09. Confusing Perfection

436 98 7
                                    

• Strange Place •


Butuh beberapa menit untuk Yonghee sampai ke tempat lesnya, terlebih taksinya harus memutar kembali menuju sekolahnya karena jalan dari klinik menuju tempat lesnya hanya menggunakan satu jalur, sehingga akan semakin memakan waktu untuk memutar kembali.

Yonghee turun di depan toko baju yang terhalat empat toko lainnya dari tempat les piano. Udara sangat dingin sekarang dan waktu sudah menunjukkan pukul 10 lewat beberapa menit, Yonghee tidak akan mungkin menyusul guru pianonya mengingat jam pelajaran mereka berakhir tepat jam 10 tadi.

Yonghee sedikit kecewa sebenarnya, jika bukan karena kakinya yang sakit dan mengharuskannya berjalan menyeret, ia bisa berlari dan menyempatkan datang barang semenit. Yang penting, ia masih bisa menemui gurunya sekedar mengabsen wajah.

Baru beberapa langkah kakinya berjalan, matanya menangkap sosok yang terus ia pikirkan sejak ia mulai panik di klinik.

Yonghee terdiam. Menatap lurus ke depannya. Seorang wanita pertengahan 40 sedang berdiri sambil mendekap tubuhnya sendiri di selimuti mantel bulu berwarna hitam serta syal coklat yang melilit di lehernya yang hampir menutupi seluruh wajahnya, berjalan mondar-mandir tepat di depan tempat les Yonghee.

Sampai wanita itu menghentikan acara mondar-mandirnya, kemudian beralih menatap pelataran toko-toko di samping tempat les piano. Ia terdiam, masih mendekap tubuhnya, dan menatap ke arah Yonghee yang sudah membuatnya menunggu di tengah udara dingin.

Mulut Yonghee bergetar, tak sanggup menatap sosok wanita elegan yang berjarak beberapa meter di depannya yang sedang memandangnya.

Perutnya tiba-tiba terasa mual dan rasa pening menghampiri kepalanya yang dari tadi sudah berdenyut. Langkah kakinya semakin berat. Meski tak di perintah secara lisan, tatapan wanita yang sudah melahirkannya itu merupakan perintah mutlak yang tak bisa terbantahkan.

Mamanya -Eunseo, menatap lekat ke arah Yonghee yang mulai melangkah.
Sampai jarak mereka terkikis, menyisakkan satu meter di antara keduanya, Yonghee terhenti. Ia hanya menunduk, menatap ujung kakinya yang hanya beralaskan sandal sambil meremat jari-jari tangannya.

Tubuhnya menjadi ikut bergetar, bersiap untuk segala pertanyaan untuknya.

“Kamu darimana kak?” tanya mamanya lembut, ia melepas dekapan tangannya dan beralih mengelus lembut pipi putra semata wayangnya. Dingin. Hanya itu yang di rasakan tangan Eunseo saat menyentuh putranya yang berharga.

“Muka kamu kenapa kak? Berantem lagi?” tanya mamanya. Lagi. Meski belum mampu merebut atensi Yonghee.
Eunseo menarik tangannya dari pipi Yonghee dan sekarang beralih pada puncak kepala putranya yang sedikit lebih tinggi darinya. Mengelus halus rambut kelam Yonghee.

“Kamu tau kan ini sudah jam berapa? Pak Seongwu sudah pulang jam 10 tadi.”

“Mama langsung kesini waktu Pak Seongwu telepon mama, terus kasih tau mama kalo anak mama nggak datang.”

Yonghee masih terus menunduk, tak berani menatap mamanya. Jari-jarinya semakin kuat ia remat. Ia tau mamanya kecewa yang bahkan dia sendiri kecewa pada dirinya karena menghancurkan jadwal les yang sudah di susun oleh mamanya.

Beberapa sekon, Yonghee hanya terdiam sampai mamanya menarik kembali tangannya dari puncak kepala Yonghee dan memasukkannya ke dalam saku mantel.

Eunseo sebenarnya kecewa dan kesal pada anaknya. Ia ingin berteriak pada putra berharganya betapa pentingnya les yang ia atur. Ia paling tidak senang jika Yonghee membolos les seperti ini. Memang anaknya jarang membolos, terhitung hanya beberapa kali. Tapi ia tak pernah membayangkan, hari ini, hari sibuknya dimana peluncuran pakaian edisi khususnya di luncurkan, putranya malah membuat ulah.

Eunseo merupakan pemilik brand fashion yang terkenal dan ia merupakan orang yang sibuk -selain suaminya yang lebih sibuk darinya. Terutama seperti sekarang, hari dimana edisi pakaiannya di luncurkan, ia menjadi berkali-kali lebih sibuk. Entah kenapa, di hari yang sama pula, putranya malah membolos di semua les.

Eunseo menghembuskan nafasnya pelan, “kamu tau kan kak, mama sibuk. Hari ini edisi khusus di luncurkan. Tapi hari ini juga kakak bikin mama kecewa,” ucapnya lembut.

“Yaudah, ayo masuk mobil. Tante Yuri sudah nunggu di dalam,” sambung Eunseo kemudian berjalan kearah mobilnya terlebih dahulu.

“M-maaf ma..”

Tangan Eunseo yang hendak meraih gagang pintu mobilnya terhenti. Ia menoleh kembali ke arah Yonghee yang masih belum mau menatapnya dan masih berdiri di tempat yang sama.

“Yaudah, masuk mobil kak.”

Yonghee mengangguk. Eunseo sudah duduk di kabin depan yang berada di samping kursi kemudi, dimana kursi kemudi sudah di tempati oleh Yuri -asisten Eunseo.

Yonghee menyeret kakinya menuju mobil mamanya lalu duduk di kursi kabin tengah.

Tak ada suara sesampainya di dalam, hening. Setelah melihat Yonghee memasang seat belt, Yuri perlahan menjalankan mobil Eunseo.

Yonghee menatap mamanya itu lewat spion depan. Wajah mamanya hanya menampilkan wajah tanpa ekspresi, membuatnya tak berani terlalu lama melihat wajah mamanya.

Beberapa kali Yonghee tidak mengikuti les, tapi hari ini merupakan yang fatal. Yonghee tak pernah absen di seluruh jadwal lesnya seperti hari ini dan itu merupakan hal yang wajar jika mamanya begitu marah.

Yonghee meremat jari-jari tangannya yang berada di pangkuannya. Mencoba menjalankan otaknya untuk berpikir tentang apa yang akan terjadi selanjutnya dan mencoba menghitung, berapa banyak pukulan yang akan di terimanya karena sudah berani absen di seluruh lesnya.

Di tatapnya tangannya dimana jari-jarinya ia remat kuat dari tadi. Membolak-balikan di atas pangkuannya. Sebuah garis tak beraturan berwarna merah tergambar di punggung tangannya. Ia tak sadar darah yang mengalir dari bekas tusukan jarum infusnya membuat beberapa garis panjang di atas punggung tangannya. Yonghee tersenyum masam menatap punggung tangannya, dimana darah yang sudah mengering mengecat sempurna permukaan punggung tangannya.

Hatinya nyeri, melihat betapa menyedihkan dirinya yang bahkan darah keringpun ia tak sadar.

Cukup lama Yonghee hanya memerhatikan punggung tangannya yang di aliri darah yang mengering. Baru kemudian ia mengambil sapu tangan kecil dari saku celananya. Mengelap dengan penuh kehati-hatian pada punggung tangannya, takut jika luka baru akan terukir di atasnya meskipun itu mustahil untuk melukainya yang mengelap darah kering hanya menggunakan sebuah sapu tangan.

Yonghee menjadi berpikir tentang mamanya. Jika ia membiarkan darah kering tersebut, maukah mamanya membantunya membersihkan tangannya agar noda darah dapat menghilang? Mengelus lembut punggung tangannya dan mengalirkan sedikit semangat padanya? Berhenti sejenak menatapnya penuh kesempurnaan yang ia sendiri tak pernah memikirkan tentang kesempurnaan apa yang coba di bangun mamanya melalui dirinya sejak dulu?

Jika mamanya bisa melakukan itu, saat itu mungkin Yonghee sedang tertidur dengan sangat lelap, terbang melayang ke alam mimpi tanpa mengetahui bahwa ia sudah terbang terlalu tinggi di ruang penuh bayangan itu. Setidaknya, ia bisa memimpikannya sesaat lalu kembali ke kenyataan untuk memenuhi semua kesempurnaan yang di inginkan mamanya tanpa melihat betapa buruknya rupa Yonghee sesungguhnya yang di penuhi luka.


-----------🌱

Just enjoy for reading this book 🙆
Thank you 🙇‍♀️

[✓] Strange Place || CIXTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang