Tuan Hermas meminta putranya untuk duduk, menjelaskan permasalahan apa lagi yang sedang dia perbuat."Kamu harus bertanggung jawab!" sentak pria berperawakan tinggi besar itu. Bukan hanya Ghana, Nyonya Hermas juga terkejut dengan kata-kata suaminya.
"Dad!" Ghana menghentakkan kaki dengan keras, "ini bukan masalah tanggung jawab. Ghana sudah bertanggung jawab selama ini, memberikan banyak sekali uang pada Nela."
Nyonya Hermas berdeham.
"Uang?" tanya Tuan Hermas dengan nada bingung.
"Uang!" Ghana mengulang kata dengan intonasi berbeda.
"Uang apa?" Tuan Hermas berdiri dengan kedua tangan di pinggang, "jangan aneh-aneh kau, Ghana."
Nyonya Hermas berdiri di tengah-tengah dua pria yang terlihat mulai sama-sama tersulut emosi. Baik Ghana maupun Tuan Hermas memiliki pemikiran berbeda tentang definisi tanggung jawab yang sesungguhnya.
Berbeda pula pemikiran Nyonya Hermas tentang bagaimana menyelesaikan permasalahan seperti ini. Wanita lulusan sekolah luar negeri itu memandang sikap Ghana masih dibatas kewajaran.
Ghana masih muda, tampan dan juga berasal dari keluarga kaya, tidak ada yang salah jika wanita tergila-gila padanya. Nyonya Hermas bahkan tak segan membela putra kesayangannya itu setiap kali Ghana terlibat masalah di tempat hiburan malam dengan menggelontorkan banyak uang.
"Pa, ini hanya masalah anak-anak. Kita tidak tahu dengan siapa saja perempuan itu berhubungan. Bisa saja Ghana hanya korban." Nyonya Hermas mengusap dada suaminya.
"Korban kamu bilang?" Tuan Hermas berbalik menatap istrinya dengan sorot mata benci.
"Kalau ini terjadi kepada anak kita, Jihan. Apa kau juga akan mengatakan hal yang sama?"
"Jihan wanita bermoral. Lagi pula dia kita kirim di sekolah asrama yang bagus. Jangan menyamakan dua kasus yang tidak sama." Nyonya Hermas balik menatap tegas dua manik mata suaminya.
Hening.
Masing-masing dari ketiganya saling menahan diri untuk tidak melanjutkan pembicaraan.
***
Pagi itu hari pertama Nasya kembali bekerja setelah izin pasca musibah yang menimpa dirinya. Gadis itu begitu bersemangat sampai-sampai lupa bahwa untuk sementara waktu belum bisa berkendara seorang diri.
"Biar Ayah yang mengantar," ucap Ayah saat menyantap sepiring nasi goreng di meja makan.
"Nggak usah. Pakai ojek online saja." Nasya terlihat bolak-balik memeriksa ponselnya.
"Oh! Udah pesan ojeknya?" Ibu ikut menimpali, "pasti drivernya namanya Heri, ya?"
Nasya terdiam sesaat, kemudian melanjutkan mengunyah makanan. Meja makan pagi itu terlihat lebih lengang dari biasanya karena Ayah sedang sakit gigi sedangkan ibu terkena sariawan.
Udara pagi sudah mulai terasa hangat, menandakan bahwa matahari meninggi dan Nasya harus segera berangkat bekerja.
Malam sebelumnya, Heri sudah memberitahukan bahwa dia harus ke kantor pagi-pagi sekali karena ada pekerjaan sebelum pukul delapan.
"Jam enam lewat sudah mesti di ruangan. Banyak unit mau berangkat, jadi spare part keluar juga harus diawasi," ucap Heri sebelum pulang. Membuat bahu Nasya melorot dengan sorot mata sendu.
"Iya udah nggak apa-apa. Aku bisa kerja sama-sama Ayah." Nasya memutuskan untuk tidak mendebat lagi.
Ibu telah menasehati dirinya agar tidak bertingkah kekanak-kanakan lagi, kurang pantas bagi dua orang dewasa yang sedang merancang sebuah pernikahan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kamar Kost
RomanceAda pepatah bijak mengatakan, jangan pernah menceritakan kelebihan, kebaikan pasangan kalian pada orang lain. Karena itu sama halnya membuka jalan dan memancing penasaran bagi orang lain untuk masuk ke dalam hubungan sebagai pihak ketiga. Begitu pu...