Bab 2

2.3K 97 4
                                    

Ghana berpamitan pulang setelah menenggak habis sirup rasa melon dicampur air es yang disuguhkan oleh Ibu. Tak banyak percakapan seperti biasanya.

Hanya sesekali Ayah melempar topik seputar pekerjaan atau sindiran kapan kami segera menikah. Jika biasanya Ghana sangat antusias bersemangat membahas pernikahan, kali ini dia lebih banyak menjawab, terserah Nasya saja.

Setelah Ghana pulang, aku langsung ke dapur. Mencium aroma ikan asin goreng yang menguar menggugah selera. Tepat sekali, Ibu nampak berjingkat-jingkat saat ikan asin itu menari di atas wajan, lalu saat melihatku datang sedikit mendorong tubuhku agar menjauh.

Tak jauh dari kompor, kulihat satu panci bubur Manado dan sambal. Ibu memang selalu bisa membuatku meneguk saliva merasakan lapar yang tiba-tiba.

"Makan, Sya. Panggil Ayah dan juga Rosa untuk makan."

Aku langsung bergegas menggedor pintu kamar Rosa, adikku yang masih SMA. Saat kubuka kamarnya, dia sedang memakai headset sambil mengerjakan tugas Matematika.

Kutepuk bahunya lalu dia sedikit terkejut, lalu menyeringai. Hidungnya kembang kempis karena saat pintu kamar kubuka, aroma ikan asin langsung menyerbu ke dalam kamarnya.

"Asik. Ibu masak enak kayaknya," ucap Rosa tanpa menungguku mengatakan sesuatu. Dia langsung bergegas ke dapur, membantu Ibu menyiapkan peralatan makan di atas meja.

Lalu aku memanggil Ayah. Beliau nampak mengulum senyum melihatku nyaris tanpa tersenyum sedikitpun. Tidak cemberut namun juga tanpa tawa seperti biasa.

"I know you so well, " kata Ayah sambil menyipitkan matanya ke arahku.

"I'm fine, Dad."

Kami berempat berkumpul di meja makan, menyantap bubur Manado serta pelengkap dengan lahap. Berkali-kali kami nambah, membuat panci yang tadi penuh mendadak tersisa keraknya saja.

***

Malam harinya sesudah sholat Magrib, kudengar kegaduhan di teras rumah. Masih mengenakan mukena, kubuka pintu kamar dan betapa terkejutnya mendapati Miranti dan Fani sudah menyeret koper berukuran kecil di balik pintu.

"Eh, kalian ... kok?" Aku mengacungkan telunjuk ke arah mereka tapi Miranti langsung saja menerobos masuk ke kamarku.

"Rumah gua sama rumah dia mati lampu, gila nggak tuh. Lo lihat aja nih kutek baru setengah jalan, nih anak lagi. Tadi lo siram kan sebelum kita ke sini, awas lo ninggalin warisan sisa pencernaan kagak disiram." Miranti langsung membongkar isi kopernya, begitu pula Fani.

"Ya gua siram lah, Mir. Lo kira gua sebaik itu ninggalin warisan buat lo. Ya kagaklah," balas Fani sambil terkikik.

Semua atribut serba hitam berjajar di atas ranjang. Gigi taring palsu, kuku palsu, jubah penyihir semua yang kulihat sangat total jika hanya ingin menghadiri surprise party.

Bahkan ada tongkat portabel yang ujungnya kepala ular dengan lidah warna merah menjulur. Mereka mulai saling mendandani satu sama lain, sedangkan aku lebih pilih menunggu karena diantara mereka hanya diriku yang payah soal penampilan.

"Nih lo pake coba, Sya." Fani menyodorkan bando besar yang ada sepasang tanduk warna hitam melingkar mengerikan.

"Nih apaan?" Aku memasangnya di kepala dan rasanya sedikit berat.

"Maleficent. Karena orang jahat terbentuk dari orang baik yang disakiti," sergah Miranti sambil mengerjabkan mata.

"Lo disakiti siapa, Sya?" tanya Fani sambil merapikan lukisan ceceran darah di daerah bibirnya. Dia berdandan ala-ala Vampire.

"Nggak kok, Fan. Itu khayalannya Miranti aja," sahutku dengan cemas sambil melotot ke arah Mira.

Wajahnya dibuat pucat dengan cipratan darah di seputaran bibirnya. Mengerikan apalagi dia mengenakan softlens putih semua di bola matanya. Meninggalkan setitik saja warna hitam di bagian tengahnya.

Kamar KostTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang