66. Know But Doubt

250 55 35
                                    


• Strange Place •

•••

Minhyun masih terjaga sambil bersandar di kepala ranjang dan tubuh yang diluruskan di atas ranjang bersama beberapa kertas yang sedang sibuk di bacanya, Seunghee menatap suaminya itu dari pantulan cermin meja rias yang berada didepannya.

“Kak?”

Minhyun mengangkat kepalanya, memberikan senyum mendapati istrinya melalui cermin yang memantulkan dirinya, “ada apa?” tanyanya.

Seunghee berdengung selama beberapa saat, “tentang Yonghee.”

“Hm?” alis Minhyun terangkat mendengarnya.

Aktivitas Minhyun benar-benar terhenti saat istrinya mulai berbalik dari meja rias dan berjalan mendekat kemudian mulai naik ke atas ranjang. Matanya tidak lepas dari gerak-gerik Seunghee, wanitanya terlihat sedikit ragu tanpa menatap balik padanya dan justru menatapi beberapa lembaran-lembaran kertas yang berada di pangkuannya.

“Lapkas, ya?”

“Iya. Kenapa? Kerjaanku masih bisa ditunda sebentar kok, kalau kamu mau cerita,” balas Minhyun, ia tau, gelagat Seunghee terlihat jelas bahwa wanita itu ingin bercerita padanya atau menanyakan sesuatu padanya.

Jadi Seunghee mengambil posisi bersila dengan menghadap Minhyun yang masih berada dengan posisi yang sama, kepalanya menunduk, memerhatikan tangannya yang saling bermain demi membuang rasa ragunya untuk bersuara.

“Ada apa?”

Wanita itu berdengung lagi untuk beberapa saat sebelum akhirnya mulai bicara, bermaksud menyampaikan apa yang sedang ia pikirkan. Tangannya terangkat sedikit dan bergerak menarik sebelah tangan Minhyun yang masih menggenggam beberapa lembar kertas yang harus suaminya periksa. Minhyun hanya tersenyum, ia diam memperhatikan, membiarkan Seunghee mulai menyelipkan jari-jarinya diantara jari-jemari tangan kanannya.

“Kondisi Yonghee, benar-benar baik? Nggak bohong, kan? Bukan hanya untuk menenangkan anak-anak aja, kan?” rentetan pertanyaan dengan suara hampir seperti berbisik itu di tutup dengan kepala Seunghee yang terangkat kemudian menatap Minhyun.

“Kenapa? Kok ragu?”

Seunghee kembali mengalihkan wajahnya, “bukan ragu. Tapi aku nggak mau kamu bohong ke anak-anak, kak. Dengan bilang kalau kondisi Yonghee membaik setelah operasi kedua, itu akan meningkatkan harapan anak-anak. Kalau harapan anak-anak terlanjur tinggi, kemudian—“

Jeda menjadi pilihan Seunghee. Ia menjadi semakin ragu dan khawatir jika ketakutannya berakhir nyata.

“Aku jujur, sayang,” sanggah Minhyun, sebelum mendengar segala macam kekhawatiran yang sedang semrawut dipikiran Seunghee, “Kondisi Yonghee memang membaik, walaupun kita masih nggak tau untuk ke depannya. Setidaknya, kondisinya sekarang jauh lebih bagus ketimbang sebelumnya. Cukup doakan agar kondisinya akan bertahan sampai bisa berhasil untuk bangun dan bisa dipindahkan ke ruang perawatan biasa.”

Hembusan nafas lega tersampaikan.

Dirinya memang benar meragu dan ia tidak bisa menampik itu, terlebih melihat gurat ketidakpercayaan pada kedua putranya. Senghee cukup mengerti tentang itu, dan yang paling ia yakini adalah suaminya adalah seseorang yang selalu menjaga suasana agar menjadi baik. Makanya, dia cukup ragu mengenai apa yang dikatakan suaminya beberapa hari yang lalu.

“Jadi, ini bener, kan?” konfirmasinya sekali lagi, kepalanya masih berusaha mencatat bahwa apa yang dikatakan Minhyun adalah kebenarannya.

“Iya,” kepala lawan bicaranya mengangguk mantap diselingi senyum. Apa lagi yang bisa ditampiknya sekarang? Dan ia yakin.

“Sudah, yuk. Tidur sini. Biar aku usap punggungnya sambil baca laporan,” dan Minhyun menarik tangan Seunghee yang masih menggenggam tangannya, menariknya agar berbaring disampingnya dengan menjadikan dadanya sebagai bantalan sementara ia kembali bekerja.

-----------🌱

“Mi, mau roti isi rasa apa?”

Jiyeon berdeham tanya sembari tangannya meletakkan satu persatu hasil masakannya malam ini ke atas meja makan dimana Hyunsuk sudah menempati kursi miliknya, “Mami nggak kembali ke kantor, sampai tiga hari ke depan. Jadi Hyunsuk nggak perlu buat roti isi buat mami.”

“Oke.”

Setelah semua makan malam yang sudah Jiyeon masak terhidang diantara keduanya untuk makan malam yang cukup terlambat hari ini, seperti biasa, Jiyeon memimpin doa sebelum makan selaku dirinya sebagai yang tertua di rumah.

“Selamat makan, mi.”

“Selamat makan, sayang.”

“Hyunsuk..” panggil Jiyeon, ditengah makan malam keduanya.

Hyunsuk mengangkat wajahnya, “iya?” dan matanya mengikuti tangan Jiyeon yang tengah menyodorkan sesuatu kearahnya setelah wanita itu mengambilnya dari balik kantung celana training yang wanita itu gunakan. Alis Hyunsuk langsung mengernyit saat matanya selesai memindai hal apa yang tertera pada sepotong kertas berwarna pastel dengan bungkus amplop dengan warna senada yang berada dibawah kertas tersebut yang didorong Jiyeon padanya.

“Minggu depan. Terserah Hyunsuk mau datang atau nggak. Mami nggak maksa.”

Hyunsuk mengabaikan Jiyeon dengan melahap lagi makan malamnya. Ia menjadi enggan untuk bicara mengenai hal tersebut. Meski urung membuka mulut, ia lalu melayangkan satu pertanyaan, “bisa Hyunsuk liat foto calon istrinya papi?”

Jiyeon menurut. Ia tidak bisa menolak, pikirnya putranya juga berhak tau rupa wanita yang akan membina rumah tangga bersama mantan suaminya sekaligus ayah dari putra tunggalnya itu. Jadi ia segera membuka aplikasi obrolan di ponselnya, membuka ruang obrolannya dengan Youngmin yang pernah mengirimkannya foto wanita tersebut.

Setelah melihat wanita yang dipilih papinya, Hyunsuk diam untuk beberapa saat, dan kembali menyuap nasi ke dalam mulutnya dengan gerakan cepat. Lalu bersuara pelan ditengah kunyahannya, “baru lagi.”

Jiyeon menghela nafas sebentar menyadari maksud Hyunsuk. Ia beralih melipat kedua tangannya di belakang mangkuk nasi miliknya alih-alih melanjutkan makan seperti apa yang dilakukan Hyunsuk, “mami sudah tau apa yang terjadi sewaktu Hyunsuk nyusul papi ke apartemennya. Maaf, mami baru bahas sekarang. Karena mami tau, kemarahan Hyunsuk dimulai dari sana. Dan wanita yang dinikahi papi bukanlah wanita yang Hyunsuk liat waktu itu.”

“Terus?”

“Perempuan itu cuma tetangga papi. Memang suka ganggu papi setelah papi tinggal disana. Wanita itu yang melakukannya secara langsung pada papi sewaktu papi keluar dari unitnya. Kebetulan.. Hyunsuk sampai disana.”

“Hyunsuk nggak peduli.”

“Papimu menyesal, nak. Papi juga minta maaf tentang janjinya buat ketemu Hyunsuk dan Hyunsuk berakhir nunggu papi berjam-jam terus mutusin buat datang ke kantor mami waktu itu. Papi tiba-tiba dapat panggilan untuk bertemu kliennya dan itu menghabiskan waktu berjam-jam sampai nggak bisa pegang ponsel karena kliennya benar-benar cerewet—“

“Kalau papi memang mau minta maaf, seharusnya papi hubungi Hyunsuk, bukan mami!” suara Hyunsuk mulai sedikit meninggi, ia sadar amarahnya mulai naik mengendalikan dirinya.

“Papi mau seperti itu, sayang. Tapi papi tau, sudah nggak mudah untuk melakukannya. Papi tau kalau Hyunsuk sudah terlewat kecewa."

“Lalu, kenapa papi nekat nikah dalam waktu dekat? Hyunsuk makin marah sama papi!”

Anak itu sekarang sudah benar-benar menghentikan makannya dengan meletakkan sumpitnya di samping mangkuk nasi sambil menghentak keras. Sungguh ia kecewa. Dan rasa kecewanya semakin besar disaat wanita dihadapannya yang justru menjelaskan semua situasi yang membuat papinya menggagalkan rencana pertemuan mereka.

“Sayang, pernikahan papi sudah dipersiapkan cukup lama dan nggak mungkin papi membatalkannya. Ini bukan sesuatu yang baru-baru saja papimu urus, nak. Seharusnya yang malam itu, papi mau ngajak Hyunsuk buat ketemu calon istrinya.”

Hyunsuk terdiam. Tangannya mengepal cukup kuat di atas meja. Matanya turun memandang kertas undangan pernikahan yang masih berada dekat tangannya. Perasaan campur aduknya membuncah. Ia mengerti penjelasan maminya, mengerti apa-apa saja yang membuat papinya mengingkari janji, namun ia tidak bisa menyangkal rasa kecewanya yang belum bisa terobati.

“Hyunsuk nggak akan datang ke acara papi,” dan ia berdiri dari duduknya, meninggalkan Jiyeon yang masih berada disana tanpa menoleh kembali. Ia langsung berjalan menuju kamarnya dan menutup pintu itu dengan keras.

Jiyeon hanya bisa menghela nafas. Ia tahu tidak mudah untuk membuat Hyunsuk memaafkan Youngmin begitu saja. Anaknya terlanjur kecewa. Itu sangat sulit untuk meluluhkannya bagaimanapun juga.

Pikirannya terpecah saat bunyi interkom unitnya berbunyi. Ia bergerak pelan karena pikirannya masih cukup penuh mengenai Hyunsuk. Ketika melihat dilayar interkom, anak laki-laki yang sudah begitu dikenalnya yang tengah berdiri di depan pintu mereka.

“Selamat malam, tante,” sapa anak itu.

Jiyeon tersenyum menyambutnya. Tidak lupa juga ia membuka lebar pintunya dan Jiyeon mengerti bahwa anak di depannya berencana menginap di unitnya. Ini terlihat dari tas besar yang berada di punggung serta satu buah tas tangan yang tengah dijinjing, “ayo masuk, Guanlin.”

Sambil mengikuti Guanlin yang berjalan lebih dulu ke dalam, ia tersenyum memerhatikan postur tubuh Guanlin yang tidak jauh berbeda dengan Hyunsuk. Biasanya putranya itu akan memberitahu tentang kedatangan Guanlin sebelum anak didepannya ini sampai, tapi karena permasalahan tadi dan putranya terlanjur marah, pasti membuat Hyunsuk lupa untuk mengabarinya mengenai Guanlin.

“Guanlin sudah makan?”

Guanlin tertawa kaku menatap Jiyeon yang melangkah ke ruang makan yang berada di bagian kiri, tidak lupa dengan gerak tangan menggaruk kepalanya yang tidak gatal, “hehe, belum tante.”

“Ayo, makan sini. Tas sama paddingnya di taruh di meja aja dulu.”

Guanlin menurut. Jiyeon meletakkan semangkuk nasi hangat yang mengepul di depan Guanlin yang sedang menarik kursi untuk diduduki sambil menarik kartu undangan yang masih berada di sana sebelum disadari oleh Guanlin. Anak itu lalu mengernyit menyadari semangkuk nasi lain yang mulai di angkat Jiyeon untuk digantikan dengan mangkuk nasi untuknya, “Hyunsuk makannya nggak habis, tante?”

“Hyunsuknya lagi ngambek,” Jiyeon terkekeh mengatakannya, “selamat makan,” lanjutnya, disusul dirinya menempati tempat duduknya kembali dan mulai memakan makan malamnya yang tadi baru sempat tersentuh sedikit.

“Nanti Guanlin yang baikin Hyunsuk, tante. Si bongsor itu sudah besar, masih aja suka ngambek,” ucap Guanlin di tengah kunyahan dengan pipi yang menggembung besar.

Jiyeon tidak bisa tidak tertawa melihatnya dan ditutup dengan senyum kaku menyadari bahwa 'ngambek'-nya sang putra malam ini bukan sekedar karena hal sepele. Entah apa yang akan menjadi respon anak bongsor yang tengah makan dihadapannya ini jika putranya sudah mengatakan alasan kemarahannya. Mungkin anak itu akan langsung merasa tidak enak setelah mengetahuinya nanti.

[✓] Strange Place || CIXTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang