Chapter 17🌼

23.3K 1K 24
                                    

SEMINGGU menuju pernikahan Alif dan Azira. Keluarga Azira dan Alif bertemu. Mereka setuju dengan pernikahan ini. Toh, mereka yang menajalani.

Zahra kini menunggu Alif di gerbang kampus. Kata Alif, ia akan menjemput Zahra.

"Ayo naik, Za!" Zahra pun naik ke mobil Alif yang berhenti di depannya.

"Assalamu'alaikum, Mas Alif" Zahra menyalimi tangan Alif.

"Wa'alaikumsalam, Za" mobil pun dilajukan Alif.

"Kita langsung pulang, mas?" tanya Zahra

"Oh iya, maaf saya lupa bilang kalo hari ini saya mau ajak kamu beli cincin" Zahra langsung menoleh. Matanya berbinar.

Zahra mengira Alif akan memberikan cincin untuknya sebagai tanda bahwa ia telah memiliki pasangan. Mereka memang beli cincin pernikahan, tapi tidak di pakai karena Alif masih belun siap orang-orang tau. Zahra bahagia.

"Beneran mas?" tanya Zahra tak percaya.

"Iya, kita jemput dulu Zira. Kan ukuran cincinnya harus pas di jari Zira"

Deg!

"O-oh, hm, bener mas" sesak menghimpit dada Zahra. Ternyata sesesak ini. Ia memabg menikah dengan Alif tapi mereka tidak memakai cincin pernikahan.

"Mm, kalo gitu, Za mau pulang aja, mas. Za gak mau ganggu kalian" ucap Zahra dengan nada sebaik mungkin.

"Ya gak bisa gitu, Za. Masa saya berduaan sama Azira? Kalo kita bertiga, kan gak akan ada fitnah"

Alif tak mengerti seberapa menyakitkannya menemani suami membeli cincin pernikahan dengan calon istri keduanya. Zahra merasakannya sekarang.

"Tapi, Za di mobil aja, ya" mobil pun berhenti di depan sebuah rumah. Rumah Azira.

"Kamu bantuin pilihin dong" ucap Alif

"Kenapa gak ajak Tante Rima aja?" Zahra telah kenal dengan Rima yaitu ibunda dari Azira. Rima cukup bersahabat dengan Zahra.

"Tante Rima lagi ada urusan. Kamu gak mau?" Zahra tertunduk dalam.

"Mas mengertilah.." lirih Zahra.

"Za—" tangan Alif terangkat tapi di urungkan kala pintu mobil sebelah kiri Zahra dibuka oleh Azira.

"Ah, eh, maaf" pintu mobil di tutup Azira.

Zahra dan Alif keluar. Merasa tidak enak pada Azira.

"Ah, Mbak Zira" ucap Zahra tidak enak hati. "Mbak, ayo masuk mobil"

"Hm, iya, Za" sahut Azira.

Azira dan Alif masuk mobil. Alif di belakang kemudi dan Azira di sebelah Alif.

"Astagfirullah, sabarlah, Za" ucapnya. Zahra merasakan sakit menjadi orang ketiga. Zahra mengalah. Ia duduk di belakang.

"Ah, maaf Za, mbak lupa. Kita tukeran tem—" ucap Azira tidak enak

"Gak papa, mbak. Mbak di depan aja. Zahra biar di belakang" Zahra tersenyum kecil membuat hati Azira semakin tak enak.

"Tapi, Za—"

"Udahlah, masa kalian di belakang. Saya keliatan kayak supir kalian dong" mobil di lajukan menuju toko mas.

Hening melanda. Canggung penyebabnya. Tak terasa setelah beberapa menit menempuh perjalanan, akhirnya mereka bertiga sampai di toko mas.

Mereka bertiga keluar mobil setelah mobil di parkirkan.

"Kalian masuk aja, ya. Biar Za di mobil aja" ucap Zahra. Ia tidak ingin hatinya kembali tersakiti.

"Ya ampun, Za. Kamu gak mau nganter?" tuduh Alif.

"Bukan gitu mas.."

Azira lebih baik bungkam. Ia mengerti perasaan Zahra. Pasti sangat sakit.

"Ya udah, Za ikut" mereka bertiga memasuki toko mas.

Hati Zahra tidak sekuat hati seorang Siti Sarah. Zahra terlalu lemah. Zahra meminta pada Allah agar hatinya di kuatkan sekuat-kuatnya. Zahra lelah sakit hati.

Mereka bertiga duduk di kusi di depan etalase yang menampilkan banyak perhiasan.

"Selamat datang, Pak Alif" ucap seorang karyawati.

"Terima kasih, mbak" sahut Alif. Toko mas yang mereka datangi adalah toko mas milik paman Alif.

"Bapak mau pilih cincin yang mana?" tanya karyawati itu.

"Tunggu sebentar" Alif menatap cincin-cincin di etalase itu.

"Zira, menurut kamu bagus yang mana?" tanya Alif.

"Yang itu bagus" Azira menunjuk sebuah cincin.

Azira dan Alif sibuk dengan cincin-cincin itu sedangkan Zahra hanya menyimak. Lantas kenapa Zahra harus diajak jika hanya untuk jadi penyimak?

"Mas Alif, Za mau makan dulu di kafe, ya. Sebentar aja kok. Nanti ke sini lagi" kebetulan di sebelah toko mas itu ada sebuah kafe.

"Oke" jawab Alif sambil memilah-memilih cincin.

Zahra merasa tidak dianggap kehadirannya. Ia merasa percuma ia ikut jika Alif hanya membutuhkan Azira. Ya Allah, kuatkanlah Zahra.

Zahra keluar dari toko mas lalu berjalan menuju sebuah kafe di sebrang jalan.

Zahra memasuki kafe lalu duduk di salah satu kursi. Ia pun memesan choco milk. Ia ingin rileks saat ini. Coklat bisa meningkatkan hormon endorfin dan membuat kita bahagia.

Zahra meminum choco milknya setelah sampai di depannya. Zahra sedikut tenang. Ia jadi rileks.

Ya Allah, jika hati ini tidak ikhlas untuk membagi cinta dengan wanita lain, maka ikhlaskanlah hati hamba menerima pernikahan mereka. Izinkanlah hamba mencintai Mas Alif lebih lama lagi, bisik Zahra dalam hati.

Lamunannya buyar kala sebuah panggilan masuk ke gendang telinganya.

"Za? Tumben di sini"

🌼

Assalamu'alaikum

Kawan-kawan, gimana kabarnya?
Gimana chapter-chapter di cerita ini?
Feel nya dapet gak?
Gak papa kalo masih gaje.
Maklumlah masih masa-masa pertamaan nulis cerita.
Jangan lupa voment!!
Fii Amanillah💕

Tania Ridabani.

Wanita Kedua [Dihapus Sebagian]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang