WARNING : This chapter contains about harsh words, violence, suicidal thoughts, mental illness and other content that is uncomfortable. If you feel uncomfortable and you can feel triggered, please skip this chapter. Thanks for your attention, stay health and enjoy for reading.
🌱🌱🌱
• Strange Place •
•
•
•
Semalaman Yonghee tidur tak nyenyak. Tubuhnya bolak-balik di atas kasur dengan ringisan yang keluar dari bilah bibirnya meski matanya di paksa terpejam, tubuhnya benar-benar tidak nyaman dan membuatnya resah.
Ketika bangun –meski nyatanya ia tidak tidur semalam suntuk, membuat kantung matanya begitu kentara. Wajahnya begitu menyedihkan, terlihat dari pantulan dirinya di cermin dimana ia berdiri di depan wastafel toilet kamarnya sekarang. Beberapa luka membiru juga nampak di wajahnya dan luka sobek di ujung bibirnya juga masih ada.
Semalam, setelah ia menemani papanya makan, membersihkan peralatan makan yang di gunakan papanya dan bercerita panjang di sofa ruang keluarga, Yonghee langsung naik ke kamarnya sesampainya sang mama yang di tunggu kepulangannya datang. Sebelum naik ke kasur untuk membaringkan tubuhnya, Yonghee membersihkan wajahnya terlebih dahulu dari perias wajah yang ia tempelkan di beberapa bagian wajahnya untuk menutupi luka-luka dan lebam membiru di wajahnya, untuk menutupi kondisinya yang sebenarnya dari sang papa.
Tangan Yonghee menyingkap baju kaos yang ia gunakan sampai sebatas dada. Memar merah gelap yang semalam ia lihat, pagi ini sudah berubah menjadi biru keunguan. Memarnya tercetak cukup besar, seukuran kaki Younghoon yang menerjang dan menginjaknya. Di tambah beberapa luka lebam lain yang mulai memudar serta satu bekas jahitan di perut bagian kiri bawahnya, salah satu topik yang sempat di bahas papanya semalam.
Di tutupnya kembali bajunya, dia tau bahwa yang membuatnya tak bisa tidur nyenyak semalam karena cetakan memar di dadanya, tapi Yonghee tetap saja terkejut melihat memar itu sudah berubah biru keunguan di pagi harinya di tambah obatnya yang habis semalam, membuatnya tak bisa menepis rasa sakitnya semalaman.
Untungnya, ketika papanya pulang, Yonghee tidak perlu membersihkan ataupun membereskan apapun di rumahnya, karena saat papanya pulang, tugas-tugasnya itu sementara di ambil alih oleh mamanya.
Selama papanya di rumah, mamanya akan bertugas sebagai ibu rumah tangga sebagaimana mestinya. Dari membersihkan dan membereskan rumah, mencuci baju dan piring kotor, serta menyiapkan makan, semua di lakukan oleh mamanya seorang diri dan wanita berumur pertengahan 40 itu sudah mulai melakukan segalanya sejak pagi buta.
Yonghee turun ke lantai bawah pukul 5 pagi lewat beberapa belas menit. Mamanya sudah sibuk di dapur, karena dari anak tangga tertinggi, telinganya sudah mendengar bunyi ribut dari arah dapur dan bau harum makanan.
Dirinya sudah siap, dengan seragam dan tas punggungnya. Ia berjalan pelan agar denyutan di dadanya tidak terlalu di rasakannya. Ia berdiri di samping meja makan, dimana mamanya masih sibuk bolak-balik antar meja makan dan dapur.
“Ma?” panggilnya lirih.
Eunseo menghentikan kegiatannya setelah ia meletakkan panci sup ke meja makan.
Sebelum fokus pada mamanya, Yonghee sempat melirik ke meja makan. Seperti biasa saat papanya sedang di rumah, hanya ada dua mangkuk nasi yang di letakkan saling berseberangan. Dua mangkuk itu adalah milik papa dan mamanya. Untuknya? Tidak ada. Saat papanya pulang, sebisa mungkin Yonghee harus menghindar jika keadaan Yonghee tidak sedang baik-baik saja. Meskipun ia dalam keadaan baik-baik saja pun, ia tetap harus menghindar, karena mamanya tidak senang jika Yonghee ikut bergabung terutama di meja makan.
“Kamu bawa alat riasnya, kan?”
Yonghee mengangguk.
“Kamu keringetan, kak. Hati-hati waktu pulang, di cek dulu riasannya,” perkataannya penuh kekhawatiran, tapi tidak ada emosional apapun di dalamnya, Eunseo mengatakannya seperti membacakan sebuah kalimat tak bermakna.
Lagi, Yonghee mengangguk sebagai jawaban.
“Mama sudah ijinin les kamu sampai besok. Papamu, besok baru berangkat lagi, liburnya lumayan lama, karena kemarin langsung ambil 3 penerbangan jauh,” setidaknya, inilah yang bisa di nikmati Yonghee selama papanya pulang.
“Iya, ma.”
“Tunggu papamu pergi, mama mau tau, kenapa kamu kemarin malam nggak datang les Pak Daniel, Pak Jonghyun sama Pak Yuta, padahal kan masih sempat? Mama juga sudah terima aduan dari pak Dongho.”
Yonghee menatap sebentar pada mamanya dengan guratan sendu. Baik, tunggu papa pulang. Maka akan separah apa?
Tangan Eunseo menyodorkan tabung obat yang di ambilnya dari kantung celemek yang ia gunakan, menyodorkan pada Yonghee di atas meja makan, “obat kamu habis, kan? Mama nggak sempat ngasih kemarin, karna ada papamu.”
Yonghee mengambil tabung obat yang di berikan sang mama. Di perhatikannya tabung obat yang sudah ada di genggamannya, dahi Yonghee berkerut, nama obatnya berbeda dari apa yang biasa ia konsumsi. Matanya beralih lagi pada mamanya.
Melihat guratan bingung Yonghee, tanpa menunggu putranya bertanya, Eunseo menjawab lebih dulu, “obatnya mama ganti. Dosisnya lebih tinggi, biar kamu nggak gemetaran lagi, terus nggak bolos dari pelajaran di sekolah lagi gara-gara pingsan. Anjurannya di rubah. Jangan minum 3 kali sehari lagi, tapi minum setiap kamu merasa sakit. Jangan di bantah!”
“Ma, tapi-“ Yonghee merasa ini mulai tidak benar. Sepengetahuannya, dosis yang semakin tinggi, maka semakin tinggi juga efek samping untuk tubuh. Dan tubuhnya, sering kehilangan kontrol, jika harus meminum obat tersebut ketika merasa sakit, berapa banyak obat yang akan di konsumsinya selama sehari?
“Jangan di bantah! Mama sudah bilang jangan di bantah. Ikuti apa yang mama bilang. Hari ini mama ada acara sampai malam, papamu juga ada acara. Kamu jadi anak yang baik, jangan lupa riasan wajah kamu.”
Tubuh Eunseo berjalan kembali menuju dapur, lebih tepatnya menuju meja bar yang menjadi pembatas dapur dan meja makan, sedangkan Yonghee menatap punggung mamanya semakin sayu. Saat kembali lagi ke depan meja makan, Eunseo meletakkan segelas air mineral di atas meja, “minum obatnya, semalaman kamu nggak minum obat.”
Yonghee hanya memandang mamanya sebentar, lalu mengeluarkan sebutir pil dari tabung yang di genggamnya dan mengambil air mineral yang di berikan mamanya.
“Ini, uangnya mama lebihin,” Eunseo meletakkan beberapa lembar uang, di samping gelas yang sudah di letakkan Yonghee kembali ke atas meja.
Tanpa menyangkal apapun yang tidak akan mungkin bisa di sangkal, Yonghee mengambil uang yang di berikan mamanya dan melesakkannya ke dalam saku, begitupun tabung obatnya.
“Kalo bibir kamu masih pucat gitu, mampir ke toko kosmetik. Minta pelayannya milihin warna pewarna bibir yang nutupin bibir kamu yang pucat itu..”
Yonghee? Tentu saja terkejut mendengar perkataan mamanya. Yang di suruh oleh wanita yang melahirkannya itu membuatnya bingung dan berpikir apakah harus sampai sejauh itu? Dan apakah bibirnya sangat pucat sampai mamanya menyuruhnya membeli pewarna bibir? Tadi, bahkan wajahnya berdenyut nyeri setiap Yonghee mengoleskan riasan ke wajahnya.
Tidak bisa, sama sekali tidak ada celah membantah.
“Jangan sampai papamu liat wajah aslimu yang mengerikan itu. Mama nggak mau, papamu sampai tau dan berakhir kami berantem gara-gara kamu.”
Hatinya sakit mendengar mamanya bahkan mengatakan bahwa wajahnya mengerikan. Selalu seperti itu pandangan mamanya terhadap dirinya. Sebegitu buruk dirinya di mata sang mama. Meski ini bukan pertama kalinya Yonghee mendengar mamanya mengatakan hal itu tentangnya, namun hatinya akan tetap sakit dan seperti di remat sangat kuat.
Eunseo kembali sibuk dengan kegiatannya, tidak menghiraukan Yonghee lagi yang masih berdiri di sana, memerhatikan dirinya dengan tatapan sendu penuh guratan terluka tanpa sepatah katapun berani terucap dari bibir yang di cap 'pucat' dan butuh 'pewarna bibir' itu.
Yonghee mendesah, kemudian pergi dari sana. Meninggalkan wanita yang sama sekali tidak memberinya celah untuk membantah dan harus selalu menurut apa yang di katakan, di tambah selingan kata menyakitkan yang terucap dari bibir mamanya itu. Bukan Yonghee ingin menjadi anak durhaka dengan membantah perkataan orang tua, kata orang. Tapi, hanya saja, ini sudah mulai keterlaluan. Belum lagi perihal ia yang membolos 3 les semalam, di tambah keabsenannya di pelajaran pak Dongho kemarin, Yonghee tidak membayangkan bagaimana rasa sakit yang akan ia terima ketika papanya kembali bekerja.
Untuk sekarang, turuti saja. Toh, waktu itu cepat berlalu. Sebentar lagi, dia akan mendapat hukumannya.-----------🌱
Selamat siang 😊
Semoga kita semua sehat selalu dan selalu jaga kesehatannya 🙇♀️
Just enjoy reading this book 🙆
Thank you 🤗
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] Strange Place || CIX
Fiksi PenggemarReturn to the beginning To the days of innocence - Yonghee Rated : 15+ Warn : Karena mengandung kekerasan, banyak kata-kata kasar, dan lainnya yang berpotensi membuat tidak nyaman dan trigger. Harap kebijakan dari para pembaca. Terima kasih 🙏