💚43

9.8K 1.2K 192
                                    

Seminggu sudah berlalu. Selama seminggu ini, Jaemin bersikap dingin, ia tak seperti dulu yang selalu merespon teman - temannya, bahkan sahabat terdekatnya. Ia hanya membalas seadanya, jika tak ada yang berbicara padanya, ia juga tak bicara.

Jaemin saat ini tinggal di rumah Jeno. Ia tak tahu harus kemana, karena memang Jeno sudah seperti kakaknya sendiri, sudah berteman sejak mereka masih mengompol, bahkan hingga sekarang.

Ibunya? Jaemin tak tahu kapan saat ia sedang membeli minum di mini market dan ibunya menunggu di luar. Namun saat ia keluar ibunya tak ada. Tentu Jaemin panik, khawatir. Ia berlari kesana kemari, namun tak dapat melihat ibunya.

Tapi, beberapa jam setelah ia menyerah sambil duduk didalam mobil dengan wajah yang sudah pasrah, ponselnya bergetar. Dan itu dari ibunya sendiri.

Ibunya mengatakan berada di rumah, dan juga beliau baik - baik saja.

Meskipun sebenarnya Jaemin sangat ingin ibunya ikut bersamanya, tapi tak mungkin juga. Jaemin tak mau ibunya menumpang seperti ini.

"Jaemin?"

Sang pemilik nama menoleh, mendapatkan Jisa yang membawa secangkir kopi pahit favoritnya.

"jangan melamun terus, ga baik tau banyak pikiran."

Setelah Jisa menaruh cangkir berisi kopi itu, ia duduk disamping Jaemin. Menatap taman yang tidak begitu luas dibelakang halaman rumahnya, Jisa kini menatap Jaemin dari samping.

"lo sadar ga sih, kalau temen - temen lo itu khawatir liat lo begini?"

Jaemin tak menjawab. Ekspresi wajahnya tetap datar.

"terlebih Jeno, dia paling khawatir sama lo. Waktu lo cerita sama dia kalau, gimana sikap ayah lo sama lo sendiri, dia paling ga nyangka kan? Lo sendiri lihat, gimana Jeno galaknya yang pingin mukul ayah lo juga."

Jisa berhenti sejenak.

"gue aja, sempet cemburu sama lo karena saking Jenonya yang kelewat kha—"

"ngaco lo."

Kalimatnya terpotong. Jisa berdehem, wanita ini tersenyum. "ya gitu lah intinya. Lo masih galau terus soalnya. Gue kan cuma mau ngobrol. Anak gue aja ikut lo kacangin, kasian Jeni."

Jaemin melirik pada Jisa sekilas. Memang benar, bahkan hingga balita berumur satu setengah tahun itu ikut ia abaikan. Ah Jaemin kacau.

"yaudah deh, gue balik. Nanti Jeni bangun, ribet lagi gue nidurinnya."

Kepergian Jisa, Jaemin langsung bersandar pada kursi dan mengadahkan kepalanya keatas. Memejamkan matanya, dan ia sekarang membayangkan wajah Felicia yang tersenyum padanya, dan mengelus kepalanya.

Ini sungguh, terasa nyata.

"Fel.. Gue kangen sama lo. Rasanya mau mati."

.

"Jaemin udah seminggu loh gamasuk kuliah, tu anak gimana sekarang?" tanya Nancy yang terlihat khawatir.

Jeno menggeleng. "masih sama."

Siyeon terlihat lesu. Ia juga khawatir pada Jaemin. Dejun yang berada disebelah gadisnya sangat peka terhadap perasaan Siyeon yang masih peduli pada Jaemin.

Oke Dejun, Siyeon hanya khawatir karena Jaemin adalah temannya. Tidak lebih lagi.

"kita, gabisa ke rumah lo Jen? Jenguk Jaemin." ungkap Somi.

"lo aja lihat sendiri gimana kita dikacangin waktu lusa. Udahlah, Jaemin perlu waktu aja. Gausah diganggu." ucap Renjun yang langsung bangkit.

"kemana?" tanya Haechan.

[2]I Love You 3000; forever | Na Jaemin✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang