29. Night With My Beloved Father

304 77 13
                                    


• Strange Place •




🎵 Airman - My Exhausted Day (atau bisa putar di media 😊)

-----------

“Yongi, papa pulang!”

Yonghee meninggalkan sup yang ia panaskan di atas kompor, membersihkan kedua tangannya dan berjalan keluar dari dapur. Ternyata papanya sudah berjalan mendekat dengan koper besar yang di seret papanya itu dengan tangan kanan sedangkan di tangan kiri terdapat beberapa paper bag.

Yonghee tersenyum melihat papanya yang berhenti beberapa meter di depannya sambil merentangkan kedua tangannya, memberi kode pada Yonghee untuk menghampirinya dan memberikan pelukan di sana.

“Papa kangen sama Yongi, maaf ya. Papa pulangnya telat, karena ada penerbangan yang nggak bisa papa tinggalin,” Eunwoo mengecup puncak kepala Yonghee dengan sayang sambil mengusap-usap punggung putranya.

“Nggak papa, pa. Yang penting papa pulang dalam keadaan sehat dan nggak kekurangan apapun. Yongi tetap senang. Yongi tetap suka. Yongi tetap nungguin papa.”

Eunwoo menjauhkan sedikit wajahnya, di ikuti Yonghee, sehingga ayah dan anak itu bisa saling menatap. Tangan Eunwoo membingkai wajah Yonghee dengan kedua tangannya. Kedua sudut bibirnya terangkat, senyumannya membuat siapapun yang melihat pasti merasa begitu teduh.

“Anak papa sekarang sudah setinggi ini, sudah hampir sama kaya papa. Tapi, Yongi tetap anak papa yang kecil, yang paling lucu, yang paling papa sayang.”

Yonghee mengeratkan kedua tangannya yang mencengkram baju di kedua sisi pinggang papanya, bibirnya mencebik mendengar perkataan papanya, “Yongi bukan kecil, pa. Nanti Yongi di kira anak kecil lagi.”

Sang papa mengusak gemas puncak kepala Yonghee. Dirinya sangat merindukan putranya, begitu sangat merindukannya dan dia sangat kesal saat jadwal istirahatnya di rumah batal karena ada beberapa penerbangan yang harus ia laksanakan, sehingga Eunwoo akhirnya baru bisa pulang hari ini, baru bisa melihat lagi wajah Yonghee yang masih sangat menggemaskan di matanya.

Yonghee melepas tangannya dari tubuh papanya, memberikan senyum hangat pada papanya, “Yonghee matiin kompor dulu ya, pa, sekalian nyiapin makan malam papa. Papa beres-beres barang papa aja dulu di kamar.”

Eunwoo memerhatikan Yonghee, dia tidak menyadari bahwa putranya mengenakan celemek, “astaga, papa nggak liat kalo Yongi lagi pake celemek. Makasih ya mau nyiapin makan malam papa. Padahal tadi waktu papa telpon mama, papa sudah kasih tau mama kalo papa bisa beli makan di luar. Yaudah, papa beres-beres dulu ya.”

Rasa nyeri di dadanya sebenarnya masih di rasakan Yonghee, namun sebisa mungkin ia menahannya, tidak mungkin jika ia meringis di depan papanya. Yonghee sama sekali tidak mau papanya itu khawatir, papanya sudah lelah bekerja dan dia tidak mau keadaannya akan menambah beban.

Yonghee kembali ke dapur, mengecek sup dari mamanya yang mulai mendidih.

Setelah mendapat telepon dari mamanya, Yonghee memang di minta mamanya itu untuk mampir ke butik dan mengambil sup yang sudah di siapkan sehingga Yonghee hanya perlu memanaskan sup tersebut. Biasanya, Eunseo akan selalu pulang lebih dulu ketimbang Eunwoo, tapi kali ini tidak. Apalagi, Eunwoo pulang lebih awal dari biasanya, membuat Eunseo terpaksa hanya menitipkan makan malam pada Yonghee agar putranya bisa menyiapkan makan malam untuk Eunwoo.

Sup sudah ia panaskan, nasi pun sudah masak. Ia juga sudah menyusun makanan sederhana itu di meja makan. Sebenarnya Yonghee tidak tega membiarkan Eunwoo makan malam hanya dengan lauk sup dari Eunseo, namun dirinya juga sadar tidak bisa memasak. Dari pada dirinya memasak dan berakhir dengan masakan yang tidak bisa di makan, lebih baik ia mengurungkan niatnya itu.

Kemudian Eunwoo keluar dari kamarnya yang berada di depan ruang keluarga, dengan menggunakan celana training hitam yang membalut kaki jenjangnya dan kaus putih polos berlengan pendek.

Yonghee mengangkat kepalanya, menatap Eunwoo yang berjalan mendekat dengan senyum merekah, “papa nggak mandi dulu?”

Eunwoo tertawa malu dan pertanyaan seperti itu pasti di berikan Yonghee padanya, karena kebiasaannya adalah sampai di rumah akan makan terlebih dahulu, setelahnya, barulah ia akan membersihkan diri.

“Hehe, papa biasanya makan dulu, baru mandi,” Eunwoo menggaruk-garuk kepalanya sembari ia mendudukkan dirinya di salah satu kursi meja makan.

“Ah, maaf pa. Yongi nggak tau.”

Eunwoo tertawa melihat reaksi yang diberikan Yonghee, ia juga mengerti kenapa putranya itu sampai tidak mengetahui kebiasaannya, ”papa yang seharusnya minta maaf. Papa pulangnya pasti larut malam, waktu Yonginya papa sudah tidur. Papa maklum kok, nak.”

“Yongi sudah makan malam, ya?” Eunwoo memerhatikan mangkok nasi yang hanya ada satu di meja makan dan sudah di sodorkan Yonghee ke hadapannya saat ia duduk.

Yonghee mengangguk kaku, tapi dia juga tidak bisa berkata jujur, “i-iya, pa. Sudah. Maaf ya, pa. Yongi jadi nggak bisa makan malam sama papa.”

Eunwoo tersenyum hangat pada Yonghee yang masih berdiri di samping meja makan, dengan celemek coklat yang menutup bagian depan tubuhnya. Membuat sosok ayah itu meniti wajah Yonghee yang terlihat semakin mirip dengan dirinya. Wajah putranya yang sendu dengan rambut kelam. Lalu pandangannya beralih pada lengan kiri Yonghee yang tertutup lengan baju panjangnya, tatapannya berubah sendu dengan guratan sedih, Eunwoo masih merasa sakit jika mengingat kejadian hampir 5 tahun lalu.

Di raihnya pergelangan tangan itu dan meletakkannya di atas meja. Dadanya terasa sakit, meski tak sesakit pemilik tangan yang ia genggam lembut di hadapannya itu.

Selalu dan pasti itu. Yonghee tidak mau jika papanya mengingat kejadian yang sudah lama terjadi itu, tapi entah kenapa, Eunwoo pasti akan selalu menarik tangannya sambil menatap penuh kesedihan disana. Yonghee tau, Eunwoo merasa sangat bersalah karena itu dan sudah berulang kali pula, Yonghee mengatakan bahwa dia baik-baik saja dan tidak perlu mengingat kejadian itu lagi, tapi Eunwoo selalu teringat tiap kali melihat tangan Yonghee.

“Maafin, papa,” Eunwoo menatap Yonghee yang hanya diam dengan apa yang ia lakukan.

Dan jawaban Yonghee akan selalu sama, “Yongi nggak papa, pa.”

Yonghee menarik perlahan tangannya, dia tidak mau suasana berubah di antara dirinya dan Eunwoo. Lagipula, itu semua masa lalu. Yonghee pun tidak pernah menyalahkan siapapun. Ketika Eunwoo meminta maaf padanya dengan begitu lirih atas kejadian yang tidak di sengaja di masa lalu itu, malah membuat dirinya yang sedih.

Ketika tak ada respon lanjutan dari Eunwoo, Yonghee menarik kedua sudut bibirnya ke atas, “pa, Yongi nggak mau setiap papa pulang, papa akan begini. Lagi pula ini sudah lama, pa. Yongi selalu ngejelasin itu ke papa.”

Eunwoo menghembuskan nafasnya, mencoba memberikan senyuman pada Yonghee sebisa mungkin, “iya, papa tau. Tapi papa selalu takut, kalo kamu tiba-tiba aja merasa sakit. Terus, perut kamu udah nggak papa, kan?”

Yonghee mengangguk pasti, “tentu, pa. Keadaan Yongi sangat sehat. Lagi pula, perut Yongi sudah nggak pernah sakit lagi kok, pa. Terkadang memang masih terasa nyeri, mungkin Yongi kangen sakit, terus di perhatikan sama papa. Hehe.”

“Tuh, kan,” wajah Eunwoo berubah khawatir, “masih suka sakit? Atau sekarang terasa sakit? Kita ke rumah sakit, ya. Kamu sudah kontrol untuk bulan ini berapa kali? Ada keluhan apa lagi?”

Yang di beri pertanyaan beruntun menghela nafas, memiringkan kepala dan tersenyum, “yang di depan Yongi sekarang ini, papa atau mamanya Yongi ya? Rewel banget,” candanya.

“Yang di hadapan Yongi sekarang ini adalah papa yang berubah menjadi mama. Sekarang, jawab pertanyaan papa. Setiap pertanyaan papa.”

Karena merasa perbincangan malam ini akan berlangsung lama, Yonghee menarik kursi di seberang Eunwoo dan duduk di sana. Menatap lamat kearah Eunwoo dengan lembut. Ia terkekeh sebentar sebelum menjawab pertanyaan panjang lebar dari sang ayah.

“Sekarang Yongi nggak lagi sakit kok, pa. Yongi baik-baik aja, sangat baik. Perut Yongi sudah lama nggak terasa nyeri, Yongi cuma bercanda kalo bilang perut Yongi terasa nyeri. Perut Yongi sama kaya pergelangan tangan Yongi, kedua luka itu sudah lama nggak terasa sakit kok, pa. Yongi tau papa khawatir sama Yongi dan Yongi sangat-sangat senang dengar papa ngomel ke Yongi. Kan sudah beberapa bulan ini Yongi sudah nggak kontrol, pa. Kata dokter sudah nggak perlu kontrol, karena keadaan Yongi sepenuhnya baik. Yongi lupa kasih tau papa tentang ini, hehe," Yonghee tertawa kaku, "jadi papa nggak perlu takut apapun tentang keadaan Yongi, Yongi baik-baik aja, pa. Kedatangan papa adalah obat buat Yongi, jadi, kedatangan papa bikin Yongi semakin sehat.”

Hampir seluruh penjelasan Yonghee hanya berisi kebohongan, terkecuali tentang ‘tidak perlu kontrol lagi’ dan ‘papa adalah obat'. Ia tau Eunwoo tidak suka mendengar kebohongan, tapi ia juga tak kuasa untuk berkata jujur. Di pikirannya sendiri juga seolah sudah di atur bahwa tak ada yang perlu di katakan pada Eunwoo jika berujung papanya itu akan khawatir dan bahkan mungkin akan membuat papanya itu mengamuk sejadi-jadinya. Ia juga tidak mau Eunseo menjadi ikut terlibat dalam cerita kejujurannya. Maka, bagi Yonghee, kebohongan di rasanya lebih baik daripada ia berkata jujur.

Eunwoo menatap haru pada putra di hadapannya, dia merasa begitu bersyukur di anugerahi putra seperti Yonghee, dia sungguh sangat bersyukur –meskipun ia tidak menyadari kebohongan Yonghee yang di syukuri oleh anak berusia 18 tahun itu. Bagi Eunwoo, tidak ada apapun yang membuatnya bahagia di dunia ini selain melihat putranya. Dan ternyata, putranya bahkan se-dewasa itu untuk anak seumurannya. Ia sangat bangga, meski kekhawatiran sempat membuatnya hampir kalut. Tapi, mendengar penjelasan panjang yang selalu di berikan Yonghee padanya tiap kali dia bertanya berbagai macam pertanyaan, membuatnya tenang kembali.

Di usapnya puncak kepala yang begitu ia sayang itu, memberikan tawa bahagia penuh kebanggaannya, “anak papa pinter. Papa tau Yongi anak kuat dan sekarang sudah sehat. Terima kasih selalu nunggu papa. Papa rasanya mau berenti kerja, pengen habisin banyak waktu sama Yongi.”

Yonghee terkekeh mendengar keinginan Eunwoo, “pekerjaan papa masih butuh papa, jangan jadikan Yongi alasan buat papa berhenti. Yongi bisa berdiri sendiri, pa. Kita masih bisa habisin waktu sama-sama kaya sekarang. Walaupun jarang, tapi kita masih punya waktu, pa.”

Keduanya saling melipatkan kedua tangan di atas meja, “kita ngobrolnya sambil papa makan, ya. Nanti supnya keburu dingin, kerjaan Yongi buat manasin supnya jadi sia-sia kalo gitu,” usul Yonghee yang di angguki oleh Eunwoo.

“Papa sampai lupa mau makan. Oke, kita ngobrolnya sambil papa makan ya. Karena mama pulangnya malam sekali hari ini, jadi anak papa ya yang temani papa. Kita ngobrol sampai mama pulang. Papa ganggu jam tidur Yongi ya malam ini, hehe. Gimana? Deal?”

Yonghee menerima uluran tangan Eunwoo, tanda menerima tawaran papanya untuk menemani sampai mamanya pulang. Mulailah mereka berceloteh panjang, di bumbui tawa dan canda sesekali sembari Eunwoo menyantap makan malamnya. Dengan senyuman yang tak ada lunturnya menemani cerita panjang mereka mengenai apapun yang bisa mereka ceritakan, baik di pekerjaan Eunwoo ataupun kegiatan sehari-hari Yonghee. Melepaskan segala kerinduan dan kepenatan mereka masing-masing, dan waktu yang bisa mereka habiskan dengan rasa syukur yang tidak henti-hentinya terucap di dalam hati.

Semua rasa penat dan sakit yang menjadi samar, tertutupi oleh kebahagiaan sederhana yang tercipta. Yonghee hanya ingin menghabiskan waktu terbaiknya bersama Eunwoo sebaik mungkin. Karena dia tidak tau bagaimana dirinya ke depannya dan ia juga tak mau menyesal jika meloloskan waktu berharga seperti itu begitu saja. Setidaknya, ada yang membuatnya lupa akan semua hal yang terjadi padanya. Dan setidaknya, ia akan selalu mengingat dan merasakan kehangatan dari Eunwoo tanpa perlu takut akan apapun. Itu sudah cukup.

-----------🌱

Karena saya sering menulis sambil mendengarkan lagu-lagu Airman dan saya pikir bagian ini cocok dengan lagunya For My Exhausted Day, jadi saya masukkan di media 😊

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Karena saya sering menulis sambil mendengarkan lagu-lagu Airman dan saya pikir bagian ini cocok dengan lagunya For My Exhausted Day, jadi saya masukkan di media 😊

Airman memang bukan penyanyi yang cukup terkenal dan mungkin masih masuk underrated, tapi saya sangat menyukai lagu-lagu mereka yang begitu tenang dengan lirik yang sesuai dengan kenyataan yang ada 🤧

Semoga chapter ini dapat menemani malam minggu ini dan saya harap lagu-lagu Airman dapat menjadi penenang sebelum tidur 😁

Selamat malam minggu dari saya yang tidak salah menyadari tentang hari 😂 semoga mimpi indah semuanya 🤗

[✓] Strange Place || CIXTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang