ZAHRA duduk di tepian bed dengan gamis berwarna biru laut dan hijab panjang senada. Hari ini ia akan pulang.
"Assalamu'alaikum, sayang" pintu terbuka menampilkan Aryati yang cantik memakai hijabnya.
"Wa'alaikumussalam, bun" Zahra berjalan ke arah Aryati lalu mencium tangannya.
"Kamu siap pulang?" tanya Aryati semangat. Mata Zahra berbinar.
"Siap, bun" ucap Zahra mantap
"Tapi, kamu akan pulang ke rumah bunda"
Deg!
Ke rumah bunda?, bisik Zahra dalam hati.
"Mak-maksud bunda apa?" tanya Zahra dengan rasa tidak terima.
"Bunda gak mau kamu di abaikan di rumah Alif. Nanti kamu malah kecelakaan lagi, tapi Azira dan Alif malah hura-hura" jelas Aryati dengan wajah di tekuk. Zahra mengembangkan senyumnya. Beruntungnya dirinya memiliki ibu mertua seperhatian Aryati.
"Alhamdulillah jika bunda mengkhawatirkan Za. Itu tandanya bunda sayang sama Za. Tapi, Za tetap istri Mas Alif. Lagian bunda gak boleh suudzon dengan menyangka mereka seperti itu. Jangan berburuk sangka, bun" ucap Zahra diakhiri senyuman.
Aryati tersentil hatinya. Bagaimana bisa ia berburuk sangka seperti itu pada putra dan menantunya? Aryati sungguh bangga pada Zahra. Aryati belajar banyak pada menantunya ini.
"Iya, sayang. Makasih ya udah ingetin bunda" Aryati tersenyum di akhir kalimat.
"Sama-sama, bun" Zahra membalas senyum Aryati.
"Sekarang kamu pulang bareng bunda, ya"
"Nggak usah, bun. Za biar pulang dijemput Mas Alif" tolak Zahra halus.
"Ciee, mau kangen-kangenan" goda Aryati membuat wajah Zahra memerah karena malu.
"Bunda jangan godain Za dong. Za malu" ucap Zahra malu-malu
"Tapi, Za. Kalo kam—" suara dering ponsel terdengar dan memotong kalimat Aryati. Aryati merogoh ponsel di tasnya lalu mengangkat telpon dari seseorang.
"Assalamu'alaikum, jeng. Ada apa nelpon?" tanya Aryati pada seseorang di sebrang sana.
"Ya ampun, jeng, saya lupa. Terus kalian dimana?" ucap Aryati tersirat rasa tidak enak karena telah melupakan sesuatu.
"Baik, saya ke sana sekarang. Tunggu aja disana. Wassalamu'alaikum"
Sedari Aryati bertelponan, Zahra hanya menyimak saja. Ia berpikir pasti ada sesuatu yang mendesak. Terdengar dari perkataan Aryati.
"Ada apa, bun?" tanya Zahra setelah Aryati memutus panggilan.
"Itu, ah, aduh, gimana, ya?" ucap Aryati tidak enak pada Zahra.
"Ada apa bun?" Zahra menegaskan bahwa tidak perlu ada yang membuat tidak enak padanya. Akhirnya Aryati bicara.
"Gini, sayang. Temen bunda barusan nelpon kalo sekarang jadwalnya arisan. Bunda lupa. Bunda udah ditungguin di kafe. Bunda bingung kamu pulangnya gimana" Zahra tersenyum pada Aryati.
"Bun, kalo bunda mau ke kafe, berangkat aja. Za kan dijemput Mas Alif" Zahra tersenyum di akhir kalimat.
"Ya udah, bunda anter kamu dulu ke rumah. Daripada kamu nunggu disini"
"Nggak usah, bun. Lagian Za bukan seseorang yang baru sembuh dari penyakit tipes" Aryati mangut-mangut.
"Ya udah, kalo gitu bunda berangkat dulu. Assalamu'alaikum" Zahra menyalimi tangan Aryati sambil menjawab salam.
Zahra duduk di tepian bednya menunggu Alif menjemput dirinya. Zahra mengayun-ayunkan kaki berkaus kakinya.
Zahra meraih ponselnya untuk menelpon Alif. Ia tak sabar pulang ke rumah. Saat ponsel sudah di tempelkan di daun telinga, pintu terbuka menampilkan seorang lelaki bertubuh profosional.
"Mas Alif?" Zahra memutuskan panggilan yang akan tersambung lalu turun dari bed. Zahra menghampiri suaminya.
"Assalamu'alaikum.." ucap Alif dengan suara yang lembut membuat Zahra bahagia. Zahra meraih tangan kanan Alif lalu menciumnya.
"Wa'alaikumussalam, mas" Zahra tersenyum manis ke arah Alif.
"Ya udah yu kita pulang!" ajak Alif. Lelaki itu mengambil tas pakaian Zahra lalu menggenggam tangan kanan Zahra dengan tangan kirinya.
Zahra tertegun. Hatinya berdesir hangat. Zahra bahagia."Ayo!"
Alif menggenggam tangan Zahra keluar ruang rawat Zahra menuju parkiran rumah sakit.
"Bagian administrasi udah diurus, mas?" tanya Zahra pelan pada Alif.
"Udah. Sebelum kesini, saya bayar dulu administrasinya" sahut Alif dengan nada yang begitu hangat. Bayang-bayang kemarin malam membuatnya selalu tersenyum dan bahagia.
Alif melepaskan genggaman tangan kala akan masuk mobil. Alif memasuki mobil di belakang setir. Zahra membuka kursi di sebelah Alif.
Deg!
Entah sesak karena sebab apa, Zahra juga tidak tau. Yang jelas adalah ia merasakan sesak saat melihat Azira tertidur pulas di dalam mobil tepat di sebelah kursi Alif.
Alif yang semula telah duduk dan menaruh tas Zahra di belakang, akhirnya keluar lagi untuk berbicara pada Zahra.
"Mm, Za. Kamu gak papa kan duduk di belakang. Zira lagi kecapean" ucap Alif merasa tidak enak pada Zahra.
Zahra tersenyum paksa. "Gak papa kok, mas. Za juga gak akan tega bangunin Mbak Zira"
Zahra memasuki mobil dan duduk di kursi belakang. Setelah Zahra siap, Alif melajukan mobil membelah jalanan.
Alif memberhentikan mobil ketika lampu merah menyala.
"Mas, mau beli tahu sumedang?" seorang penjual asongan datang ke jendela Alif.
"Nggak mas makasih" ucap Alif sambil tersenyum.
"Itu adiknya di belakang siapa tau mau"
Adik?
Zahra mengernyit bingung mendengar sebutan pedagang asongan itu padanya. Alif menengok sekilas pada Zahra.
"Dia bukan adik saya."
Apa sebegitu gak pantasnya aku sebagai istri Mas Alif hingga aku disebut adiknya?
🌼
Assalamu'alaikum
Zahra kesel tuh dipanggil adiknya Alif. Kasih kata-kata buat Zahra agar Zahra kuat dong, guys. Makasih buat vomentnya. Makasih juga buat sider yang telah mau membaca cerita ini. Barakallahu fikum.
Tania Ridabani.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wanita Kedua [Dihapus Sebagian]
SpiritualHight Rank~ 1-#islam 1-#spiritual 1-#airmata 1-#allah 1-#cintasegitiga 1-#ikhlas Note: Part tidak lengkap. Empat belas chapter saya unpub termasuk 3 extra chapter. Di unpub bukan karena keperluan penerbitan, tapi karena tahap revisi. Selamat membaca...