33. Speechless Hurting

331 81 19
                                    

WARNING : This chapter contains about harsh words, violence, suicidal thoughts, mental illness and other content that is uncomfortable. If you feel uncomfortable and you can feel triggered, please skip this chapter. Thanks for your attention, stay health and enjoy for reading.

🌱🌱🌱

• Strange Place •




Byounggon sedang menikmati istirahat keduanya dengan tenang di gudang belakang sekolah. Ia membaringkan tubuhnya memenuhi sofa tua yang selalu setia menjadi tempat ia melepas penat saat istirahat ataupun saat bosan. Sampai ketenangan anak laki-laki berambut silver itu di hancurkan oleh suara gaduh yang berasal dari luar gudang, lebih tepatnya dari samping gudang.

Byounggon mendudukkan dirinya, masih di atas sofa. Di usapnya kasar wajahnya dengan kedua tangan sampai menyisir rambutnya ke belakang. Matanya memejam, menahan sedikit amarah karena keributan yang di dengarnya sudah mengganggu jam tidur istirahatnya.

Ya Tuhan, itu anak-anak sudah mulai lagi?

Byounggon menghembuskan nafasnya kasar, ia lelah mendengar keributan. Tidak di rumah, tidak di sekolah. Rasanya ia ingin melepas telinganya dan menaruhnya ke dalam kotak harta karun tiruan di kamarnya lalu tidur dengan sangat tenang tanpa harus mendengar gangguan sedikitpun.

Di rumah, ia lelah harus terus-menerus bertengkar dan ribut dengan papanya yang masih belum mengizinkannya pulang ke rumah atap, beradu argumen panjang tentang apapun sampai urat-urat leher keduanya menonjol di tambah mamanya yang hanya bisa menangis. Sekarang, setelah berminggu-minggu yang Byounggon sendiri tidak tau sudah berapa lama anak-anak itu tidak membuat kebisingan, sekarang sudah di mulai lagi.

Ya Tuhan, rasanya Byounggon ingin keluar saja dari sekolah tua menyebalkan yang penuh dengan penghuni neraka itu.

Byounggon terpaksa menyumpal kedua telinganya dengan earphone yang ia kantongi, memutar musik di daftar putarnya dengan volume yang keras sampai ia tidak mendengar sedikitpun suara-suara gaduh di luar sana dan terpaksa mengatur alarm di ponselnya sebagai pengingat saat jam istirahat telah berakhir.

Setelah semua persiapan selesai, Byounggon menyamankan lagi posisinya seperti semula, membaringkan kembali tubuhnya dengan kepala yang bertumpu pada lengan sofa sebagai bantalan. Dan mengabaikan suara-suara gaduh di luar sana yang begitu berisik.

-----------🌱


Alarm Byounggon berbunyi, bergetar di dalam saku celananya yang artinya ia harus bangun segera karena suara dan getarannya yang meraung-raung di sana meminta atensi penuh dari si pemilik.

Byounggon bangun, tidurnya nyenyak dan ia berterima kasih pada ponsel dan earphone yang menyumpal telinganya dengan sangat baik sampai tak mendengar suara gangguan apapun. Siapapun yang menciptakan earphone dan musik, Byounggon ingin berterima kasih banyak.

Wajahnya masih terlihat muka bantal, rambutnya berantakan dan matanya masih mengerjap-ngerjap mencoba mengembalikan seluruh nyawa kembali ke raga.

Byounggon berdiri, berjalan dengan langkah gontai. Di bukanya pintu gudang tua yang sudah berkarat sampai membuka pintunya pun menimbulkan decitan suara. Mata Byounggon menyipit, ia masih merutuki kegaduhan yang membuatnya harus tidur menggunakan earphone sehingga membuatnya terlampau nikmat dalam alam bawah sadar.

“Brengsek! Kalo bukan karena anak-anak nakal itu..” Byounggon mencibir kesal seraya mengacak-acak rambutnya.

Selangkah ia keluar dari gudang, langkahnya terhenti. Ekspresi keras Byounggon melemah, dahinya berkerut saat matanya menangkap seseorang yang berjalan menjauh sendirian dengan langkah yang lebih gontai darinya dan sangat-sangat pelan. Ia menghembuskan nafas, ia tau bahwa keributan yang terjadi adalah karena anak laki-laki yang berjalan menjauh itu.

“Lo nggak bisa melawan atau bego, sih?”

Byounggon mengikutinya dengan jarak yang sangat jauh yang cukup untuk tidak di sadari. Mereka memiliki langkah yang sama, lambat dan pelan. Byounggon sendiri tidak berniat mendahului, ia hanya mengikuti sambil meniti punggung ringkih yang terbalut seragam putih.

“Kalo lo cuman diam, lama-lama lo bisa mati di tangan Younghoon. Dasar Yonghee bodoh! Bisa-bisanya lo biarin apapun yang lo terima gitu aja,” racaunya sendirian, ia sangat jengah melihat Yonghee yang berjalan jauh di depannya.

Di kejauhan, anak laki-laki berseragam putih yang di ikuti Byounggon itu sudah mulai berbelok menuju gedung utama sekolah. Tubuh Yonghee sudah tak terlihat lagi, sehingga Byounggon mempercepat langkahnya. Sebenarnya dia tidak peduli dengan bel masuk yang sudah berbunyi sejak beberapa menit yang lalu, lagipula, setelah istirahat kedua, saat masuk kelas hanya di isi dengan kata-kata penutup oleh wali kelas mereka.

Kaki Byounggon belum menginjak ke lantai koridor gedung utama sekolah, sebuah bunyi dentuman yang cukup keras terdengar di telinga Byounggon. Lalu bunyi itu tak terdengar lagi dan sekarang tergantikan oleh gelak tawa yang entah oleh siapa.

Apa lagi?

Byounggon makin melangkah lebar, menginjakan kedua kakinya ke koridor dan langkahnya kembali terhenti.

Ia memejamkan matanya, meredam amarah yang sedikit meluap, kedua tangannya terkepal kuat di kedua sisi tubuhnya. Kepala Byounggon tertunduk dan menggeleng pelan, tak habis pikir dengan apa yang ia lihat sekarang.
Nafas Byounggon berhembus pelan, ia mengangkat wajahnya dan membuka mata. Byounggon memerhatikan Yonghee yang masih tersungkur di lantai dengan tubuh bagian depan yang menghantam lantai keramik lebih dulu.

Itu pasti sakit, sudah pasti. Anak laki-laki itu bahkan butuh waktu untuk membangunkan tubuhnya, berpegangan pada dinding di sisi kanan guna menopang tubuhnya.

Byounggon ingin membantu, hanya saja, kakinya tidak bisa berkoordinasi dengan pikirannya. Pikirannya hendak membantu, tapi kakinya membatu. Tubuhnya hanya diam membeku di tempat seakan-akan berada di tengah hamparan danau dengan suhu paling rendah yang langsung membuat tubuhnya tak bisa bergerak. Dirinya sendiri tidak mengerti.

Mencoba menghapus pikirannya yang terus-menerus menyuruhnya untuk acuh pada apa yang ada di beberapa meter di depannya itu. Tak lupa ia memanjatkan doa, berharap ia tidak membuat seseorang terluka karenanya. Namun, tiba-tiba saja ia bisa merubah semua kesemrawutan di kepalanya, kakinya melangkah lebar-lebar dan dengan sekali hentakan, kedua tangannya sudah berhasil membuat sosok yang mengganggunya kini telah berdiri dengan tegak.

“Lo bodoh atau apa sih? Lo bosan hidup?”

Yonghee terkejut mendengar kata-kata Byounggon yang bahkan keterkejutannya pada tangan yang menariknya berdiri sebelumnya belum sirna. Tubuh Yonghee bergetar, takut-takut ia mengangkat kepalanya, menyadari seseorang yang menolongnya bangkit sekarang setengah berteriak padanya.

“Byo-Byounggon?”

“Lo punya tangan, kan? Punya kaki? Dan lo masih punya otak, kan? Lo juga masih punya perasaan, kan? Kenapa sih lo cuman diam aja, b*ngs*t? Lo nggak ngerasa sakit, hah?”

Yonghee terdiam, Byounggon seakan baru saja menjejalkan gumpalan kain ke dalam kerongkongannya dan memukul kepalanya dengan palu. Rentetan pertanyaan Byounggon membuat Yonghee membisu dan membuat kepalanya berdenyut.

“Atau badan lo itu baja, hah? Nggak ngerasa sakit, iya? Bisa nggak sih, LO NGELAWAN! Seenggaknya, kalo lo takut ngelawan Younghoon, jangan biarkan yang lainnya ikut-ikutan ngerisak lo. Dasar, tolol!” Byounggon berucap murka dan menodongkan telunjuknya tepat di wajah Yonghee.

Bilah bibir Yonghee terbuka, tapi tidak ada satupun pembelaan untuk dirinya dapat terucap, sesuai dengan apa yang Byounggon katakan tentang dirinya, mungkin ia tolol, atau memang tolol?

Yonghee memilih menunduk, menatapi ujung sepatunya yang hanya berjarak beberapa senti dengan ujung sepatu Byounggon yang berdiri di depannya.

“Lo sadar nggak sih, perisakan lo juga ganggu. Yang ngerisak lo memang bahagia, tapi yang nggak ngerisak juga terganggu karena liat lo yang nggak bisa ngelawan rasanya pengen acak-acak lo! Gimana mereka mau berhenti ngerisak lo kalo elonya juga mau aja di risak, diam, tanpa melawan. Lo kelewat bodoh, tau nggak? Bukan, bukan bodoh lagi, lo itu dungu!”

Hati Yonghee sakit, baru beberapa waktu ia mendapatkan perisakan Younghoon, beberapa menit sebelumnya di cekal oleh anak-anak yang ia tidak kenal dan sekarang ia mendapat pernyataan yang begitu mengerikan dari Byounggon yang sebelumnya membantunya berdiri. Harinya begitu naas.

“Sekarang, kenapa lo diam aja? Kalo lo diam aja, gue bisa berkata yang lebih kasar daripada ini buat bikin lo sadar. Gue terganggu sama kehadiran lo, terganggu dengan semua perisakan lo, karena apa? Karena lo bikin gue selalu ketemu lo di saat lo di risak, gue muak, sial! Gue benci liat lo yang cuman nerima semua perlakuan itu. Sekarang, harusnya lo bisa lawan perkataan gue kalo lo nggak setuju dengan semua perkataan gue.”

Yonghee memundurkan kakinya selangkah menjauhi Byounggon, koridor sudah sangat sepi, tapi Byounggon sepertinya belum melampiaskan semua perkataan untuknya. Yonghee bisa bersabar, menunggu semua yang ingin di ucapkan Byounggon selesai, karena jujur, ia juga sudah lelah. Persetan dengan semua perkataan buruk Byounggon padanya, dia hanya ingin mendengar.

“Liat gue, anj*ng! Gue lagi ngomong sama lo.”

Baik, Yonghee menurut, ia mengangkat wajahnya, menatap langsung ke netra Byounggon yang menatapnya tajam.

“Jadi, jawab gue, mau sampai kapan lo diam aja tanpa melawan? Mau sampai lo mati di tangan Younghoon? Atau mati di tangan anak-anak lain?”

Yonghee diam, hanya menatapi Byounggon dengan ekspresi yang masih mengeras.

“Iya, aku bahkan bersedia mati di tangan mereka,” jawab Yonghee akhirnya setelah ia hanya bisa terdiam beberapa menit, suaranya begitu lirih.

Anak laki-laki berambut silver itu akhirnya tercekat, ia seakan tersedak ludahnya sendiri. Ekspresi wajahnya melemah, terlalu tercengang dengan jawaban yang di berikan Yonghee dan kekalutan tiba-tiba memenuhi kepalanya. Bukan, bukan seperti ini maksudnya.

“Aku juga sudah capek, aku bahkan sudah berdoa sejak lama dan setiap hari supaya aku cepat mati, entah karena kecelakaan ataupun di tangan mereka, aku nggak peduli. Aku cuman mau tenang,” Yonghee menunduk sebentar membuang nafasnya, lalu kembali menatap Byounggon, “kamu bilang aku bodoh, tolol, dungu. Iya, aku memang seperti itu. Lagipula, nggak ada apapun yang ada di badanku yang patut di lindungi lagi, semuanya juga sudah hancur. Aku selalu menunggu untuk mati karena terlalu capek. Aku mau istirahat atau bernafas sebentar tanpa ketakutan yang juga ikut-ikutan mengikis waktu hidupku saja rasanya susah. Dan, kenapa aku nggak ngelawan? Aku bukan nggak ngelawan, tapi memang nggak ada yang perlu di lawan.”

Yonghee tertawa sarkas sekilas, “waktu kamu tolong aku yang sekarat dan hampir mati, aku sempat bersyukur karena masih ada yang peduli. Beberapa hari lalu, aku juga sempat punya teman, Jinyoung dan Seunghun. Aku cukup bersyukur. Tapi, rasanya Tuhan masih sayang sekali sama aku, Dia renggut ketenangan sesaat ku itu dan memberikan cobaan yang lain,” kemudian Yonghee berlalu, melewati dan meninggalkan Byounggon yang hanya terdiam di tempatnya.

Byounggon membalikkan tubuhnya, memerhatikan Yonghee yang sudah berjalan menjauh dengan kaki yang sedikit pincang. Ia masih terkejut dengan jawaban Yonghee, ia bahkan tidak pernah menyangka mendapat jawaban yang seperti itu dari mulut Yonghee yang selalu tertutup rapat dan selalu tertunduk takut.

Doa Byounggon sepertinya gagal, doa agar tidak menyakiti seseorang tampaknya tidak di dengar oleh Tuhan. Dengan sangat jelas, ia baru saja menyakiti seseorang dengan perkataan dan pernyataannya, menyakiti Yonghee yang ia sendiri sudah tau betul bahwa anak itu sudah tersakiti terlalu banyak.

-----------🌱

-----------🌱

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Selalu jaga kesehatan kalian ya 🙆

Thanks for still reading this book 🤗


[✓] Strange Place || CIXTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang