Bab 41

650 58 4
                                    

Nasya akhirnya dipindahkan perawatanya. Kondisinya tidak terlalu mengkhawatirkan bila dibandingkan Ghana. Pemuda malang itu mengalami luka bakar hampir di sekujur tubuhnya.

"Satu-satunya jalan, dia harus menjalani operasi plastik tapi tidak bisa sekarang. Nanti tunggu kondisinya membaik." Dokter memberi penjelasan tentang keadaan Ghana kepada Tuan dan Nyonya Hermas.

"Tapi apakah ini akan mempengaruhi organ-organ vitalnya, Dok?" Nyonya Hermas sudah berkaca-kaca membayangkan reaksi putranya apabila tersadar nantinya.

"Organ vital? Reproduksi maksudnya?" Dokter mengambil beberapa catatan, lalu tersenyum miring.

"Aman kok, masih bisa ngasih cucu dua lusin."

Nyonya Hermas merasa gumpalan yang bercokol di hatinya beberapa hari belakangan ini mulai memudar. Apalagi saat dokter menjelaskan, Ghana termasuk memiliki fisik yang sangat kuat hingga mampu bertahan sejauh itu.

Wanita cantik yang memiliki banyak sekali kenalan tersebar di luar negeri itu sudah meminta sekertaris pribadinya untuk menghubungi sebuah klinik estetika di kota Bangkok dan Korea Selatan.

Sebagai seorang ibu, tentu Nyonya Hermas tidak akan pernah membiarkan putra kesayangannya itu menderita karena malu seumur hidup gara-gara kekurangan pada fisiknya. Tak peduli seberapa besar kesalahan yang telah diperbuat oleh Ghana, selalu ada bantuan terbaik dari seorang ibu untuk anaknya.

"Nasya ... Mama sudah lihat keadaan si Nasya? Papa mau ketemu Bapaknya. Kasihan waktu itu kita nggak sempat ngobrol-ngobrol, pada sibuk masing-masing karena anak-anak hilang. Syukurlah sudah diketemukan." Tuan Hermas mengambil ponsel, menekan nomer Ayahnya Nasya.

"Buat apa Papa bicara dengan laki-laki itu? Apa kontribusinya buat anak kita?" Nyonya Hermas menjawab sinis.

"Kok pertanyaan Mama sinis begitu sih, anaknya juga jadi korban loh. Dia juga tertekan dan sedih banget waktu Nasya hilang. Lagian kita sebelumnya pernah ke rumah mereka, kan! Mama nggak ingat?"

Nyonya Hermas memalingkan wajah. Mengingat kembali saat Ayahnya Nasya tiba di rumah mereka dengan Heri, yang diperkenalkan sebagai calon menantu oleh Ayahnya Nasya.

"Perempuan apa yang menerima tangan laki-laki lain padahal dia sudah pernah dipinang oleh keluarga kita?" Suara Nyonya Hermas bergetar, menahan amarah di dadanya.

"Tapi pada waktu itu mereka bilang masih pikir-pikir, mungkin ternyata keduanya tidak cocok. Kitakan nggak tahu bagaimana hubungan anak-anak yang sebenarnya." Tuan Hermas mengulang memanggil Ayahnya Nasya sambil menutup pintu mobil.

"Assallamu'alaikum, Pak. Ini Papanya Ghana."

***

Heri melihat kalender di atas meja kerjanya kemudian menghitung jumlah hari yang tersisa untuk pernikahan mereka.

Pihak percetakan juga sudah mengabarkan bahwa undangan sudah bisa diambil. Sedangkan keadaan Nasya masih belum bisa dikatakan pulih total. Praktis, Heri harus mengurusnya seorang diri setidaknya sampai Nasya keluar dari rumah sakit.

[Bos, ngopi yuk.] Pesan singkat berisi ajakan dari Andreas.

[Kapan, eh. Lo nggak boleh keluyuran. Mau nikah juga]

[Kok keluyuran sih. Ngopi, Her. Pusing kepala gue.]

[Sabar, Ndre. Bentar lagi kok.]

[Ha?]

Heri tersenyum melihat Andreas mengirimkan stiker bergambar adegan sedikit vulgar tentang laki-laki dan perempuan.

Mereka sepakat untuk bertemu di kafe rumah sakit tempat Nasya dirawat malam harinya.

Kamar KostTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang