• Strange Place •
•
•
•
Suara berisik terdengar dari balik dinding bangunan usang yang berada cukup jauh dari sekolah. Bangunan itu merupakan tempat untuk menyimpan barang-barang yang tidak terpakai lagi atau biasa disebut gudang.
Suara berisik yang terjadi disana, terdengar seperti suara tendangan dan suara sebuah objek yang terhempas ke dinding. Sesekali suara gesekan benda pada tanah juga terdengar. Dan yang lebih jelas terdengar lagi adalah suara umpatan dan makian.
“Heh, brengsek. Bisa-bisanya lo nolak apa yang kami suruh, hah?” Tanya seorang anak berseragam dengan mata menatap tajam, tertulis Mingy di badge yang terpasang di dada seragamnya.
“Lo memang ngga tau malu, kan? Seharusnya lo mati aja, sialan,” sambung Mingy.
Anak lainnya yang berdiri di samping Mingy, mendecak kesal “Bikin emosi aja lo, gimana bisa lo ngga bawain rokok hari ini? Pait mulut gue, bangs*t!” dia adalah Yeosang.
Seseorang lainnya dengan wajah yang cukup tenang namun menyiratkan ketidaksukaan yang begitu besar, ikut membuka suara.
“Lo kalo bego di taker, jangan kelewatan. Kalo kelewatan gini, mending mati aja lo. Atau perlu gue yang matiin lo?” simpulnya menyampirkan jas seragamnya di bahu, dia adalah ketuanya, kepala dari perisakan yang sedang terjadi sekarang, Younghoon.
“Jawab tolol, dasar Yonghee bego, ngga guna!” teriak Mingy mendorong kasar kepala Yonghee yang berlutut di hadapannya dengan jari telunjuk.
Anak yang menjadi target tersebut, sedang berlutut di di tengah-tengah ketiga anak yang merisaknya. Ia berlutut menunduk, sebelah tangannya memegangi perutnya yang terasa sakit dan wajahnya yang sudah di isi beberapa luka memar serta sudut bibirnya yang terluka.
Yonghee sama sekali tidak menjawab. Ia hanya menunduk, menatap tanah kering di hadapannya yang tertutupi bayangan anak-anak perisak di depannya.
Karena merasa tak mendapat respon apapun dari si objek, Younghoon berjongkok malas di depan Yonghee dengan sengiran di bibirnya.
“Kasian banget lo,” ucapnya dengan nada yang dibuat seakan prihatin sambil mengusap-usap kasar rambut hitam Yonghee, lalu tiba-tiba menarik keras rambutnya sehingga wajah Yonghee terangkat dan langsung menatapnya, “Lo, kalo besok nggak bawain rokok kami. Habis lo di tangan gue!” Todongnya tepat di wajah Yonghee yang mencoba untuk tidak menatapnya, lalu melepas rambut Yonghee secara kasar dan berdiri dari hadapan Yonghee.
“Lanjutin, gue mau ke kantin. Yiren sudah nunggu.” Perintahnya sambil melenggang pergi dengan santainya dan tangan yang melambai acuh pada Yeosang dan Mingy.
“Jadi manusia kok tololnya kelewatan. Tinggal ambil di depan gerbang belakang apa susahnya sih, mau di tambah yang lebih susah apa,” cibir si ketua sambil berlalu.
“OKE!”
Younghoon berjalan pergi dan otomatis melewati Xion yang hanya bersandar pada dinding gudang dengan tangan masuk ke dalam saku celana. Younghoon menatapnya dengan tawa sarkas yang singkat, “Lo selalu main bersih, heran gue lo masih mau gabung,” Younghoon menepuk pundak Xion yang tertawa mendengar perkataan Younghoon.
“Karna lo yang main kotor, gue penontonnya,” sahut Xion.
Younghoon mengangguk-ngangguk sambil terus menepuki pundak Xion, “gue duluan. Lo enggak nyamper Juri?”
Xion tersenyum, “Juri absen. Dia lagi nemenin mamanya belanja.”
Younghoon mengangguk-angguk mengerti kemudian berlalu meninggalkan ketiga temannya dan satu yang di anggapnya ‘budak’ tanpa menoleh sedikitpun ke belakang.
Xion menatap punggung Younghoon dan menghembuskan nafasnya kasar lalu beralih pada kedua lainnya. Menggeleng-gelengkan kepalanya meski ia sudah sering melihat perlakuan mereka pada anak yang menjadi ‘budak’ mereka, tapi Xion selalu menghela nafas melihatnya. Ia tak habis pikir jika anak-anak ini yang selalu bersamanya -meski ia tidak ikut melakukan kekerasaan seperti Yeosang, Mingy ataupun Younghoon, dia tetaplah salah, karena membiarkan teman-temannya melakukan itu.
Yonghee menunduk semakin dalam sebelum akhirnya tubuhnya di paksa berdiri oleh kedua orang itu. Menyeretnya ke dinding gudang dan menjadikannya samsak pukul tanpa peduli bahwa dia adalah manusia.
Tak pernah sekalipun ia memikirkan nasibnya menjadi seperti ini. Ia ingin berteriak pada Tuhan, bertanya dan mencari jawaban atas apa yang ia dapatkan sekarang.
Dosa apa yang sebenarnya sudah ia perbuat?
Meski ia bersyukur atas ratusan rasa sakit ini. Tapi terkadang ia juga ingin berlari menjauh, melarikan diri dari rasa sakit yang tak pernah ia pikirkan sebelumnya. Rasa sakit, yang tak pernah ia sangka ketika ia memikirkan betapa menyenangkannya ketika tumbuh dewasa.
Semua pikiran menyenangkan menjadi dewasa ketika ia masih sangat kecil saat itu, tidak pernah terjadi dalam hidupnya.
Semua menjadi berbanding terbalik dengan kenyataannya.
Menghancurkan segala ekspektasi menyenangkan yang ia bangun.
Hidupnya yang sudah mendapat tekanan ketika masuk ke sekolah dasar, perisakan yang mulai di terimanya ketika sekolah menengah, dan masih berlanjut hingga sekarang -hingga ia menginjak ke sekolah menengah atas.
Tak ada perubahan pada hidupnya. Serangan fisik yang di dapatnya terus-terusan membuatnya tak bisa mempercayai akan sebuah perubahan di hidupnya. Di tambah tekanan dari mamanya, yang semakin menjadi dan semakin tak peduli bagaimanapun keadaannya.
Dia hanya bisa berdoa dan menginginkan satu harapan terkabulkan, tidak lebih.
Ia tak lagi merasakan rasa sakit penuh tekanan di hidupnya.
Jika memang Tuhan mengabulkan doanya itu dengan membawanya pergi ke tempat yang lebih baik, Yonghee akan senang hati menerimanya. Pergi ke tempat asing dan kembali dengan hari yang di penuhi kepolosan, menikmati hembusan ketenangan yang dapat membuatnya bernafas lebih tenang, tanpa harus memikirkan segala skenario yang buruk yang akan menimpanya.
--------🌱
Hope you enjoy reading this story. Thank you 🙆
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] Strange Place || CIX
FanfictionReturn to the beginning To the days of innocence - Yonghee Rated : 15+ Warn : Karena mengandung kekerasan, banyak kata-kata kasar, dan lainnya yang berpotensi membuat tidak nyaman dan trigger. Harap kebijakan dari para pembaca. Terima kasih 🙏