49. 1226

290 75 2
                                    

⚠️WARNING⚠️
This chapter contains about harsh words, violence, abusive parents, suicidal thoughts, mental illness and other content that is uncomfortable. If you feel uncomfortable and you can feel triggered, please skip this chapter. Thanks for your attention, stay health and enjoy for reading.

🌱🌱🌱

• Strange Place •

•••

Mamanya secara langsung mengantar Byounggon ke rumah atap yang sudah hampir sebulan ia tinggalkan. Meski penuh penolakan sebelumnya saat mamanya menawarkan untuk mengantar ia pulang, pada akhirnya ia menurut juga. Karena jika bukan karena mamanya, dirinya tidak akan mungkin bisa pulang ke rumahnya hari ini.

Saat ini, untuk pertama kalinya setelah ia pergi dari rumah, Byounggon memberikan akses bagi mamanya untuk masuk ke rumah atap sederhana miliknya. Tidak bisa di katakan miliknya juga, toh rumah tersebut bisa ia tinggali juga berkat sang mama.

Sepulang sekolah petang tadi, ketika Byounggon menunggu bus yang biasa ia naiki, mobil mamanya tiba-tiba saja datang dan berhenti tepat di depannya. Mulanya ia tidak ingin dan menolak keras bahkan untuk melihat ke arah mobil mamanya, namun kendati menolak, Byounggon menurut saat mamanya keluar dari mobil dan menentengkan anak kunci rumah dengan gantungan Woody si koboi di hadapan wajahnya —benda yang selalu ia minta pada papanya selama ia terpaksa tinggal sementara di rumah mereka.

“Jadi, mama sudah boleh kan buat sering-sering datang ke sini?” tanya mamanya, kala Byounggon meletakkan segelas teh hangat yang ia buat dari dapur kecil rumahnya ke atas meja pendek di depan mamanya duduk.

Byounggon tidak bersuara beberapa saat, anak laki-laki yang betah mempertahankan rambut silvernya itu memilih duduk bersila di seberang mamanya, “memangnya untuk apa mama sering-sering kesini?”

Wajah Minkyung kaku mendengar pertanyaan putranya, ia lantas hanya bisa tersenyum kikuk, “mama cuman mau sering liat Byounggon. Hampir sebulan Byounggon ada di rumah, mama senang. Tapi mama tau, kamu nggak nyaman. Mama nggak bisa maksa keinginan mama untuk terus dekat sama kamu, apalagi kamu nggak nyaman. Mama nggak bisa biarin Byounggon merasa sesak di rumah. Tapi, kalau Byounggon nggak nyaman mama mampir ke sini, nggak papa. Mama bisa maklum.”

Wajah Byounggon menegang dan dadanya malah terasa sesak. Dirinya memang tidak nyaman di rumah, terlebih mengharuskan dirinya selalu berhadapan dengan papanya. Tapi, jika bukan karena mamanya yang mengusahakan untuk mendapatkan kunci rumahnya, entah kapan ia bisa pulang. Katakanlah Byounggon egois, ia ingin melarikan diri dari neraka yang diciptakan oleh papanya dan meninggalkan mamanya menderita di dalam neraka itu sendirian.

Tidak, keegoisan yang tergambar bukan hanya sebagai penggambaran belaka, melainkan begitulah dirinya, dirinya memang egois dengan meninggalkan sang mama menghadapi semuanya sendiri. Dia benar-benar merasa egois.

“Mama masih nggak mau pulang ke rumah nenek?” pertanyaan yang selama ini hanya berlarian di kepalanya terlontar juga, dengan suara melembut, memecah keheningan di antara keduanya.

Minkyung yang mendengar tersentak, mengangkat wajah, membalas tatapan Byounggon yang lurus padanya, “papa butuh mama. Mama nggak bisa ninggalin papa sendirian di rumah,” ucapnya, lalu menyesap seteguk teh hangat yang tersaji didepannya kemudian meletakkannya kembali, hanya untuk membuang sedikit rasa tegang terhadap pertanyaan yang dilontarkan Byounggon.

“Tapi mama lepasin aku sendirian?” baik, dirinya sangat merasa ia egois. Padahal kehendak untuk meninggalkan rumah adalah keinginannya sendiri, buah pemikirannya sendiri dan dengan mulutnya sendiri. Sekarang ia malah melantangkan pertanyaan yang seharusnya bukan ditujukan pada mamanya. Bisakah ia meralatnya?

[✓] Strange Place || CIXTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang