10. Wand of Affection

431 96 42
                                    

• Strange Place •

Setelah sampai di rumah, mamanya langsung mengikuti Yonghee ke dalam kamar.

Yonghee hanya melepaskan tasnya serta mantel yang ia gunakan lalu berjalan mendekati mamanya yang sudah bersimpuh di depan lemari pakaian.

Ini merupakan kegiatan wajib bagi Eunseo jika anaknya itu melanggar apa yang ia atur dan sudah menjadi kebiasaan sejak Yonghee masuk ke sekolah dasar.

Inilah hukumannya. Hukuman bagi Yonghee yang ia sendiri tak pernah bisa menebak bagaimana mamanya itu akan memperhitungkan hukuman untuknya, sebanyak apa mamanya itu akan menghukumnya dan hukuman lanjutan apa lagi yang akan di terimanya.

Yonghee berjalan pelan kearah mamanya lalu membungkuk perlahan -seketika tubuhnya terasa seperti di remas hebat.

Yonghee terdiam beberapa saat ketika menggulung celana kanannya, tercetak lebam membiru yang besar di tulang keringnya. Tapi mau bagaimana lagi, mamanya tidak akan peduli bahkan ketika melihat wajahnya penuh luka pun mamanya tidak peduli. Yang dia pedulikan hanyalah tentang les Yonghee, tentang kemampuan anaknya. Dia tidak peduli bagaimana anaknya mendapat luka-luka tersebut, yang terpenting hanyalah bagaimana Yonghee dapat menguasai semua pelajaran dengan sangat baik dan sempurna.

Eunseo yang duduk bersimpuh sudah memegang sebuah tongkat yang cukup panjang di tangannya dan terlihat jelas bahwa tongkat itu sudah berusia cukup tua. Terlihat dari warnanya yang berubah coklat tua di ujung serta di area yang menjadi pegangannya. Beberapa serat kayunya pun menyembul memenuhi beberapa bagian di tongkat tersebut yang di namai dengan 'tongkat kasih sayang' oleh Eunseo.

Yonghee mengernyit saat kedua celananya sudah tergulung sempurna sampai di bawah lutut. Kini ia berdiri menyampingi Eunseo, mengarahkan betisnya agar mamanya dapat dengan mudah menghukumnya.

Tanpa suara, Eunseo mulai melayangkan pukulan pada betis Yonghee yang bahkan masih menyisakan bekas akibat pukulan yang sama darinya. Dia tidak peduli, hal ini benar adanya -terutama untuk mendisiplinkan Yonghee yang melanggar segala rencana yang sudah di atur.

Pukulan-pukulan terus berlanjut yang bahkan Yonghee sendiri tak tau sudah berapa pukulan yang di dapatnya.

Tubuh Yonghee terhentak setiap kali pukulan keras dari mamanya menampar betisnya. Rasanya sangat perih, sampai rasa sakitnya pun sudah tak bisa tergambarkan dengan kata-kata. Rasa sakit yang ia terima hanya tergambar dari matanya yang mulai berair, menahan sakit yang luar biasa.

Sebisa mungkin ia menahan suara rintihannya dengan menggigit bibirnya keras yang di rasanya kini sudah berdarah.

Hampir setengah jam kali ini, pukulan 'tongkat kasih sayang' masih terus melayang pada betis Yonghee. Wajahnya sudah memerah sempurna, keringatnya memenuhi wajah serta tubuhnya dan genggaman kedua tangannya meremat kuat ujung bajunya sampai terlihat sangat kusut.

Takk!

Pukulan terakhir. Benar, sudah pukulan terakhir dan menjadi pukulan paling keras dari puluhan pukulan yang di terima Yonghee mengakhiri hukuman pertamanya.

Yonghee ingin limbung rasanya, tapi ia tidak bisa. Mamanya tidak akan membiarkannya hanya mendapatkan hukuman seperti itu. Masih ada hukuman lainnya dan itu sudah menjadi kewajiban.

Eunseo berdiri, meski putranya masih berdiri dengan posisi yang sama dan wajah Yonghee tak terlihat baik-baik saja. Ia menatap wajah Yonghee yang hanya memperlihatkan sisi samping wajah putranya itu, “kerjakan buku yang sudah mama siapin di meja belajar. Habiskan satu buku, karna kakak tadi nggak ikut les matematika hari ini. Habis itu baru kakak tidur. Besok sudah harus selesai ya kak,” katanya lembut, namun dengan ekspresi wajah yang sangat datar.

Setelah mengatakan hukuman terakhirnya pada Yonghee, Eunseo langsung pergi keluar dari kamar Yonghee tanpa menoleh sedikitpun.

Seketika itu juga, Yonghee yang berusaha mati-matian menahan rasa sakit pada betisnya -yang Yonghee yakini sekarang sudah mengalir darah dari sana, langsung ambruk dari tempatnya berdiri.

Wajahnya menjadi lebih pucat dari sebelumnya di tambah bibir bawahnya yang sobek karna ia menggigitnya terlalu keras untuk meredam rasa sakit yang ia rasakan.

Yonghee mencoba melihat betisnya dengan susah payah. Benar saja, luka akibat pukulan 'tongkat kasih sayang' mengeluarkan darah. Ia hanya bisa meringis menatap luka-luka mengerikan itu.

Susah payah Yonghee bangkit untuk mengambil kotak obat yang memang menjadi kotak terpenting di kamarnya yang ia letakkan di laci besar meja belajar.

Sengaja ia sembunyikan kotak obat tersebut agar tak terlihat oleh mamanya. Ia tidak ingin mamanya menyadari bahwa Yonghee terluka, ia tidak ingin mamanya ikut terluka. Yonghee tidak ingin membuat luka mamanya terbuka lagi.

Selama mamanya tidak merasa bahwa dirinya terluka. Yang Yonghee pikirkan hanya cukup ia yang terluka, itu cukup, cukup untuk semuanya, cukup untuk membuat Yonghee bertahan meski terkadang masih di selingi dengan rasa  ketidakterimaan dan sedikit rasa tidak adil.

-----------🌱

Just enjoy for reading this book 🙆

Walaupun bahasanya terkadang absurd, atau semuanya absurd 😅

Terima kasih sudah mau menanti kelanjutannya 🙇‍♀️

[✓] Strange Place || CIXTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang