda mau menyayangi Za. Za merasa gak kekurangan kasih sayang seorang ibu"

"Sifat Laras itu sangat lembut. Wajar jika saat dia meninggal, kamu sangat sangat terpukul dan merasa kekurangab kasih sayang. Tapi, sekarang kan ada bunda. Bunda akan memastikan kamu gak kekurangab kasih sayang sedikit pun" ucap Aryati diakhiri senyuman manis. Zahra mengangguk sambil tersenyum.

Pintu kamar rawat Zahra terbuka menampilkan Azira dan Alif.

"Assalamu'alaikum" ucap mereka berdua.

"Wa'alaikumsalam" balas Aryati dan Zahra. Zahra tersenyum manis ke arah Azira dan Alif.

"Za, kamu udah makan belum?" tanya Azira pada Zahra

"Belum, mbak. Paling sebentar lagi. Lagian Za belum laper" ujar Zahra ramah.

Air muka Aryati berubah menjadi datar. Ia merasa risih di dekat Azira.

"Za, bunda ke kantin dulu, ya. Bunda mau sarapan dulu. Nanti sakit maag bunda kambuh lagi kalo gak makan" Aryati beranjak dari duduknya.

"Bunda belum makan? Biar Zira aja yang beliin bunda mak—" belum sempat menyelesaikan perkataannya, perkataan Azira di potong cepat oleh Aryati.

"Gak usah saya masih bisa sendiri" ucap Aryati dengan suara sedatar mungkin. "Za, bunda ke kantin dulu ya, sayang. Nanti bunda ke sini lagi" ucap Aryati pada Zahra dengan nada selembut mungkin.

"Kamu jangan ambil hati penolakan bunda ya, zawjaty" bisik Alif pelan di telinga Azira. Azira mengangguk paham sambil tersenyum kecil ke arah Alif.

"Assalamu'alaikum" Aryati pun melangkah pergi keluar kamar rawat Zahra.

"Wa'alaikumsalam" jawab serempak mereka bertiga.

Azira duduk di kursi sebelah brankar Zahra sedangkan Alif duduk di sofa.

"Mbak Zira jangan ambil hati perkataan bunda tadi ya. Za yakin bunda cuma butuh lebih dekat lagi sama mbak" ucap Zahra lembut diakhiri senyuman tulus nan manis.

"Mbak nggak mempermasalahkan perlakuan bunda kok. Mbak juga yakin kalo bunda butuh penyesuaian aja" Azira membalas senyuman Zahra.

"Alhamdulillah. Mbak Zira akan tinggal di rumah Mas Alif kan?"

"Iya. Mbak udah bawa barang-barang mbak kok. Za, kamu sakit apa?"

"Gak tau. Bunda belum bilang ke Za. Kata dokter sih harus dirawat disini sekitar 3 hari baru boleh pulang. Tapi, Za ngerasa sakit di bagian kepala" keluh Zahra.

"Sabar, ya. Ini ujian dari Allah. Mbak yakin akan ada hikmah di balik rasa sakit ini" ucap Azira diakhiri senyuman. Akhirnya mereka berbincang ringan dan Alif hanya menyimak obrolan mereka.

Alif merasa beruntung memiliki mereka berdua. Ya, Alif mulai menerima fakta bahwa dia adalah suami dari Zahra Maisya Limah dan Azira Najusma. Yang kini jadi kendala besar adalah bundanya. Aryati tampak tidak begitu menyukai Azira. Itulah yang kini menjadi fokus utama Alif untuk merapikan hubungan keluarganya.

🌼

Assalamu'alaikum

Nama Azira tuh kan Azira Najusma dibacanya Nayusma bukan Najusma, ok?

¿VOMENT?

Tania Ridabani.

Wanita Kedua [Dihapus Sebagian]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang