Part 36

647 65 13
                                    

Heri terkejut membaca pesan dari Nasya. Bukan pesan cinta, melainkan satu informasi yang mengatakan bahwa dia akan pergi untuk makan siang bersama Ghana.

Nasya juga menjelaskan perihal niatnya ingin membantu Ghana dari sebuah tuntutan tabrak lari, meski Heri tahu bagaimana kejadian yang sesungguhnya.

Kesalahan Heri adalah, dia tidak memberitahukan semua itu pada Nasya dari awal, bahwa pelaku yang menabrak mereka saat itu adalah Ghana. Dia juga tidak menjelaskan perihal kehadiran Ghana di rumah sakit untuk mengajaknya berdamai, yang akhirnya justru keduanya bertengkar hebat di sana.

Sesaat pikiran Heri kosong, entah harus menjawab bagaimana semua pesan-pesan dari kekasihnya. Satu-satunya yang terlintas hanya menelpon Nasya untuk berbicara secara langsung.

Nada sambung mulai terdengar, sekali. Tidak dijawab. Heri mengulanginya lagi sampai tiga kali, hasilnya juga sama.

"Sibuk ya?" Pemuda itu bicara sendiri dengan ponselnya, kemudian menelpon Ayah Nasya untuk meminta nomer telpon kantor tempat gadis itu bekerja.

"Mau apa, Nak Heri? Siang-siang bolong begini. Kalau mau nge-bucin, nanti malam saja." Ayahnya Nasya yang sedang bekerja, justru terlihat ingin menggoda calon menantunya.

"Engh ... Nasya, kayaknya dia butuh bantuan. Dari tadi mengirim pesan berantai," ucap Heri dengan nada ragu-ragu.

"Pesan berantai? Horor banget. Apa Ayah perlu lapor polisi, Nak? Ada apa sebenarnya?" Ayah mengernyit bingung.

Mau tak mau, Heri harus menceritakan segalanya dari awal. Bahwa ternyata pelaku tabrak lari yang menimpa dirinya dan Nasya beberapa waktu lalu adalah Ghana.

Heri juga meneruskan semua pesan-pesan dari Nasya termasuk saat gadis itu menjelaskan bahwa Ghana meminta bantuannya, agar bersedia di poto sebagai bukti bahwa Ghana telah melakukan upaya perdamaian dengan korban.

"Berani-beraninya dia menjebak anak saya. Tidak bisa dibiarkan. Saya harus segera menemui Nasya sekarang di kantornya." Heri meminta nomer telpon Bank tempat Nasya bekerja, untuk memastikan bahwa gadis itu dalam keadaan baik-baik saja di kantornya.

Heri langsung menghubungi nomer tersebut dan dijawab oleh operator. Menunggu beberapa saat hingga akhirnya didapatkan sebuah kepastian bahwa sudah tiga jam, sejak Nasya meninggalkan kantor dan belum juga kembali.

Pemuda itu mulai panik dan bertanya pada Andreas, apakah dia mengetahui keberadaan Ghana.

"Hah! Astaga kenapa dengan keluarga itu sebenarnya. Ibunya ... lalu anaknya, jangan-jangan sebentar lagi Bapaknya." Andreas bergumam sambil mengurut kening.

"Kali ini anaknya bawa cewek gue, Ndre. Dan nggak tahu ke mana dah. Lo kan sahabatnya." Heri sambil membereskan beberapa berkas penting di atas mejanya.

"Gue ... iy-iya gue sahabatnya, sahabat lo jugakan, gue suka bersahabat sama semua orang kok. Ehlah ngomong apaan sih ini. Jadi, gue mesti gimana nih?"

Heri menyambar kunci mobil pick up tua milik kantornya, yang berisi tumpukan sampah sisa hasil produksi di bak bagian belakang.

Melaju membelah kemacetan sore itu meskipun dia tidak yakin dengan arah dan tujuannya. Heri mencoba bertanya kepada Fani dan juga Miranti tentang keberadaan Nasya.

"Nasya pergi sama Ghana? Tanpa lo, Her! Wah ... cari gara-gara. Kenapa sih dia, ya ampun. Udah tahu Ghana ini suhunya orang gagal move on, malah. Ah ... Nasya ... Nasya. Iba gue sama otak lo kalau begini." Miranti yang tengah membaca kontrak-kontrak kerja di kantornya mendadak ikut merasakan kesal sekaligus cemas dengan nasib sahabatnya itu.

Heri menghentikan kendaraannya di sebuah masjid untuk menunaikan sholat Ashar sambil menenangkan diri. Kali ini, dia seperti menemukan jalan buntu. Ingin mencari tapi ke mana, baik nomer telpon Nasya dan Ghana sama-sama di luar jangkauan.

Kamar KostTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang