Bab 15

967 98 12
                                    

Nela terlihat sangat terpukul, bersedih dan juga putus asa. Aku tahu karena pernah merasakan itu semua saat mendapati Ghana keluar dari kamar Nela. Hingga kini bahkan mereka tidak ada yang mengakuinya secara langsung.

"Oke saatnya kita bicara terbuka, terang benderang bagaimana hubungan ini. Sya, Nela, kita ke rumah Ghana nggak apa-apa?" Heri menatap mataku dengan tajam.

Nela hanya mengangguk dengan nada sesak menahan air mata. Kurasa, dia sudah tidak mampu lagi berkata apapun lagi.

Sedangkan Heri, mungkin dia sudah jengah dengan segala aksi kucing-kucingan selama ini. Heri mengajak serta Andreas sebagai juru damai jika terjadi keributan. Sedangkan kedua temanku, Fani dan Miranti turut menjadi sukarelawati.

"Aku pamit Ayah sama Ibu dulu," kataku kemudian berbalik meminta izin kepada Ayah.

"Selesaikan masalah kalian sampai tuntas. Ayah nggak mau nanti ada apa-apa di tengah jalan." Ayah membelai pucuk kepalaku, sedangkan Ibu mengangguk saat kulihat melintasi bahu Ayah.

Heri dan teman-temanku lainnya juga berpamitan satu persatu kepada kedua orang tuaku sebelum akhirnya kami semua masuk ke dalam tiga mobil terpisah.

Heri bersama Andreas, aku dengan Fani dan Miranti di mobil Nela. Kami iring-iringan menuju rumah Ghana.

Cuaca sudah gelap saat itu ditambah lagi malam Minggu, sungguh padat jalanan kami lalui. Beberapa sepeda motor menyalip di sela-sela mobil yang kami kendarai. Membuat Fani sesekali menekan klakson sambil menggerutu.

"Fan, ntar aku ngomong gimana ya pas di rumah Ghana?"

"Ya perlunya apa gitu, kalau perlunya diem ya silent aja, Sayang."

"Menurutmu, ini bakalan gimana, Fan?"

"Hhmm, gua percaya sama Heri sih, Sya. Dia tuh anaknya dewasa kok. Dia pasti bisa mengatasi ini semua. Entah ribut-ributnya, berantemnya, semua baik-baik saja kok."

Aku banyak membaca doa dalam hati untuk menenangkan diri sendiri. Rasanya sulit sekali membayangkan pertemuan kami semua saat Nela setengah frustasi.

Memasuki lingkungan perumahan Ghana, jantungku rasanya berdetak lebih kencang. Aku sungguh sangat takut. Reaksi apa kira-kira yang akan diberikan oleh Ghana melihat kehadiran kami malam itu.

Miranti dan Nela turun dari mobil terlebih dahulu, kulihat Nela mengusap wajahnya sedangkan Miranti terlihat begitu tenang bahkan cengengesan. Jahil sekali, ya ampun. Dia habis bicara apa dengan Nela sampai anak orang wajahnya sembab begitu.

Andreas maju lebih dulu untuk mengetuk pintu dan seorang wanita setengah baya tergopoh-gopoh menyambut kami semua.

"Silahkan menunggu di luar, saya akan beritahu Tuan muda dulu," ucap wanita itu sambil setengah membungkuk.

"Jangan lama-lama, Tuan Putri ini sudah mengantuk," balas Miranti sambil melipat tangan di dada.

Heri dan Andreas malah sibuk memberdebatkan seragam futsal yang akan mereka kenakan nanti, jika tidak salah, perdebatan mereka seputar letak penulisan nama. Andreas ingin agar di bagian punggungnya diberi nama sedangkan Heri ingin disematkan angka saja.

"Trus ntar kalau cewek-cewek jejeritan manggil kita, hai nomer Sembilan kiss dong," kata Andreas mengusap dagu berusaha memperjuangkan tuntutannya, dasar Pengacara.

"Ya itu lebih misterius, Ndre. Karena dengan nggak tahu nama kita, mereka akan melipir mencari tahu, nyamperin di ruang ganti buat tanya nama asli. Ya nggak?" Heri juga tak kalah bokis menanggapinya.

Fani terlihat mencebik mendengar percakapan kedua pria itu, sudah sering kali Andreas melakukan hal-hal yang membuat Fani kesal, sengaja membuat wanita tergila-gila secara terang –terangan. Satu-satunya hal yang membanggakan adalah Andreas tidak pernah bisa berbohong. Meskipun selalu berakhir dengan pertengkaran, Andreas selalu bingung kenapa Fani selalu marah jika ada wanita yang tertarik dengannya,"yang penting aku pilih kamu, Beb. Ya salah mereka kenapa suka sama pacar orang."

Kamar KostTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang