26. Full Mind

324 75 19
                                    


• Strange Place •




Yonghee memilih kembali ke kelas ketika jam terakhir berakhir, sehingga ia tidak akan berpapasan dengan siapapun saat kembali ke kelas.

Walau dia sebenarnya malas berlama-lama di ruang kesehatan karena seorang anak yang sedang bertugas, mengeluh sana-sini melalui ponselnya yang entah anak itu sedang tersambung dengan siapa, yang pasti dan yang masih teringat di kepala Yonghee adalah pembicaraan sepihaknya yang bisa ia dengar dari balik tirai tempatnya terbaring. Pembicaraan yang ingin Yonghee hindari, namun kembali ia dengar.

“Iya, gue kira dia mati, ternyata belum mati. Kaget dong gue, pas dapat hukuman jaga ruang kesehatan, pas banget dia masuk ruangan sini.”

“Ngeri gue liatnya.”

“Mukanya sudah kaya mayat gitu. Pucet banget. Untung gue bukan tenaga medisnya, gue cuman di suruh jaga ruang kesehatan doang.”

“Nggak lah, gue sempat cabut. Males gue nungguin ruang kesehatan, ada itu anak lagi. Kayanya sih belum bangun. Padahal gue kembalinya deket pulang sekolah, loh.”

Beberapa kalimat anak perempuan yang Yonghee tidak ketahui siapa, teringat di kepalanya.

Dalam satu hari ini saja, guncangan yang di terimanya begitu dahsyat, sampai rasanya ia sudah tidak bisa menapak di bumi. Dadanya tidak bisa berhenti merasakan sesak, hatinya begitu terluka.

Kabut pedih sudah terlalu tebal dan Yonghee merasa sudah tidak bisa menanganinya. Apakah ia harus berhenti untuk berteman dengan Jinyoung dan Seunghun? Apakah dia harus berhenti, mendapatkan pegangan yang tidak akan pernah ia temukan lagi? Tapi otaknya pun berpikir demikian, lebih baik ia kembali seperti semula, kembali pada keadaan yang tidak di pedulikan oleh siapapun dan tidak berinteraksi dengan siapapun.

“Yonghee!”

Panggilan seseorang membuyarkan pikiran Yonghee.

Jinyoung dan Seunghun berjalan menuruni tangga sambil menenteng tas Yonghee di tangan kanan Jinyoung.

Yonghee mendongak, ia terdiam tepat di samping tangga, pandangannya mengikuti Jinyoung dan Seunghun yang turun tergesa menuruni tangga yang tersambung ke lantai dua.

“Lo nggak papa kan, Hee?” Jinyoung bertanya khawatir pada Yonghee sambil mencengkram kedua bahu Yonghee dan meniti setiap tubuh anak laki-laki berambut kelam itu.

Yonghee hanya tertunduk, hanya membiarkan apa yang dilakukan Jinyoung padanya. Ia terdiam.

“Gue sama Jinyoung sebenarnya mau nungguin lo di ruang kesehatan, tapi pelajaran pak Dongho. Lo tau sendiri kan dia gimana. Tapi lo tadi di izinin kok, jadi lo nggak perlu khawatir,” sambung Seunghun.

Yonghee mengangguk beberapa kali dan masih sambil tertunduk. Masih dengan tangan Jinyoung di kedua bahunya.

Jinyoung menurunkan kedua tangannya dari bahu Yonghee, “gue sama Seunghun bakal jagain lo. Maaf, kami kecolongan tadi. Karena anak-anak bener-bener brengsek!”

Yonghee masih melakukan hal yang sama seperti sebelumnya, tertunduk dan mengangguk beberapa kali.

“Lo beneran nggak papa kan, Hee?” tanya Seunghun, memastikan kembali, walau dia tau, tidak mungkin Yonghee akan baik-baik saja setelah kejadian tadi siang.

Untuk kesekian kalinya, Yonghee hanya menunduk dan mengangguk.

Jinyoung dan Seunghun saling bertatapan, mereka sebenarnya mengerti, tapi juga tidak tau harus berbuat apa tentang situasi Yonghee. Yang pasti, situasi siang tadi memang buruk dan sangat kacau. Mereka saja merasa situasi tersebut membuat frustasi, bagaimana dengan Yonghee? Yang merupakan pusat dari kejadian tersebut.

Yonghee menarik tasnya dari tangan Jinyoung. Keadaannya pun tidak seberantakan seperti sebelumnya, ia sudah merapikan baju, serta memakai kardigannya meski dua kancing atas bajunya ternyata sudah tidak terpasang di bajunya dan tak tau entah kemana, membuat dasinya terpaksa ia lepas dan di genggamnya sembarang.

Seulas senyum yang begitu di paksakan, Yonghee berikan pada Jinyoung dan Seunghun, “terima kasih. Maaf sudah merepotkan.”

“Lo pulang ikut gue ya. Tapi gue harus ikut ayah dulu ke rumah sakit sebentar. Lo nggak papa, kan? Soalnya kalo Seunghun, dia langsung mau pergi nyamper ibunya.”

Yonghee menatap Jinyoung dan kembali tersenyum, kali ini ia juga menggelengkan kepalanya dengan pelan, “nggak usah, Jinyoung. Aku bisa pulang sendiri, sama seperti kemarin, aku harus langsung ke tempat les.”

Wajah Jinyoung sedikit kecewa mendengar penolakan Yonghee lagi, karena ini adalah ajakannya yang ketiga kali dan tetap di tolak.

Seunghun menepuk bahu Jinyoung, “yaudah, lo gue anter ke tempat les lo. Gue nggak papa kok kalo nganter lo dulu.”

Giliran Seunghun yang di tatap Yonghee, “nggak papa, aku naik taksi aja seperti biasa. Kalian duluan aja.”

Jinyoung menghembuskan nafasnya, ia menoleh pada Seunghun sebentar, “yaudah, kami duluan. Kalo ada apa-apa, langsung hubungi nomor kami. Kami usahakan selalu on. Gue sama Seunghun duluan ya, Hee. Sampai besok.”

Jinyoung menepuk bahu Yonghee di susul oleh Seunghun, kemudian kedua orang itu meninggalkan Yonghee sendirian.

Suasana sekolah sudah begitu sepi. Suasana sore menjelang malam pun tergambar jelas di luar sana.

Yonghee mulai berjalan menuju pintu utama sekolah, sebuah mobil sedan hitam pergi menjauh menuju gerbang sekolah di susul sebuah motor sport berwarna hitam doff di belakangnya. Kedua temannya.. atau lebih tepatnya kedua orang sekelasnya itu, sudah pergi meninggalkan Yonghee.

Yonghee mulai putus asa. Melihat segala kejadian hari ini membuatnya berpikir tidak ada jalan keluar selain kembali pada keadaan sebelumnya. Namun sudah berkali-kali ia pikirkan, ia tidak tau harus melakukan apa. Dia tidak menemukan jawaban apapun untuk menghentikan kejadian yang sama dapat terulang kembali.

Sekembalinya Younghoon nanti, tidak menutup kemungkinan bahwa anak-anak tetap akan melakukan hal yang sama padanya. Dan dia juga memikirkan tentang Jinyoung, juga Seunghun. Dia tidak bisa melibatkan kedua orang itu. Dia tidak bisa.

Yonghee mulai berjalan perlahan, mulai melangkah keluar meninggalkan gedung sekolah.

Hari ini pun dia jadi absen di pelajaran Bu Sejeong dan Pak Dongho. Jika Bu Sejeong saja, Yonghee tidak masalah. Namun sekarang, masalahnya adalah Pak Dongho. Guru matematikanya itu tidak akan mau menerima begitu saja ketidakhadiran siswanya di dalam kelas, gurunya itu sudah pasti akan langsung memberitahu orang-orang administrasi dan meminta mereka untuk menginformasikan pada orang tua tentang ketidakhadiran siswanya, meski siswa tersebut sakit. Pak Dongho tidak akan melewatkan apapun untuk mengecek kebenarannya.

Dan jika sudah begini, sudah pasti mamanya lah yang akan menerima kabar tersebut. Dan sudah bisa di pastikan, ia akan langsung menerima hukuman seperti biasa saat ia melakukan kesalahan dalam akademisnya -pukulan 'tongkat kasih sayang' dan soal-soal pelajaran dalam buku yang tebal.

Yonghee ingin berdenial dengan hidupnya. Sekeras apapun ia berdenial, tidak akan mungkin bisa. Dia sudah hidup sebagai 'Cha Yonghee' seperti sekarang selama bertahun-tahun. Lalu, apa lagi yang harus di sangkal dari hidupnya?

Yonghee sudah tidak bisa lagi mengatakan bahwa semua yang ia dapat hanyalah khayalan, kepalsuan, kebohongan, atau lebih buruknya adalah hanyalah sebuah mimpi.

Tidak, semua salah. Semua yang terjadi adalah kenyataan yang harus di terimanya. Tidak ada satupun yang terjadi hanya sebagai khayalan belaka, tidak ada. Semua nyata adanya, semua benar adanya.

Mungkin banyak orang akan meluapkan kesakitan hidup dengan memaki dan berteriak frustasi. Berbeda dengan dirinya. Andai ia bisa mengutarakan semuanya pun, tidak akan berdampak yang bisa mengubah keadaannya. Tidak akan mengubah segalanya. Dan Yonghee sudah terlalu lelah dengan keadaannya, sehingga memaki pun hanya akan membuang-buang tenaganya saja.

Yonghee mendongak ke langit yang mulai gelap di atas sana. Tanpa di sadarinya, pikirannya yang penuh tadi membawa langkahnya sudah sampai di depan halte.

Lalu di tatapnya ujung sepatunya, sol putihnya mulai terlihat kotor. Mungkin ia harus membuangnya saja? Sepertinya dia sudah tidak perlu menggunakan sepatu lagi.

Tangannya menggenggam dasi berwarna merahnya, yang jika di kenakan dengan seragam sekolahnya, terlihat begitu padu dengan sangat cantik. Seragam yang seharusnya menjadi kebanggaan, apa harus ia buang juga?

Tatapannya begitu kosong menatap ke seberang jalan. Bahkan sampai suara deru bus yang terhenti di depannya pun, tak membuat Yonghee menghapus tatapan kosongnya. Terlalu banyak luka yang harus ia pikirkan bagaimana cara mengobatinya. Serta memikirkan bagian yang mana dulu yang harus ia obati. Atau apakah ia harus membiarkannya saja kali ini? Membiarkan semuanya, tanpa mengobati.

“Lo nggak masuk?” suara seorang anak laki-laki membuat Yonghee tersadar, ia menoleh keasal suara.

Byounggon sudah berdiri di ambang pintu bus dan sekarang menatap kearah Yonghee.

“Lo nggak naik?” Byounggon mengulang pertanyaannya.

Yonghee tidak sadar jika ada orang lain di halte tersebut dan orang lain itu adalah Byounggon, anak yang pernah menolongnya.

Yonghee menatap Byounggon dengan tatapan kosong penuh guratan sendu dan menggeleng pelan seperti tak bertenaga.

Byounggon mengangguk lalu segera masuk ke dalam bus. Ia memilih duduk di kursi bagian kanan nomor tiga, dimana ia bisa melihat langsung kearah Yonghee. Lantas, Byounggon membuka kaca jendela di sampingnya, “lebih baik lo istirahat. Gue tau lo nggak baik-baik aja hari ini. Tinggalin les gila lo untuk hari ini.”

Yonghee mendongak, menatap langsung pada Byounggon. Lalu bus mulai berjalan.

Yonghee menoleh mengikuti bus yang mulai menjauh, kemudian ia melangkahkan kakinya lagi, mengikuti jalan trotoar dengan arah yang sama seperti bus yang di naiki Byounggon.

Saran dari Byounggon.. apa boleh ia lakukan?

-----------🌱

-----------🌱

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Bingung untuk mulai menulis sambungannya, menyelesaikan 1 chapter saja sampai butuh waktu 3 hari 😵

Sepertinya karena otak saya sedang bercabang memikirkan laporan yang sudah di tagih dan kewajiban menyelesaikan kodingan 😵

Saya mau rebahan saja, huhu 😭

Mohon maaf jika penulisannya semakin kesini semakin kacau, meski plotnya sebenarnya sudah saya bangun, tapi dalam menuangkannya dalam tulisan benar-benar sulit 😭🙏

Ah, ya, saya ingin bertanya, adakah yang suka membaca cerita thriller-mystery? Adakah yang bisa memberi saya rekomendasi wattpad sejenis itu? Karena saya butuh refreshing 😵 terima kasih sebelumnya 😁

Selamat siang, jangan lupa makan siang dan sehat selalu. Selamat hari sabtu 😁

[✓] Strange Place || CIXTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang