Perlahan aku digandeng oleh Heri menyapa kedua orang tuanya. Kucium tangan Bapak dan Ibunya Heri kemudian duduk di sebelah Ibunya.“Alhamdulillah, dapat anak cantik.” ucap Ibunya Heri entah memuji atau menyindir make-upku yang warna lipsticknya seperti baru menyesap darah manusia.
Belum lagi bulu mata palsu yang lancip bagaikan ujung mata pensil yang baru diraut.
"Maaf, Bu. Saya tidak tahu kalau Mas Heri mau melamar malam ini," ucapku merendah tersesal.
Duh.
Heri nampak bangga melihatku yang canggung tak karuan. Aku sungguh gugup saat Ibunya Heri mengusap pipiku dengan lembut dan penuh kasih sayang.
"Belajar berkerudung ya, Nak. Pelan-pelan saja, yang pendek dulu. Asal menutupi dada." Ibunya Heri membacakan beberapa ceramah singkat tentang siapa saja yang ikut menanggung dosa jika seorang wanita yang sudah baligh tak mau menutup aurat.
"Nasya sudah saya beritahu, Insya Allah pelan-pelan ya, Sayang?" Heri menimpali dengan nada bicara sungguh bijaksana.
Ada apa dengan dia sebenarnya. Heri memanggilku Sayang, oh ya ampun.
Tiba-tiba saja dia terkejut dengan getar ponsel dari sakunya. Dengan wajah gusar, Heri meninggalkan meja kami untuk menjawab panggilan.
"Kenapa tidak pernah main ke rumah, Nduk?" Ibunya Heri lagi-lagi melihatku dengan sorot mata menenggelamkan. Sungguh. Rasanya mentalku down setelah beliau menasehatiku agar belajar menutup aurat.
"Saya bekerja, Bu. Kadang lembur sampai malam."
"Oh sebenarnya wanita bekerja itu bagus asalkan tidak lupa kodratnya saja. Keluarga tetap harus diprioritaskan. Ingat, ketika menikah, surganya istri ada pada ridho suami."
Aku manggut-manggut. Baiklah, aku sangat tersentuh kali ini. Kata-kata Ibunya Heri sudah memberiku pandangan agar menasehati Nela supaya cepat-cepat merubah sikap dan sifatnya.
Heri menyentuh lenganku, mengajakku bicara berdua di tempat lain. Aku menunduk sebelum meninggalkan meja, berpamitan pada mereka yang tersisa.
"Ghana ... " Heri menggantung ucapan sambil mengusap mulutnya.
"Ghana? Kenapa?" Kulihat Fani dan Miranti sudah menenteng tas untuk pergi dari tempat itu.
"Lo ikut gua apa nunggu Andreas, Fan?" Miranti memeriksa isi tasnya sebelum pergi, kemudian meneguk segelas air minum sambil mengangkat sebelah alisnya ke arah kami berdua.
"Gua sama Andreas aja ya, Mir. Lo nggak nyasar kan?"
"Nyasar? Ya nggak lah."
Heri mencengkeram kedua lenganku dengan erat sambil menunduk. Wajahnya menyapu lantai di bawah kakiku seakan berat mengatakan sesuatu.
"Ghana kecelakaan, Sya."
Apa.
Kecelakaan.
Aku terkejut bukan kepalang, mendengar Ghana kecelakaan, refleks kaki ini melangkah terburu untuk mengikuti kedua sahabatku yang lain.
Baru selangkah, Heri mencekal pergelangan tanganku. Menahanku untuk tetap tinggal hingga acara usai.
"Sya, sabar ya. Nanti kita sama-sama ke sana. Kedua orang tua dan keluargaku masih di sini. Tidak enak kalau kita pergi begitu saja." Heri dengan lembut berusaha memberiku pengertian.
Aku menurut saja dengan kata-kata Heri meskipun ingin sekali melihat kondisi Ghana. Memikirkan hingga setengah mati apa yang terjadi dengan laki-laki itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kamar Kost
RomanceAda pepatah bijak mengatakan, jangan pernah menceritakan kelebihan, kebaikan pasangan kalian pada orang lain. Karena itu sama halnya membuka jalan dan memancing penasaran bagi orang lain untuk masuk ke dalam hubungan sebagai pihak ketiga. Begitu pu...