Pernikahan Heri dan Nasya akhirnya digelar meski tidak sesuai rencana awal, di sebuah gedung yang letaknya lumayan jauh dari rumah.Pernikahan itu digelar di rumah Nasya dengan pertimbangan agar acara bisa digelar hingga malam hari. Keluarga besar Ayah dan Ibunya Nasya dari kampung kebetulan banyak orang yang sudah tua, jadi ingin bersantai tanpa harus diburu waktu.
Pihak keluarga Heri juga tidak keberatan, hanya saja Heri ingin agar sesudah menikah, mereka melewatkan dua hari di tempat yang tenang. Sebuah kamar di hotel berbintang.
Pemuda itu berdalih ingin merasakan pacaran berdua dengan pencahayaan remang-remang dalam status halal.
"Sya, bisa nggak mulai dari prosesi awal banget pas pengajian, siraman, sampai menikah pakai kerudung?" pinta Heri saat terakhir mereka bertemu.
Pemuda itu menunduk dan menunggu jawaban dari Nasya. Saat itu hari terakhir sebelum serangkaian acara menjelang pernikahan digelar dan Heri tidak ingin, di foto-foto pernikahan mereka, Nasya belum menutup aurat.
"Aku cuma nggak mau foto-foto bahagia kita yang justru malah menjadi dosa jariah, Sya. Setiap orang bisa memandangmu tanpa polos tanpa ...."
"Aku tahu. Mas, aku memang sudah berniat begitu. Belajar menutup aurat saat kita menikah. Aku paham kok."
Heri mengulum bibirnya sambil melihat ponsel, memeriksa beberapa pesan masuk seputar pekerjaan meskipun dia sudah tidak konsentrasi lagi dengan urusan kantornya.
Sebelum pernikahan itu digelar, setiap malamnya Heri selalu sholat malam agar Allah selalu membimbing, memberkahi, meridhoi pernikahannya dan juga segera memberi mereka berdua keturunan.
"Maaf ya, Sya. Aku tahu kamu belum siap tapi semua itu untuk kebaikanmu."
"Kebaikan kita, Mas."
Nasya mengangguk. Memahami bahwa pria di hadapannya berusaha membimbing dirinya penuh kasih sayang serta kelembutan. Heri juga tidak pernah memaksakan apapun, bahkan idenya untuk melewatkan malam pertama, sangat sulit diutarakan olehnya karena merasa tidak enak.
"Kita habis acara, malamnya nggak usah tidur di rumah yuk, Sya?"
"Ha? Jadi tidur di mana?" Nasya menggaruk hidungnya.
"Engh ... ya, di tempat lain."
"Contohnya?"
"Di hotel, mungkin."
Nasya mengulum senyum dengan wajah bersemu. Pemuda yang sebentar lagi akan menjadi suaminya itu sedang merencanakan sesuatu, namun begitu sulit untuk mengatakannya. Wajar saja, perkenalan mereka belum terlalu lama sehingga Heri masih merasa grogi menbahas hal pribadi dengan Nasya.
"Aku ngomongnya gimana sama Ibu Bapak, kenapa kita malah ke hotel padahal di rumah banyak tamu." Nasya menggigit bibirnya.
"Mereka pasti ngerti kok kalau kita ... mau ...."
Mendadak tangan dan kaki Nasya dingin sehingga cepat-cepat dia membungkam mulut Heri sambil tertawa. Mereka masih belum bisa membayangkan bagaimana akan menjalani sebuah rumah tangga yang melewatkan proses pacaran.
Akad nikah berjalan sangat lancar tanpa hambatan pagi itu. Heri memberikan mahar logam mulia seberat lima puluh gram dan sebidang tanah yang dibeli oleh dirinya sendiri. Pemuda itu masih beranggapan, Nasya sepadan untuk mendapatkan semua hasil kerja kerasnya selama ini dan dia bangga sebagai seorang laki-laki bisa memberikan itu semua.
"Nak Heri, titip anak Ayah ya. Jangan disakiti, apalagi dikasari. Dia anak yang baik meskipun gembeng dan sering ndablek. Tolong dibimbing ya, Nak." Ayah berbisik ke telinga menantunya saat kedua pengantin melakukan tradisi sungkeman.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kamar Kost
RomanceAda pepatah bijak mengatakan, jangan pernah menceritakan kelebihan, kebaikan pasangan kalian pada orang lain. Karena itu sama halnya membuka jalan dan memancing penasaran bagi orang lain untuk masuk ke dalam hubungan sebagai pihak ketiga. Begitu pu...