56. Two Conversation

279 63 30
                                    


• Strange Place •

•••

“Papa nggak pulang lagi?”

Younghoon mengangkat wajah, hanya menilik sebentar lalu ia kembali melanjutkan makannya dengan malas, “biasa kaya gitu, kak. Nggak usah kaget.”

Nana berjalan mendekat, menarik perlahan kursi di samping Younghoon dan mendudukkan dirinya. Hampir seminggu ia tidak pulang ke rumah, rasa penatnya benar-benar menjalar di seluruh tubuh. Tangannya terangkat ke udara pada seorang pelayan yang berdiri di dekat meja makan dan pelayan itu pergi, tidak lama kemudian kembali seraya meletakkan satu set alat makan ke hadapan Nana juga menuangkan air mineral ke gelasnya.

Tangan Nana mulai mengambil lauk-pauk yang ada, mencicipinya sedikit demi sedikit sambil menyuap sendokan nasi dari mangkuknya yang tadi disediakan oleh pelayan laki-laki yang terlihat masih muda dan baru dipandangan Nana, karena Nana baru melihatnya hari ini. Keduanya makan dengan fokus, sampai akhirnya Nana mulai berkata, “kamu kenal Yonghee?”

Tubuh Younghoon seketika membeku mendengar pertanyaan dari kakak perempuannya, ia melepas sumpit di tangannya, menoleh pada Nana di sampingnya, “ada apa? Kenapa nanya dia?”

Nana menjawab acuh, masih sambil memakan makanannya, “kakak cuman tanya. Kamu kenal Yonghee? Kalian satu sekolah dan ada ditingkatan yang sama. Kakak pikir kamu pasti kenal Yonghee. Nggak kenal ya?”

“Kenal. Ada apa?”

“Sudah dengar kabar? Kabarnya pasti tersebar cepat di anak-anak, walaupun pihak sekolah bakal nutupin. Sepertinya, ayah lagi disibukkan tentang itu. Tapi ayah pasti gampang sekali menyelesaikannya, terlebih, Yonghee melakukannya di luar sekolah.”

Younghoon memang sudah mendengar kabar tersebut melalui grup obrolan daring angkatannya. Ia juga yakin, saat sekolah masuk senin nantipun anak-anak pasti masih membahas mengenai masalah ini. Bahkan terlalu banyak anak-anak yang membicarakan perihal tersebut dan semakin melantur untuk menerka-nerka hal apa yang melandasi Yonghee melakukan hal tersebut. Ia bahkan sempat berpikir bahwa ia menjadi salah satu alasan Yonghee memutuskan demikian. Sampai-sampai membuat Mingy sedari pagi merasa frustasi dan ketakutan jika saja polisi menangkap dirinya yang ikut merisak Yonghee.

Tapi Younghoon masa bodoh. Mereka tidak mungkin ditangkap, terlebih kejadian itu berlangsung di luar sekolah. Jika hal itu terjadi, ayahnya juga tidak akan tinggal diam. Dia dan teman-temannya pasti akan bebas bagaimanapun juga.

“Kenapa memang? Bagus kan kalo dia sampai mati? Cuman aku kasian sama mamanya, pasti kakak bakal rawat mamanya lagi.”

Kunyahan tak berselera Nana terhenti. Dahinya mengernyit bingung, apa maksud dari perkataan adiknya barusan? Bagus? Mamanya dirawat lagi?

Nana menoleh, sementara Younghoon masih terus menunduk sambil masih memakan makanannya dengan gerakan malas, “apa maksudmu? Apanya yang bagus, Younghoon? Anak itu sekarat, hampir aja kehilangan nyawa. Apa yang bagus dari itu? Terus, kamu tau dari mana mamanya bakal dirawat lagi. Tau darimana kakak yang bakal merawat mamanya?”

Nana kemudian sadar bahwa di ruangan itu bukan hanya dirinya dan Younghoon saja, jadi ia memberi kode pada pelayan yang masih berada disana untuk keluar dari ruang makan, meninggalkan mereka berdua.

Lalu Nana kembali lagi pada Younghoon setelah pelayan tersebut benar-benar sudah di luar ruang makan, adiknya masih saja mengacuhkannya, “jawab kakak Younghoon, apa maksudmu?”

Younghoon akhirnya menoleh, melepas alat makan di tangannya, menatap lurus pada Nana yang menunggu penjelasannya, “aku tau mamanya dirawat sama kakak, waktu anak itu dulu melukai pergelangan tangannya dan bikin mamanya frustasi sampai dirawat sama kakak. Aku tau kak. Karena waktu itu aku datang ke rumah sakit buat jemput kakak di malam Chuseok.

Mamanya keliatan hancur, kak. Dan itu semua gara-gara anak brengsek itu. Dia sama sekali nggak bersyukur. Sama sekali nggak. Dia malah nyakitin mamanya di saat aku malah takut buat nyakitin mama sewaktu mama masih ada sampai mama ninggalin kita, sedikitpun aku takut nyakitin mama.”

“Younghoon?”

Younghoon masih ingin menyambung perkataannya sehingga ia mengabaikan panggilan Nana padanya, “kenapa, kak? Anak kaya dia nggak pantas di kasihani. Anak kaya dia pantas untuk mati. Supaya mamanya bisa terbebas dari anak brengsek kaya dia. Lebih baik kaya gitu, kak.”

“Younghoon?” Nana masih mencoba memutus perkataan Younghoon, tapi Younghoon tetap saja tidak mengindahkan panggilannya. Anak itu mengambil nafas panjang, masih hendak terus melanjutkan perkataannya.

“Dia nggak pantas untuk dihargai. Anak brengsek yang menyakiti mamanya kaya dia pantas untuk menerima itu. Dan bagus, kalo dia benar-benar mati. Aku bersyukur kalo dia mati. Manusia jenis dia, berkurang jumlahnya di bum—”

“Younghoon!” kali ini suara Nana sudah meninggi, berhasil memutus langsung Younghoon.

Younghoon tersentak mendengar suara Nana yang cukup keras. Tidak pernah sekalipun Nana berkata dengan nada setinggi itu pada Younghoon selama mereka hidup bersama, terlebih ketika mereka kehilangan sang ibu. Tidak pernah. Nana sendiri berteguh pada rasa lemah lembutnya sebagai seorang kakak, pengganti ibu mereka sekaligus psikiater, namun malam ini, ia kelepasan.

“Kakak nggak pernah ajarkan kamu begini, Younghoon. Bagaimana bisa kamu bilang tentang kematian dengan begitu gampangnya?” Nana jelas emosional, air mukanya berubah seketika.

Nana merasa gagal, sangat gagal ketika mendengar perkataan Younghoon. Sebegitu mudahnya Younghoon mengatakan kematian dan berdoa seburuk itu pada seseorang.

Hanya cukup sepintas bagi Nana menangkap semua perkataan Younghoon, dan ia sudah bisa mengartikan bahwa adiknya telah salah paham pada kejadian yang menimpa Yonghee. Ia hanya melihat, hanya dengan melihat kejadian kala itu, namun Younghoon sudah menyimpulkan demikian.

“Aku memang benci dia. Sekarang aku tambah benci dia, kakak teriak panggil aku karena dia,” setelah diam dalam posisinya, Younghoon semakin intens menatapi kakaknya, melempar jauh alat makan yang berada di genggamannya sampai terdengar bunyi yang nyaring, “kenapa kakak emosional begitu? Emosional karena teriakin aku atau emosional karena aku benci banget sama dia?” suara Younghoon tak kalah tinggi dari Nana.

Nana menggeleng, mengelak pertanyaan Younghoon padanya, mengembalikan lagi nada bicaranya, “maaf, Younghoon. Kakak nggak bermaksud teriak. Tapi—”

“Apa?”

“Younghoon, bagaimana bisa kamu langsung membenci dia cuma karena liat pergelangan tangan dia terluka? Dan mamanya terluka karena dia? Bagaimana bisa kamu langsung menyimpulkan begitu? Kenapa kamu nggak tanya kakak? Kenapa kamu langsung menyimpulkan begitu?”

Younghoon mendengus keras, membuang pandangannya sejenak dari Nana sebelum menatap kakaknya itu kembali, “kenapa? Apa kesimpulanku salah? Iya? Kenapa?”

“Iya, kesimpulanmu salah. Salah besar.”

“Apa yang salah? Dimana letak salahnya?”

“Yonghee nggak melukai pergelangan tangannya sendiri. Tapi mamanya yang melakukannya. Sepertinya kamu nggak perhatikan bagian perut Yonghee saat itu. Perutnya juga terluka, karena nahan mamanya yang mau melukai tangannya sendiri sampai akhirnya Yonghee yang mendapat luka itu. Dia yang menerima semua luka itu dan itu dari mamanya.”

Ekspresi Younghoon terkejut meski ia masih tidak menerimanya. Ia masih memegang argumennya, “nggak, pasti kakak mau lindungi dia, kan?”

Kepala Nana menggeleng, tatapannya masih tertuju tepat di kedua netra adiknya, “nggak, Younghoon. Itu kebenarannya. Kalau kamu masih nggak percaya sama kakak, dan menganggap kakak melindungi Yonghee, kamu bisa tanyakan langsung pada Dokter Mingyu. Dokter Mingyu yang menangani luka Yonghee sampai Yonghee benar-benar sembuh.”

Pandangan Younghoon alhasil melemah. Ia membuang pandangannya dari Nana, menelan susah payah air liurnya, memutus pandangan keduanya. Karena Younghoon tau, Nana tidak berbohong meski ia sudah mencoba mencari celah di kedua netra itu untuk mendapatkan bahwa kakaknya yang salah dan dia yang benar. Dan dirinya, merasa salah walau ingin mengelak bagaimanapun. Sepertinya kali ini, dialah yang salah.

[✓] Strange Place || CIXTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang