Bab 11

1K 79 18
                                    

Suasana menjadi kacau ketika Nela lagi-lagi mendaratkan tamparan keras di wajah Heri. Nela terlihat begitu histeris dan marah hingga mengguncang tubuh Heri dengan keras, namun Heri tetap bergeming.

Heri juga tidak terlihat mencoba menenangkan Nela meskipun kudengar sumpah serapah serta kata-kata kotor mulai di ucapkan oleh Nela.

Nela menatapku tajam setelah Heri menunjuk ke arahku. Laki-laki kelimis itu juga menoleh memandangiku lalu menggelengkan kepalanya dan berbisik, "cinta jaman sekarang rumit."

Nela berjalan ke arahku, keringat dingin membasahi seluruh tubuh ini. Rasanya aku ingin pingsan atau lari secepat-cepatnya entah kemana.

Saat jarak kami sudah dekat, Nela seperti mengkonfirmasi sesuatu melalui sorot matanya yang sayu. Agar aku mengangguk atau menggeleng namun ketika pandanganku melintasi bahunya, Heri seakan memintaku agar mengangguk.

"Sya, maaf ya. Kamu harus terseret dalam situasi hubungan ini. Nggak seharusnya aku membuatmu serba salah begini. Kita bersahabat sudah more than five years. I know you, Nasya."

Nela meraih tubuhku dan memeluk dengan erat, hingga dapat kurasa detak jantungnya yang memburu.

"Please tinggalkan Heri, Sya. Aku mohon," bisiknya sangat lirih. Saat wajahku bertumpu di bahunya, melihat Heri yang sedang berdiri mematung dengan wajah bingung.

Aku tidak punya jawaban yang tepat atas permohonan itu, segalanya terasa membingungkan entah itu dengan Nela maupun perasaanku sendiri namun saat dia memintaku meninggalkan Heri, rasanya hatiku sakit sekali.

Perasaan tidak enak itu berlanjut hingga aku dan Heri berada di dalam mobil menuju ke rumah. Tak banyak yang kami bicarakan, lebih tepatnya sama-sama menahan diri.

"Heri, apa menurutmu Nela masih menyukaimu? Berharap untuk kembali. Begitu." Aku mencoba mencairkan keadaan karena ternyata kami terjebak kemacetan yang panjang karena ada kecelakaan lalu lintas di depan.

"Ehem ... bukan urusanku lagi apapun yang dia rasakan, terserah saja."

"Memangnya boleh begitu?"

Heri menarik rem tangan lalu bersandar sambil melipat tangan di dada. Menunggu kendaraan yang tidak bergerak sedikitpun di depan mobil kami, bahkan beberapa nampak memilih mematikan mesin.

"Sya, kamu sedang ingin menyampaikan apa? Meminta aku kembali pada Nela?"

Heri menoleh sambil menamati wajahku dengan sorot mata sendu. Seketika hatiku luluh tiap kali dia mengulum bibirnya sambil berkedip. Sial. Dia ganteng sekali kalau sedang begitu.

"Sya. Kok bengong?"

"Oh, aku pikir tadi ada ... upil kering di wajahmu. Ternyata bukan."

"Mana? Coba ambilkan ... " Heri mendekatkan wajahnya. Semakin dekat.

Membuatku jadi gugup lalu mengambil bulu mata yang terjatuh di pipinya sebelah kiri.

"Ini .... "

"Oh ini namanya bulu mata. Bukan upil kering. Kamu ada-ada sih alasan pengen pegang-pegang. Padahal ngomong aja boleh kok," ledeknya sambil menggodaku.

Menyebalkan.

"Hubungan kita ini salah, Her. Kita akan melukai banyak orang jika begini." Aku fokus dengan obrolan seputar hubungan kami sebelum memutuskan untuk besok benar-benar kedua keluarga bertemu.

"Nasya, aku boleh tanya sesuatu nggak dan kamu harus jujur!"

"Oke. Janji. Aku jujur."

Bunyi klakson dari belakang membuyarkan obrolan kami karena ternyata kemacetan sedikit demi sedikit terurai perlahan.

Kamar KostTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang