Bab 7

1.2K 102 12
                                    


Ibu merangkul bahuku untuk masuk ke dalam rumah. Tubuh yang sudah basah karena gerimis membuat penampilan ini bak kucing lemas dengan rambut lepek tak karuan.

Ghana ternyata datang bersama orang tuanya untuk silaturahmi dengan keluargaku. Ayah menyambut tamu-tamunya dengan hangat dan juga bingung. Sekilas matanya berganti-gantian memperhatikanku lalu Ghana. Berpindah-pindah. Sesekali mengangkat alisnya seperti meminta satu penjelasan.

"Kenapa nggak bilang kalau Ghana kecelakaan, Nas? Kemaren katanya yang kecelakaan Nela. Kok jadi Ghana, apa mereka berdua yang tabrakan?" Ayah bertanya seperti sedang berkelakar.

Sungguh menggelikan. Sangat menggelikan.

Ghana dan Nela tabrakan, benar. Dari tabrakan beruntun itulah mereka ketagihan sampai-sampai Nela akhirnya mengandung anak Ghana. Tabrakan yang mengandung candu.

"Nasya sibuk, Pak. Tidak apa-apa." Ghana menimpali sambil menyentuh tanganku dan perlahan aku melepaskannya.

"Sebenarnya sudah lama kami ingin bersilaturahmi ke sini. Hanya saja beberapa pekerjaan membuat waktu kurang mengizinkan, maaf jika anak-anak kita akhirnya mempertemukan dalam keadaan begini," ucap Papanya Ghana.

Pria berpakaian koko warna biru dengan peci putih dan nampak sangat bijaksana. Senyumnya sangat teduh dan hangat, sama seperti Ayahku yang selalu menyenangkan jika sedang bersama keluarganya.

"Tidak apa-apa, Pak Nurman. Saya malah merasa nggak enak, karena Nasya nggak cerita kalau Ghana tertimpa musibah begini. Coba tahu mungkin saya bisa menjenguk ke rumah sakit."

"Oh nggak apa-apa, Pak. Nasya sudah datang kok beberapa kali. Waktu itu membawakan kue dan juga buah. Makasih ya, Sya." Ghana menoleh ke arahku sambil tersenyum aneh.

Bohong banget nih anak. Asli.

Ibuku menyajikan kue lapis Surabaya dan teh hangat yang dibuat dalam satu teko dengan beberapa cangkir kecil di sekelilingnya. Mereka nampak asyik mengobrol persoalan politik sambil sesekali berkelakar khas bapak-bapak.

Beberapa kali sudut mata ini merasa Ghana sedang menatapku dan ingin mengatakan sesuatu. Kemudian dia meminta izin kepada kedua orang tua kami untuk bisa bicara berdua di teras rumah.

Keadaan sangat canggung ketika Ghana menyentuh tanganku. Tidak ada getaran indah yang dulu selalu kurasakan saat berdua dengannya. Entah rasa-rasa itu hilang begitu saja tanpa kurencana.

"Sya, kamu apa kabar? Aku kangen."

"Alhamdulillah."

"Kerjaan lancar?" Ghana memainkan jemariku. Setiap kutarik, dia mengambil kembali. Begitu terus hingga aku putuskan menjauh untuk membuat jarak dengannya.

"Ghana, aku sudah tahu semuanya. Untuk apa kamu datang kali ini?"

"Aku juga tahu tentang kamu dan Heri."

Alhamdulillah kalau begitu. Memang seharusnya dia bersikap ksatria. Dia sudah bersalah, memang seharusnya mempertanggung jawabkan perbuatannya.

Aku jadi tak perlu terlibat drama cinta segi empat memusingkan jika begini. Meskipun aku iba melihat Ghana di atas kursi roda akan tetapi hanya sebatas itu saja. Hati ini untuknya sudah mati.

"Maaf ya, Sya. Kamu harus berkorban. Pura-pura jadi tunangan Heri untuk menggantikan Nela. Aku tahu pasti sulit buat kamu."

"Apa?"

"Aku nggak marah kok, Sya. Andreas sudah cerita bahwa semua ini cuma kecelakaan, kamu menyelamatkan Heri dari rasa malu."

"Andreas tahu dari mana? Dia nggak datang waktu itu. Dari Fani?"

Kamar KostTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang