12. Feeling Relieved

432 94 19
                                    

• Strange Place •


Pemilihan Presiden yang akan segera dilangsungka-” benda kotak yang bertengger cantik di tengah ruang keluarga itu Yonghee matikan seturunnya ia dari lantai atas.

Mamanya selalu seperti itu, meninggalkan rumah sedini mungkin setelah ia bekerja hampir semalam suntuk lalu lupa untuk mematikan televisi yang menemaninya bekerja.

Yonghee hanya menggeleng. Keadaan rumah juga kacau seperti biasanya. Untung saja ia tidak bangun kesiangan seperti kemarin, jika tidak, mungkin Yonghee tidak akan pergi ke sekolah karena selain ia bangun terlambat, acara bersih-bersihnya pun akan selesai di siang hari.

Jam dinding yang terpasang di atas televisi menunjukkan pukul setengah empat pagi kurang beberapa menit, Yonghee langsung membereskan beberapa barang yang berserakatan di lantai, lalu membersihkan ruangan lantai bawah dengan alat penghisap debu -bahkan sampai ke kamar orang tuanya.

Untuk lantai dua, yang hanya di huni oleh dirinya seorang, Yonghee biasanya membersihkan setelah ia pulang sekolah sebelum pergi untuk jadwal les. Keadaan rumah sekarang yang lebih besar dan memiliki dua lantai, membuat Yonghee harus lebih pintar membagi waktu membersihkan seluruh rumah. Berbeda dengan rumah mereka sebelumnya, dimana keluarga Yonghee menempati apartemen yang hanya terdiri satu lantai, membuat semua pekerjaan lekas di selesaikan.

Kemudian ia pergi kearah dapur, tidak banyak peralatan makan yang kotor, karna hanya mamanya yang biasa makan malam dan akan bertambah jika papanya sempat pulang. Ia sendiri jarang dan bahkan hampir tidak pernah makan malam selama tinggal di rumah itu. Sesekali itupun ia hanya memakan beberapa camilan kecil yang ia beli di minimarket yang berada di ujung jalan.

Hampir pukul lima Yonghee selesai membersihkan seluruh lantai satu, mencuci piring dan sambil mencuci baju yang ia tinggalkan baju-baju kotor itu tergiling dengan sendirinya. Ia naik ke kamarnya untuk mulai membersihkan dirinya sendiri.

Setelah selesai mandi dan berpakaian rapi, buku-buku sesuai jadwal sudah di persiapkan dan membersihkan luka-luka serta mengganti perban dari luka-lukanya yang belum sembuh, Yonghee kembali turun untuk membereskan baju kotor yang sudah selesai di mesin cuci. Lalu berjalan mendekati pintu kulkas yang berada di sudut dapur di samping counter peralatan piring dan masak tergeletak, membaca tulisan baru yang menempel di pintu kulkas.


Sarapan
Satu potong dada ayam goreng, kakak bisa taburi rumput laut kering


♥️Mama


Yonghee selalu tersenyum, membaca setiap menu yang di tulis mamanya di secarik kertas yang di robek dengan tergesa setiap paginya. Meski sibuk, mamanya memang selalu menyiapkan makanan sarapan untuk dirinya. Memang menu-menu sederhana, namun masih bisa membuat Yonghee merasakan kasih sayang mamanya.

Ia mengambil sepaket sarapan yang sudah siap di atas piring yang terbungkus dengan plastik wrap di dalam kulkas lalu memanaskannya sebentar ke dalam oven. Memanaskan nasi instan setelah memanaskan lauknya lalu menyiapkan sarapan sederhananya di atas meja pantry dapur. Sebenarnya di depan meja pantry dapur ada meja makan yang cukup untuk empat orang, tapi tak pernah ia gunakan, entah jika kedua orang tuanya. Mungkin mama dan papanya menggunakan meja makan namun ia tak pernah melihatnya.

Di tengah sarapan, ponselnya berdering. Bukan deringan panggilan masuk, pesan atau chat. Melainkan alarm yang berisi daftar apa saja yang harus ia lakukan hari ini. Di deretan daftar yang tertera, Yonghee menatap sebaris tulisan yang harus ia lakukan. Membayar kekurangan biaya klinik dan sendal yang di belikan Byounggon di sabtu malam kemarin.

Yonghee pergi ke sekolah pukul enam kurang, di saat langit masih cukup gelap dan hawa dingin masih berada di derajat minus. Pernah ia pergi ke sekolahnya di jam normal, itu ketika awal ia masuk sekolah, namun setelahnya ia merasa menjadi tidak nyaman, sehingga ia kembali ke kebiasaan lamanya saat di sekolah menengah pertama -pergi di pagi buta untuk menghindari orang-orang yang tak ingin ia lihat, terutama yang sudah pasti menyakitinya.

Sesampainya di kelas, Yonghee langsung menggantungkan tasnya di penggantung tas yang terpasang di sisi kiri meja lalu melepaskan mantelnya. Ia sedikit meringis, karena tubuhnya belum sepenuhnya hilang di hinggapi rasa sakit.

Beruntung untuk Yonghee yang selalu datang di pagi hari, ia menjadi hafal urutan kedatangan teman-temannya meski terkadang ada yang tak sesuai dengan apa yang Yonghee ingat. Dan untuk Byounggon, yang memang di tunggu Yonghee, anak itu selalu datang di saat baru beberapa anak yang menuhi kelas mereka, sehingga Yonghee tidak terlalu panik jika harus menemui Byounggon di tengah keramaian kelas.

Sembari menunggu Byounggon, Yonghee memilih membaringkan kepalanya di atas tangannya yang ia lipat di atas meja. Ia masih merasa sakit di beberapa bagian tubuhnya dan beberapa bulir keringatnya mulai jatuh melalui keningnya hingga ke rahang tanpa ia sadari. Entahlah, dia merasa sedikit bingung dengan tubuhnya sekarang. Padahal dia sudah meminum obat penghilang rasa sakit sebelum pergi ke sekolah, tapi kenapa tubuhnya mulai merasa sakit hingga benar-benar menjadi.

Tangan kirinya lepas dari tumpuan kepalanya di atas meja menuju ke perutnya. Rasanya seperti di ikat oleh tali tambang yang besar dan di tarik dari kedua sisi sampai membuat perutnya terasa semakin sesak dan terasa seperti ribuan jarum menusuk secara sengaja.

“Argh..” ringisnya pelan, dengan kepala masih menunduk di dalam tangan kanannya yang terlipat dan tangan kirinya yang terus meremas perutnya.

Bagaimana ini?

Kenapa tiba-tiba…?

Suara ketukan di meja terdengar. Mengusik pendengaran Yonghee. Tapi ia merasa berat untuk segera mengangkat kepalanya.

Tok tok tok, lagi. Ketukan di mejanya kembali berbunyi.

“Eh, lo tidur?”

Byounggon?

Kali ini ia mengangkat kepalanya dan menahan rasa sakitnya sebisa mungkin. Yonghee memperlihatkan wajahnya perlahan pada pemilik suara yang seharusnya ialah yang datang menemui anak laki-laki berambut silver itu.

Tubuh Yonghee sedikit bergetar dengan butir keringat yang hampir memenuhi seluruh wajahnya sampai seluruh tubuhnya pun mulai merasa gerah. Wajahnya pucat dengan bibir yang sedikit membiru. Dahi Byounggon berkerut, “lo kenapa?” tanyanya dengan suara pelan.

“Ah? A-apa?” Yonghee mencoba memperlihatkan wajah tak mengerti akan pertanyaan Byounggon. Apa wajahnya begitu kentara?

Demi mengalihkan pandangan Byounggon dari wajahnya, Yonghee memilih mengambil tasnya yang tergantung rapi dan mengeluarkan dompet hitamnya dari dalam sana. Byounggon langsung memotong kegiatan Yonghee ketika melihat Yonghee mengeluarkan dompetnya.

“Biaya lo nggak kurang,” ucapnya, membuat Yonghee langsung menatapnya.

“Ya?”

“Iya, malahan gue mau balikin ini.” Byounggon menaruh sejumlah lembaran uang ke atas meja, “uang lo.”

Yonghee menatap uang yang di letakkan Byounggon kemudian beralih memandang wajah Byounggon, “kenapa?” tanyanya lirih.

“Bang Jae nggak mau di bayar. Lagian kliniknya juga mau tutup, perawatan yang dia gunain ke elo itu cuman sisa-sisa sitaan aja. Jadi lo nggak perlu bayar. Dan ini..” Byounggon kembali mengangkat tangannya, meletakkan paper bag kecil.

“Obat-obatan buat lo. Bang Jae khawatir kalo lo nggak bawa diri lo ke rumah sakit buat pemeriksaan lebih. Ini obat buat sementara. Buat ngobatin luka-luka luar doang dan ada obat pereda nyeri. Jadi Bang Jae minta gue sampein ke elo lagi, buat periksa badan lo ke rumah sakit.”

Yonghee hanya memandang wajah Byounggon, ini terasa mimpi sebenarnya bagi Yonghee. Karena selama ini ia hanya berusaha mengobati luka-luka dan rasa sakitnya sendirian.

“Hei?” Byounggon menjentikkan jarinya di depan wajah Yonghee, meminta atensi untuk dirinya karena Yonghee terlihat sibuk dengan pikirannya sendiri meskipun memandangnya.

“Ah? Ya?”

“Lo dengar apa yang gue bilang?”
Yonghee mengangguk.

“Lo langsung minum aja obatnya. Ada keterangan minumnya kok di tiap obatnya sama salep-salep luka juga ada petunjuknya. Dan lagi..” Byounggon mengeluarkan sesuatu dari saku celananya, beberapa lembar uang.

“Ini uang sendal. Udah gue ambil dari uang lo. Jadi lo nggak perlu nanya tentang uang sendal. Sudah gue ambil ini. Jadi lo nggak berhutang apapun ke gue. Termasuk klinik dan obat. Itu semua di kasih bang Jae, bukan gue. Jadi, lo cukup bilang terima kasih ke gue biar gue sampein ke abang gue trus abang gue nyampein ke bang Jae,” cerca Byounggon panjang lebar.

Yonghee tersenyum mendengarnya, “terima kasih banyak. Untuk bang Jae, abang kamu dan kamu. Aku berterima kasih banyak. Kalo nggak ada kalian, mungkin aku nggak bisa bernafas sekarang.”

Byounggon menatap Yonghee kikuk. Dia bingung harus merespon apa.

Apa-apaan anak ini? Dia.. sambil tersenyum?

Itu hanya sebuah kebetulan, kebetulan yang sangat kebetulan karena ia meninggalkan botol minumnya hari itu. Byounggon diam-diam bersyukur. Dia bahkan takut memikirkan jika saja botol minumnya hari itu tidak tertinggal, apakah ada yang akan menolong Yonghee? Atau mungkinkah jika ia tidak meninggalkan botol minumnya hari itu, hari ini akan beredar kabar bahwa Cha Yonghee murid kelas 11-A di temukan tak bernyawa pada hari sabtu kemarin? Byounggon merinding memikirkan pemikiran yang ingin ia anggap absurd. Dia tidak ingin ada berita seperti itu di sekolahnya.

“Hmm.. yaudah kalo gitu. Gue mau balik ke bangku gue. Urusan kita sudah selesai. Jadi lo nggak perlu berlebihan tentang ini.”

Byounggon berlalu dari depan meja Yonghee. Ia memerhatikan Yonghee dari tempat duduknya yang berada paling belakang di barisan meja tengah. Yonghee terlihat mengeluarkan semua obat-obatan yang di berikannya tadi lalu membuka beberapa obat telan dan langsung menenggaknya dengan air.

Byounggon merasa sedikit lega, bahwa Yonghee bisa bersekolah seperti biasa hari ini meski wajah anak itu tadi terlihat pucat, Byounggon berdoa agar Yonghee tidak apa-apa setelah ini.


-----------🌱

-----------🌱

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Just enjoy reading this book. Thank you 🙆🙇‍♀️

[✓] Strange Place || CIXTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang