• Strange Place •
•
•
•
Hyunsuk sedang duduk sendirian di rak paling belakang yang berada di perpustakaan sekolah, bersandar pada dinding sambil duduk beralaskan lantai. Hanya sendirian di temani oleh buku-buku yang ingin di bacanya. Membalikkan halaman buku yang selesai di baca ke halaman selanjutnya.
Seseorang datang, dengan tungkai semampai dan langsung mengambil tempat duduk tepat di samping Hyunsuk tanpa permisi. Jika Hyunsuk duduk sambil bersila kaki dan menyandarkan punggungnya, yang duduk tanpa permisi di samping Hyunsuk memilih duduk dengan menyelonjorkan kakinya yang jenjang, menyandarkan punggung dan kepalanya ke dinding sambil melipat kedua tangan di depan dada dengan mata terpejam, seakan menikmati suasana hening yang di sajikan oleh ruangan penuh buku-buku tersebut.
Hyunsuk hanya melirik sedikit, lalu tertawa sebentar. Matanya kembali fokus ke buku yang masih terbuka di tangannya, “kirain nggak kesini lo.”
Yang di ajak bicara masih menutup matanya, masih menikmati suasana hening, “siapa sih yang nolak buat tiduran disini tanpa terganggu? Cuman orang gila kali.”
“Lo kan gila,” sahut Hyunsuk acuh.
“Apa? Lai Guanlin nggak gila ya. Lo kali tuh yang gila,” jawab si pemilik tungkai panjang ketus dengan mata yang sudah melotot kearah Hyunsuk.
Hyunsuk terkekeh, menutup bukunya yang terbuka dengan kedua tangannya lalu menatap Guanlin yang masih melotot protes kearahnya.
“Udah melototinnya. Ntar mata lo keluar tuh. Mending tidur kan?”
Guanlin mengangkat punggung dan kepalanya dari dinding, menoleh penuh kearah Hyunsuk, “ya elo sih rese. Pake ngatain gue gila segala.”
Guanlin memang paling tak suka jika ia di katai seperti yang Hyunsuk lakukan, maka ia langsung berang mendengarnya dan tak terima. Karena Hyunsuk paling tau itu, ia sering mengata-ngatai Guanlin hanya sekedar bercanda dan keisengan belaka. Hidupnya sudah begitu suram, jadi untuk apa ia terlalu dalam masuk ke dalam ruangan yang suram? Sedang di depannya ada jalan yang sedikit membuatnya bisa tertawa lepas.
“Kalo lo bukan gila. Kenapa lo sewot?” tantang Hyunsuk, masih mempertahankan senyumannya.
“Ya elo sih, ngatain gue gila. Gue kan bukan gila. Gue mah handsome.”
“Handsame handsome mulu lo. Bosen gue dengernya.” Hyunsuk membuka kembali buku di tangannya yang sempat ia tutup, terlalu malas meladeni Guanlin yang sudah berlagak tampan -walaupun itu memang kenyataannya, jika tidak, mana mungkin anak dengan tubuh menjulang itu menjadi salah satu anak yang punya banyak penggemar wanita di sekolah.
“Lah? Emang kenyataan kan?”
Guanlin kembali ke posisinya semula, menyandarkan punggung dan kepalanya lalu menyilangkan tangannya di depan dada sambil memejamkan matanya. Ia sudah mengantuk, tapi Hyunsuk dengan tidak tau dirinya malah mengejeknya 'gila' seperti tadi.
Suasana kembali hening, baik Hyunsuk atau Guanlin, keduanya kembali ke kegiatan mereka masing-masing.
Hyunsuk sudah membaca cukup jauh bukunya, bahkan sudah hampir menghabiskan satu buku saat ia mengingat sesuatu yang ingin di tanyakannya pada Guanlin. Pertanyaan yang cukup lama ia simpan karena ia sedikit ragu untuk bertanya pada Guanlin.
Tangan Hyunsuk akhirnya berakhir pada lengan Guanlin, menepuk-nepuknya pelan, meminta perhatian Guanlin yang tertidur lelap, “Guan? Guan?” panggilnya berbisik.
Hyunsuk tau Guanlin mendengar panggilannya karna dahi anak itu mengkerut tak suka dan sedikit menggeliat, “Guan.. gue tau lo dengar gue.”
Guanlin mencoba menepis tangan Hyunsuk dari lengannya dengan tangannya, membuang paksa tangan Hyunsuk dari lengannya.
“Kalo lo nggak bangun, nggak bakalan gue biarin lo tidur dengan nyenyak!” Ancam Hyunsuk yang kini tangannya sudah menunjuk kearah Guanlin meski anak itu belum membuka matanya.
Memakan beberapa detik, sampai Guanlin mau membuka matanya karena merasa Hyunsuk sudah tak bersuara lagi yang artinya bahwa Hyunsuk tak main-main dengan perkataannya. Guanlin mana rela waktu tidurnya di ganggu, jadi ia menyerah. Mungkin saja anak yang sama bongsornya dengan dirinya itu hanya ingin berunding sedikit tentang pelajaran.
Guanlin meringis pelan, menengok kearah Hyunsuk yang menatapnya tanpa merubah posisi nyamannya, “apaan sih, Suk?”
“Bisa nggak sih lo manggil gue Hyunsuk. Enak aja lo manggil gue 'Suk'. Apaan deh?”
Guanlin memutar matanya malas, padahal Hyunsuk sendiri memanggil namanya tidak lengkap, kenapa ia selalu di protes jika selalu memanggil 'Suk'. Memang, di panggil 'Guan' jauh lebih baik ketimbang 'Suk'.
“Iya ih, bawel amat dah. Apaan?” tanyanya tak sabar.
Wajah Hyunsuk terlihat menimang terlebih dahulu pertanyaan yang ingin ia katakan pada Guanlin. Sampai Guanlin geram sendiri melihatnya, jika Hyunsuk terlalu lama berpikir seperti itu, maka waktu tidurnya pun akan semakin terbuang percuma. Padahal dia belum menikmati tidurnya dengan maksimal.
“Apaan bawel? Lama amat mikirnya!” ujar Guanlin akhirnya, geram menunggu Hyunsuk yang terlalu lama.
Yang di tanya mendesis, masih bingung ingin bertanya apa tidak.
“Jadi nanya nggak sih? Gue tinggal tidur nih.”
“Iya ih, ini mau nanya.”
“Kenapa lama?”
“Sabar napa. Gue lagi mikir.”
“Kelamaan mikir lo!”
“Iya iya.”
Meski obrolan mereka terlihat seperti berdebat dengan suara nyaring, nyatanya mereka hanya berbicara sambil berbisik. Karena tempat mereka sekarang adalah perpustakaan, keduanya tidak mau di depak keluar karena membuat keributan.
“Lo kenal Yonghee nggak?” tanya Hyunsuk akhirnya.
Guanlin rasanya ingin mengunyah buku yang tadi di baca Hyunsuk dan berlari keluar menuju lapangan lalu berlari mengelilingi lapangan sambil meneriakkan nama Hyunsuk. Demi apapun, di atas kepalanya seperti ada gunung imajiner yang meledak. Hyunsuk hanya ingin menanyakan itu tapi kenapa perlu berpikir terlalu lama.
“Gue boleh nonjok lo nggak kalo kita sudah keluar perpustakaan?”
Dahi Hyunsuk berkerut bingung dengan bibir yang sedikit mengerucut maju, tanda tak mengerti, “kenapa deh lo mau nonjok gue?”
“Ya elo mau nanya itu doang ngabisin banyak waktu mikir yang artinya ngebuang banyak waktu tidur gue!” kata Guanlin kesal, dengan mengatakan setiap katanya penuh penekanan sambil menggeretakkan giginya.
“Ya maaf.. yaudah, lo kenal Yonghee nggak?” ulang Hyunsuk.
Sebelum menjawab, Guanlin menghembuskan nafasnya perlahan, mencoba menguapkan rasa kesalnya pada Hyunsuk, “iya, gue cuman tau lebih tepatnya, bukan kenal. Dia anak kelas 11-A. Kenapa lo nanyain dia?”
“Nggak papa, cuman mau nanya aja.”
“Ketemu dimana lo sama dia? Kerjaan lo kan kalo nggak di kelas, perpus atau di ruang konseling. Kok bisa ketemu dia?”
“Gue sering liat dia di samping mesin minuman di dekat ruang konseling.”
Sekarang giliran Guanlin yang memperlihatkan wajah bingungnya, “ngapain dah? Kok bisa ketemu dia disana?”
Hyunsuk mengangkat kedua bahunya, lalu menggelengkan kepalanya, “Nggak tau. Soalnya setiap gue beli minuman habis dari ruang konseling, anak yang namanya Yonghee itu selalu tidur di kursi yang ada di samping mesin minuman.”
“Udah, lo nggak usah deketin dia. Ntar lo dapat masalah. Gue tau mami papi lo kerja di bidang hukum. Tapi gue ingatin sekali lagi kepada saudara Im Hyunsuk. Nggak usah berurusan sama dia.”
Dahi Hyunsuk kembali mengkerut, “kenapa? Dia preman gitu?”
Guanlin menepuk dahinya sendiri, kenapa temannya ini benar-benar polos? Atau temannya ini terlalu tidak tau tentang kehidupan sekolah? Guanlin rasanya ingin ikut resign juga menjadi sahabat Hyunsuk satu-satunya.
“Lo kenapa mikirnya dia preman dah?”
“Ya karena mukanya dia suka luka-luka gitu, kadang bibirnya bedarah, kadang ada lebam, kadang campuran dari semuanya. Ya kalo bukan preman apaan dong?”
Ya Tuhan, sahabat Guanlin ini terlalu polos akan pandangan yang ia lihat dan menjadi tidak masuk akal dengan pemikirannya.
“Lo ganteng terus pinter di banyak pelajaran. Tapi kok tentang kenyataan lo bodoh banget sih? Gemes gue!”
Hyunsuk meringis, melihat Guanlin menggaruk-garuk udara ke arahnya, “ya terus apaan? Kan lo bisa jelasin ke gue.”
“Ya Tuhan..”
“Eh, tapi mukanya muka anak baik-baik kok. Masa dia preman sih?”
Astaga, Guanlin semakin tersenyum gemas melihat kepolosan sahabat bongsornya yang satu ini.
“Menurut anda gimana wahai saudara Im Hyunsuk?”
“Dia preman tapi punya muka malaikat,” jawab Hyunsuk polos.
“Gue capek kesel sama lo, beneran.”
“Yaudah, makanya jelasin!”
Guanlin menghembuskan nafasnya kembali sambil memejamkan mata dan menyenderkan kepalanya ke dinding, berharap pikirannya lebih dingin dari sebelumnya karena kelakuan Hyunsuk dan semua pertanyaan Hyunsuk padanya. Kemudian membuka matanya kembali, menoleh kearah Hyunsuk yang masih memandangnya menunggu jawaban.
“Gini. Pertama, dia bukan preman. Kedua, dia bukan preman berwajah malaikat. Ketiga, tolong lo ngotak dikit tentang segala kebenaran yang ada di dunia ini, tolong lihat dari segala sudut pandang kemungkinan kayak pelajaran matematika yang sering lo itung. Matematika punya banyak cara kan untuk melihat segala kemungkinan untuk mencari jawaban untuk satu soal?”
Gue jadi ikutan ngawur dah, pikir Guanlin.
“Udah, lupain tentang matematika. Gini, dia itu korban perisakan wahai saudara Im Hyunsuk yang terhormat, bukan preman berwajah malaikat. Dan dia, korban perisakan gengnya Younghoon anak kelas 11-B, yang kebetulan Younghoon ini adalah anak dari pemilik yayasan sekolah kita. Lo sudah pasti nggak tau Younghoon yang mana. Karena anak kelas kita aja lo nggak pernah hapal, lo cuman hapalnya gue. Jadi, lo nggak usah coba temanan sama yang namanya Yonghee itu. Lo jauhin aja dah, lagian selama ini nggak ada yang berani bantuin itu anak kalopun si Younghoon ngerisak di depan puluhan bahkan ratusan pasang mata anak-anak di sekolah kita. Jadi intinya gitu, jangan terlibat dengan apapun yang berhubungan dengan Younghoon. Lo cukup belajar yang rajin, pinter-pinter, fokus sampe lulus dari sini.”
“Kenapa dia bisa di risak?”
Sebenarnya Guanlin malas ingin menjawab pertanyaan Hyunsuk, ia ingin segera tidur, “lo bisa nggak sih nggak usah nanya lagi, gue ngantuk.”
“Gue tanya karena gue nggak ngerti. Dia penerima beasiswa? Kayaknya yang nerima beasiswa nggak gitu deh disini.”
Guanlin menggelengkan kepalanya, karena ia memang tidak tau tentang ini, “gue nggak tau alasannya apa dan kenapa. Yang pasti, Yonghee itu bukan penerima beasiswa karena emaknya itu pemilik brand pakaian terkenal -gue tau ini karena emak gue langganan disana. Dan babenya itu pilot maskapai besar. Gue nggak ngerti tentang alasan Younghoon ngelakuin itu. Kalo mau, lo bisa tanya sendiri ke orangnya.”
“Yonghee anak berada gitu. Kenapa coba? Yaudah, ntar gue tanya,” ucap Hyunsuk dengan polosnya.
Guanlin memasang wajah yang di buat-buat seakan ingin menangis, “nggak, gue becanda aja astaga. Kalimat terakhir gue tadi itu cuman bercanda. Gue lupa kalo lo orangnya gampang percayaan.”
Hyunsuk tersenyum, “ya nggak lah, gue juga nggak tau yang mana orangnya. Lagian gue kan nggak suka repot.”
Guanlin bisa bernafas lega, ia tersenyum, “yaudah, gue tidur yak. Waktunya tinggal dikit nih gara-gara lo. Ntar bangunin yak.”
“Hmm..” Hyunsuk mengangguk-ngangguk meski Guanlin sudah tak bisa melihatnya karena anak itu sudah memejamkan matanya terlebih dulu.
Hyunsuk sebenarnya penasaran, kenapa Yonghee bisa menjadi korban perisakan. Apakah sekarang bukan jamannya lagi merisak anak yang menerima beasiswa mengingat sekolah mereka adalah salah satu sekolah elit? Apakah perisakan sudah tidak seperti di drama-drama yang sering di tonton maminya? Atau apakah alasan perisakan sudah berbeda sekarang, tidak seperti kasus-kasus perisakan yang di kerjakan kedua orang tuanya?-----------🌱
Just enjoy for reading this book 🙆
Thank you 🙇♀️
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] Strange Place || CIX
FanficReturn to the beginning To the days of innocence - Yonghee Rated : 15+ Warn : Karena mengandung kekerasan, banyak kata-kata kasar, dan lainnya yang berpotensi membuat tidak nyaman dan trigger. Harap kebijakan dari para pembaca. Terima kasih 🙏