• Strange Place ••••
“Ayah ada operasi ya, buna?” Jinyoung menghentikan langkah tepat didepan tangga, saat melihat bunanya yang baru saja kembali dari pintu depan, dengan mengeratkan kardigan merah bata yang tengah membalut tubuh mungil satu-satunya wanita di rumah itu.
“Iya, mendadak. Seperti biasa. Baru aja ayah tidur nggak sampe setengah jam, tiba-tiba ada panggilan.”
Putra sulungnya hanya mengangguk-angguk mendengarnya dan menenggak segelas air mineral yang ia bawa dari dapur, “nggak bawa air ke kamar? Lupa lagi?”
Jinyoung terkekeh pelan.
Padahal bunanya selalu mengingatkan setiap selepas makan malam untuk membawa air mineral barang segelas, tapi hampir tiap hari juga Jinyoung melupakan.
Keduanya berjalan bersamaan, menaiki tangga menuju lantai dua menuju kamar kembali.
Sebenarnya tidak hanya lupa membawa air mineral yang membuat Jinyoung terbangun, nyatanya Jinyoung benar-benar masih terjaga. Pikirannya terus berputar bak roda yang baru saja dipoles oli untuk selalu bergerak.
Yang menjadi pikiran Jinyoung tentu saja Yonghee, apalagi setelah kejadian mengerikan kemarin. Anak laki-laki yang dengan beraninya melukai tangannya sendiri dan seolah tak hidup setelahnya. Tentu Jinyoung memikirkannya. Dan sekarang, mendapati ayahnya mendapat panggilan operasi menjadikan pikirannya semakin bercabang.
Tentang ayahnya yang tiba-tiba mendapat panggilan merupakan hal biasa bagi Jinyoung. Namun, perasaannya yang tidak nyaman sejak kemarin yang mampu membuatnya terjaga sampai semalam ini membuatnya sedikit resah.
Pikiran aneh mulai menerpa, tapi ia mencoba menepis dan menghalau.
Tidak mungkin. Hanya kata-kata itu yang terulang dikepalanya.
“Kira-kira kenapa lagi ya, buna? Kecelakaan? Atau sakit yang kambuh? Atau memang pasien ayah kritis?”
Seunghee menoleh menatap Jinyoung lalu memandang lurus kembali, “mungkin kecelakaan? Ayah nggak ada bilang apa-apa, cuman bilang kalo pasiennya gawat dan harus operasi malam ini juga. Dan kayanya pelajar, karena ayahmu ada menyebut pelajar waktu nerima teleponnya.”
Pelajar? Tidak, pasti tidak mungkin.
“Pe-pelajar? Mungkin.. kecelakaan mobil?” Jinyoung bertanya, ingin menghapus pikirannya yang semakin mengada-ada.
“Hmm, buna kurang tau. Nanti kakak bisa tanya langsung ke ayah, ya. Mungkin besok sore ayah bisa pulang ke rumah. Nah, kakak bisa tanya.”
“Yaudah, masuk kamar. Sudah malam banget kak. Langsung tidur, jangan main,” titah Seunghee ikut berhenti di depan kamar Jinyoung.
“Selamat malam, buna. Mimpi indah.”
“Kakak juga, ya. Mimpi indah, sayang.”
Dan berkat informasi mengenai pasien yang akan ditangani ayahnya malam ini, akhirnya benar-benar mengalahkan rasa kantuk Jinyoung, membuatnya terjaga dan terus memikirkan segala kemungkinan yang terjadi.
-----------🌱
“Dokter Minhyun, Dokter Wonwoo, dan Dokter Jihoon sudah di hubungi? Apa kata mereka?”
“Dokter Minhyun langsung kembali kesini dari rumahnya. Dokter Wonwoo sekitar sepuluh menit akan sampai, dan Dokter Jihoon berjalan kemari dari ruang istirahat.”
“Baiklah,” kemudian, dokter tersebut beralih pada perawat lain yang juga berada di ruangan tersebut, “ruang operasi sudah siap? Bagaimana wali pasien? Sudah ada persetujuan?”
Perawat laki-laki itu mengangguk pelan bahwa ia sudah melakukan perintah dari sang dokter lalu menjelaskan, “ruang operasi sudah siap. Wali pasien tidak bisa dihubungi tapi Dokter Nana yang mengambil tanggung jawab karena pasien adalah putra dari pasien Dokter Nana. Jadi kita bisa langsung menjalankan prosedur operasi sesampainya para dokter, dok.”
“Bagus. Kita pindahkan pasien.”
-----------🌱
Nana menunggu didepan ruang operasi setelah menyetujui semua prosedural yang akan dijalani putra dari pasiennya.
Ia bahkan izin dari jaga malamnya di IGD demi menunggu seseorang yang berhasil di hubungi hampir setengah jam lalu.
Tidak pernah dia menyangka anak laki-laki yang cukup lama tidak bertemu dengannya itu berakhir bertemu dengannya di rumah sakit tempat ia bekerja. Memang Nana tidak pernah benar-benar bercengkrama dengan anak lelaki itu, hanya saja, ia tidak menyangka akan seperti ini.
“Dokter Nana?”
Nana berdiri dari duduknya, menunggu wanita yang meneriakkan namanya itu mendekat kearahnya dengan raut wajah yang pucat.
“Yuri?”
Yang datanglah adalah Yuri. Nafasnya masih berburu dengan detakan jantungnya yang berpacu cepat, wajahnya yang pucat ternyata juga sembab. Dan sekarang, air yang jatuh dari kedua matanya membasahi lagi wajahnya yang bahkan belum kering.
“Tenang, atur nafasmu lebih dulu. Mari duduk,” dengan pelan, Nana menarik tubuh Yuri yang terlewat panik, melingkarkan tangannya di bahu wanita yang lebih muda sambil menepuk pelan.
Yuri sampai tidak bisa berkata apa-apa, tenggorokannya sakit untuk bertanya. Tidak bisa terlintas sedikitpun dikepalanya untuk ia bersuara, sepenuhnya, ia hanya ingin menangis.
“Yonghee baru saja masuk ruang operasi,” ucap Nana membuka suara, ia mengerti, Yuri pasti menginginkan penjelasan tapi tidak sanggup untuk mengatakannya, “baru sekitar lima belas menit. Yang membawa Yonghee kesini Pak Lee, beliau kebetulan sedang tugas berjaga di apartemen. Dan Pak Lee cuman punya nomor Eunseo dan Eunwoo. Aku paham tentang Eunwoo, dia pasti sedang bertugas, sedangkan Eunseo, sambungannya terhubung tapi tidak diangkat. Untung aku melihat Pak Lee dan bertanya, ternyata beliau membawa Yonghee. Jadi aku menghubungimu, cuman kamu satu-satunya yang bisa kami hubungi. Dan maaf, aku langsung menyetujui prosedur operasi Yonghee tanpa menunggu wali yang lebih berhak, karena kondisi Yonghee sudah terlalu parah apalagi jarak dari apartemen ke rumah sakit membuat Yonghee terdiam cukup lama.”
Tangisan Yuri semakin kencang, tersedu sampai tersedak. Tidak sanggup ia membayangkan bagaimana kondisi Yonghee saat ini di dalam sana, seberapa parah sebenarnya? Dan apa yang dipikirkan Yonghee sebelum melakukan hal itu sebenarnya?
Menyesal. Iya, Yuri menyesal. Menyesal kenapa dirinya tidak menarik paksa Yonghee, membawanya pergi ke rumahnya meski anak itu menolak sehingga kejadian seperti ini tidak akan terjadi.
Namun apa daya, semua sudah terlanjur terjadi. Tidak ada perulangan untuk mengganti kejadian sekarang menjadi rencana yang ia sesali.
Tangannya mengepal kuat di dada dengan mata yang tak kalah kuatnya memejam. Merapal penuh doa dalam hatinya yang ikut terluka karena insiden ini.
Yuri hanya ingin Yonghee bisa selamat —setidaknya, kembali padanya, pada orang tuanya lagi. Tangisannya menjadi isakan lirih yang tiba-tiba membisu, berharap Tuhan mendengar bahwa ia bersungguh-sungguh mendoakan Yonghee dapat melewati segala kesulitan dan kesakitan yang dibawa anak laki-laki itu di dalam sana.
Yonghee, ku mohon. Aku memohon dengan sangat, tolong selamatkan Yongheeku, selamatkan Yonghee kami. Yonghee kami anak yang baik, anak yang sangat-sangat baik, berikan yang terbaik untuknya, selamatkan dia. Ku mohon..
-----------🌱Thanks for reading this book 🤗
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] Strange Place || CIX
FanficReturn to the beginning To the days of innocence - Yonghee Rated : 15+ Warn : Karena mengandung kekerasan, banyak kata-kata kasar, dan lainnya yang berpotensi membuat tidak nyaman dan trigger. Harap kebijakan dari para pembaca. Terima kasih 🙏