Bab 6

1.3K 94 9
                                    

Heri memberikan waktu dan kesempatan untuk mendengarkan Nela menangis di telpon. Dia tak menyela maupun berusaha menenangkannya.

Lebih tepatnya, kulihat Heri tak terlalu peduli hingga kucubit kulit punggung tangannya karena gemas. Dia malah asik menyesap kopi susu sambil menumpu dagunya dengan telapak tangan kiri.

"Apa sih cubit-cubit?" cicitnya sambil berbisik ke arahku.

"Kenapa dicuekih sih?" sergahku juga sambil berbisik.

Nela mulai melemah saat Heri tak terlalu menanggapi kekesalannya.

"Aku kan sudah bilang, malam itu sama Ghana sudah mau ke venue acara kita. Tapi kamu nggak percaya. Malah menyuruh Ghana menikahi aku, ya nggak bisa Mas. Aku sayangnya sama kamu."

"Tapi hamilnya sama Ghana?"

Aku tercengang mendengarnya. Tak cukup kenyataan bahwa Ghana telah bermain gila dengan Nela, mereka ternyata sudah sangat jauh berbuat dosa.

Astaghfirullah.

Hatiku hancur. Wajahku rasanya bagai terbakar atau tersiram air panas. Mengetahui Ghana berselingkuh dengan Nela saja membuatku seperti orang linglung apalagi, Nela sampai hamil.

Entah bagaimana bentuk wajahku yang jelas bibirku menganga dengan mata membulat.

"Aku hanya operasi kista, Mas. Kamu dapat gosip dari mana sih kalau aku hamil anaknya Ghana ? Itu bisa-bisanya kamu saja cocokologi. Jangan-jangan kamu yang selingkuh?"

"Nela ..."

"Kamu mau ninggalin aku kan, Bie? Kamu jangan cari-cari alasan. Datang ke rumah sakit cuma satu kali, nggak mau tanya apa-apa waktu di sini. Langsung nuduh begitu. Nasya yang bilang?"

"Nela ..."

"Jika masalahnya lamaran kemaren, aku akan bicara dengan orang tuamu, Bie. Mereka akan mengerti kalau ini musibah. Semua datangnya dari Tuhan, kan."

"Musibah keguguran setelah kamu berselingkuh dengan Ghana? Oh yang seperti itu musibah apa namanya? Terjangan hawa nafsu? Bertaubatlah, Nela."

Entah kenapa mendadak dadaku sesak. Sakit sekali. Mengetahui Ghana sudah berbuat zina terlalu jauh hingga membuat Nela mengandung, rasanya membuatku tak bisa menerima.

Kutinggalkan Heri yang masih nampak berdebat dengan Nela. Aku sedang marah dengan diriku sendiri dan juga Ghana. Sampai hati dia berbuat demikian rendahnya dengan Nela, pacar teman sekerjanya sendiri.

Sungguh gila.

Aku menangis keluar dari tempat itu, berjalan menyusuri paving menjauh entah mau kemana. Samar-samar kudengar suara Heri memanggilku.

"Sya ... Nasya ... Nasya."

Masa bodoh. Aku sedang tak ingin bersama siapapun saat ini. Langkah kaki membawaku terus menjauh meski kurasakan tetesan air hujan mulai jatuh satu-satu.

Biar saja hujan menyamarkan air mataku bahkan mencuci luka hati saat ini, aku tak terlalu peduli karena beberapa waktu yang lalu masih sering kurasakan rinduku pada Ghana.

Bodohnya aku.

Aku terus berjalan sambil memikirkan saat - saat terbaikku bersama Ghana. Bagaimana dia selalu melakukan hal-hal romantis dan kejutan-kejutan manis untuk mengungkapkan cintanya padaku.

Dia selalu berkata, yakin bahwa akulah tulang rusuknya yang hilang. Kami akan menikah suatu saat dan memiliki banyak sekali anak. Dia akan menua bersamaku, melihat pohon-pohon bersemi, berguguran, sambil bergandengan tangan.

Ghana, astaga. Aku hampir saja bisa memaafkan dia.

Aku hanya menangis sepanjang jalan dan tak ingin menoleh ke belakang. Sekarang aku tahu kenapa Heri menawarkan kebaikan dan seolah ingin memberiku harapan yang indah. Dia mungkin hanya kasihan melihatku.

Kamar KostTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang