68. Home - 2 End -

239 55 30
                                    


• Strange Place •

•••


Eunwoo tersentak bangun saat bunyi bel rumahnya berbunyi. Nyawanya seolah masih melayang ketika kedua kelopak matanya terbuka sepat dan jam sudah menunjukkan hampir pukul tujuh.

Tubuhnya sedikit sakit saat ia duduk, bangkit dari posisi terbaringnya dimana ia tertidur di atas sofa. Bunyi bel yang menguar dari interkom rumahnya kembali berbunyi, semakin mendesak secara halus si pemilik rumah untuk segera beranjak.

Di layar interkom, terlihat seorang anak laki-laki dengan seragam rapi berdiri dengan pandangan selain ke arah kamera interkom. Kedua alis Eunwoo terangkat melihatnya, namun ia segera mengabaikan kebingungannya dan memilih beranjak keluar.

“Selamat pagi, om,” sapa anak itu sesampainya Eunwoo membuka pintu pagar rumahnya.

“Pagi, Jinyoung. Ada apa? Bukannya harus segera pergi ke sekolah?”

Jinyoung bergumam lalu kedua tangannya yang sedang menggenggam sesuatu terangkat dan mengarah pada Eunwoo, “Ayah minta buna buat sarapan yang banyak dan di antar buat om waktu liat mobil om ada di rumah pagi-pagi.”

“Ah, terima kasih banyak, Jinyoung. Sampaikan terima kasih om pada ayah dan buna mu, ya,” balas Eunwoo sembari menerima tas kotak makan yang disodorkan Jinyoung.

Jinyoung mengangguk untuk itu dan mengatakan pamit sebelum akhirnya Eunwoo menghentikan langkahnya, “Jinyoung suka sereal?”

Sebenarnya Jinyoung tidak begitu suka pada sereal, yang lebih menyukai sereal adalah Hyunjin, jadi ia menerima saja tawaran Eunwoo yang mengatakan ingin membagi sereal padanya sebagai rasa terima kasihnya pada sarapan yang sudah dibuatkan oleh bunanya.

Jinyoung mengikuti Eunwoo ke dalam rumah yang merupakan tempat tinggal Yonghee. Dirinya tidak pernah singgah kesana. Selama ini, ia hanya memperhatikan rumah itu dari kediamannya sendiri, apalagi semenjak Yonghee benar-benar tidak pernah pulang ke rumah lagi dan mengharuskan anak itu tertidur yang panjang di rumah sakit. Rumah itu sebenarnya terlihat nyaman dengan suasana yang minimalis — karena sebenarnya potongan rumah itu cukup sama dengan rumahnya — tapi itu pasti hanya dalam pandangan orang luar, tidak untuk penghuninya.

“Om beli banyak sereal, juga camilan lain yang seingat om Yonghee suka. Seharusnya om nggak beli banyak. Tapi om juga nggak ngerti, om malah belanja banyak walaupun om masih nggak tau kapan Yonghee sadar dan bisa memakannya,” suara Eunwoo memecah pikiran Jinyoung sembari lelaki itu berjalan memimpin anak yang lebih muda, “setiap membelinya, om selalu berharap saat sampai di rumah sakit para dokter atau ayahmu mengatakan bahwa Yonghee telah sadar,” lanjutnya, lalu diakhiri dengan terkekeh masam.

Jinyoung hanya mengangguk-angguk mengerti di balik punggung Eunwoo dan sedikit menghembuskan nafas. Kemudian saat lelaki itu berhenti tepat di ruang tengah, ia membalik tubuhnya dan menghadap Jinyoung. Ia tersenyum pada Jinyoung lalu mengarahkan tangannya pada sofa yang berada di sana, “duduklah. Om ambilkan serealnya dan beberapa camilan,” selanjutnya Eunwoo meninggalkan Jinyoung tanpa menunggu anak itu menempati sofa yang ia tunjuk.

Kaki Jinyoung melangkah ke depan sofa panjang yang mengarah langsung pada televisi yang menyala. Di benda tabung itu sedang menayangkan animasi yang sudah pasti bukan hal yang ditonton oleh lelaki dewasa, Jinyoung menyimpulkan bahwa televisi itu terputar begitu saja tanpa dipedulikan pemiliknya akan menayangkan apa.

Ia tidak begitu peduli pada layar televisi yang sekarang dengan lagu riangnya bersama si tokoh yang bergerak aktif, mata Jinyoung justru beralih pada beberapa benda yang berserakan di atas meja yang hanya setinggi lututnya yang tertekuk. Matanya menelisik satu persatu yang ada di sana, kemudian hatinya merasa tidak enak.

Benda-benda di atas meja tersebut adalah milik Yonghee, ia yakin tentang ini. Ketika suara benda terjatuh terdengar, respon Jinyoung refleks mengarah pada arah suara jatuh tersebut. Ternyata beberapa kotak sereal terjatuh ke lantai. Rupanya tangan Eunwoo tidak cukup menggenggam banyak kotak sereal yang ia keluarkan dari dalam kotak dus besarnya.

Dahi Jinyoung mengernyit, menyadari bahwa perkataan Eunwoo benar. Lelaki itu benar membeli banyak sekali sereal juga camilan, terbukti dari banyak sekali kotak-kotak dus yang beberapa diantaranya bahkan tertumpuk cukup tinggi di sudut ruangan sana.

Pandangan Jinyoung menurun. Sedih melihat niatan Eunwoo yang selalu memiliki harapan tinggi agar Yonghee dapat segera bangun. Karena dirinya juga demikian — memiliki harapan yang sangat tinggi agar Yonghee secepatnya terbangun dari tidur panjang.

Tatapannya tanpa sengaja tertuju kembali pada benda-benda yang berada di atas meja. Tidak banyak, hanya benda wajib anak sekolah dan beberapa hal lain sebagai tambahan, seperti sebuah buku berukuran lebih kecil dari buku tulis serta sebungkus permen jeli. Tawa masam keluar tipis dari bibirnya.

Rautnya hampir tidak terkendali melihat benda tersebut, terutama saat ia tidak sengaja menangkap rangkaian kata yang tertulis pada buku tak bergaris yang terbuka tepat beberapa senti dari pinggiran meja.

Jinyoung menutup paksa kedua matanya.

Tulisan itu adalah tulisan Yonghee, dan kata-kata yang tertulis tak begitu banyak disana cukup menyakitkan sampai rasanya pusing.

“Maaf, rumah om berantakan.”

Jinyoung membuka kembali kedua matanya saat mendengar suara Eunwoo, tangannya yang saling menggenggam erat merenggang seketika.

“Om biasanya nggak lama di rumah, jadi rumah selalu berantakan dan nggak bersih. Maaf jika nggak nyaman,” lanjut Eunwoo, lelaki itu juga berusaha membersihkan benda milik Yonghee yang berserakan di meja ke dalam tas yang juga teronggok diantaranya.

“Nggak kok, om. Rumahnya nyaman.”

Eunwoo tersenyum mendengarnya, meski ia tahu mungkin jawaban dari anak itu hanya agar membuatnya nyaman, tapi itu lebih baik. Dia sendiri ingin menolak bahwa rumahnya tidak nyaman saat ini.

Jinyoung menerima satu tas penuh berisi kotak-kotak sereal serta camilan-camilan, ia cukup tercengang dan membuatnya terdiam beberapa saat menatapi isi dalam tas yang sudah ada dalam di tangannya, “banyak banget, om.”

“Saya punya banyak. Sepertinya kebanyakan malah kalau cuma buat Yonghee sendirian.”

Jadi Jinyoung tidak menjawabi lebih lanjut, ia hanya mengangguk untuk menerimanya. Kemudian meminta izin untuk berpamitan dan Eunwoo mengatarnya sampai ke depan gerbang.

Lelaki yang lebih tua mencegah langkah Jinyoung kembali sebelum dirinya memasuki pekarangan rumahnya sendiri, ia menoleh pada Eunwoo, menunggu Eunwoo untuk mengatakan hal apa yang membuat lelaki itu kembali menahan langkahnya.

“Selalu tunggu Yonghee, ya? Dan jadikan Yonghee sebagai salah satu teman Jinyoung. Anak om itu, juga mau berteman dengan seseorang tanpa harus merasa takut,” suara Eunwoo terdengar bergetar begitupun bola matanya yang tengah menatap Jinyoung, ia segera menunduk untuk menghalau rasa sedihnya yang muncul secara tiba-tiba.

“Semangat belajarnya, nak. Terima kasih sarapannya.”

Jinyoung mengangguk dan membalikkan tubuhnya dengan kaku tanpa bisa membalas apapun. Ia menghela nafas saat sudah berada di pekarangan rumahnya sendiri dan tidak akan tampak lagi dari pandangan Eunwoo.

“Saya sudah pasti nunggu Yonghee, om. Saya nggak mau menyesal untuk kedua kalinya.”

-----------🌱

Idenya lagi stuck banget, mau nangis rasanya ಥ‿ಥ

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Idenya lagi stuck banget, mau nangis rasanya ಥ‿ಥ

Thanks for reading this book. Have a good day everyone (◍•ᴗ•◍)❤

[✓] Strange Place || CIXTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang