Pagi itu aku hendak berangkat ke kantor pukul tujuh. Seperti biasa, hanya Ibu yang berada di rumah saat hari-hari kerja. Sedangkan kami bertiga, aku, Ayah dan adikku masing-masing punya kegiatan di luar rumah. Hanya sekali-sekali saja Ibu mengikuti arisan dasa wisma, berkumpul dengan tetangga atau menghadiri tausiah dan pengajian.Dulu, Ibuku seorang pegawai bank. Sama sepertiku. Namun sejak mengandung, Ayah meminta beliau untuk fokus mengurus keluarganya. Padahal di masa itu, karier Ibu sedang bagus-bagusnya. Menjadi kepala cabang di salah satu kantor besar di pusat kota. Jika aku ada di posisinya, mungkin akan berfikir berkali-kali untuk berhenti namun Ibu pernah berkata, surganya ada pada ridho Ayah.
"Assalamu'alaikum, Nasya." Aku terkejut melihat Heri sudah sangat rapi pagi-pagi itu.
"Wa'alaikum salam, Heri? Pagi-pagi sudah sampai sini aja."
Pandangan kami bertemu dan jujur saja aku bagai menyentuh lubang stop kontak dengan telunjuk. Bagaikan ada getaran yang tak biasa di hatiku, entah dengan dia namun kurasa sama. Kami langsung sama-sama menoleh ke kiri dan kanan sambil mengulum senyum.
"Yuk berangkat sama-sama, aku antar kamu." Heri mengangguk dengan tubuh sedikit menunduk saat Ayah melintas, membuka pagar rumah agar mobilnya bisa lewat.
"Aku ... harus tiba sebelum jam delapan, Her. Kalau naik mobil nanti terlambat."
"Aku pakai motor kok, Sya. Nggak apa-apa kan rambutnya berantakan dikit?"
Aku dan Heri lagi-lagi berpandangan sambil saling tersipu. Duh. Kita kenapa sih ini.
Semalam saat mengantarkanku pulang, Heri sempat bicara pada Ayah. Meminta maaf karena baru tiba di rumah menjelang dini hari. Sebenarnya Ayah mengerti karena sebelumnya aku sudah berkirim pesan bahwa Nela mengalami kecelakaan dan mengirimkan foto Nela di atas ranjang rumah sakit.
Ayah malah bilang agar aku menunggu hingga keluarga Nela datang. Bagaimanapun beliau sangat mengerti persahabatan kami berempat yang sangat solid dan Ayah selalu bilang kami seperti anak-anak kembar baginya. Jika Ayah tahu kami berempat berkumpul di rumah, Ayah selalu membelikan kami makanan banyak sekali.
Malam itu Heri mengenalkan diri sebagai teman dekat. Tentu saja Ayah mengernyit dengan spesifikasi teman dekat karena selama ini teman dekatku adalah Ghana. Namun Ayah memilih tak bertanya lebih lanjut, hanya diam menyambut kami pulang dan menyimak semua penjelasan Heri kenapa kami terlambat.
Hingga pagi tadi, Ayah juga memilih untuk tidak bertanya meskipun kulihat sorot mata penuh tanya itu acap kali beliau melintas di antara kami berdua.
"Assalamu'alaikum, Pak," sapa Heri sambil mendekat, mencium punggung tangan Ayah.
"Wa'alaikum salam, Heri. Wah gagah bener, Le. Sudah sarapan?"
"Alhamdulillah. Ada salam dari Ibu dan Bapak."
"Oh Wa'alaikum salam. Kapan-kapan ajak main ke sini, silaturahmi."
"Insya Allah, Pak."
What.
Ayah basa-basinya nggak lucu. Kenapa dia minta orang tua Heri datang ke rumah untuk silaturahmi. Semoga saja Heri tidak menanggapinya dengan serius.
Setelah berpamitan pada orang tuaku, kami berjalan menuju motor matic milik Heri yang dipakir di luar pagar rumah. Heri membantuku mengancingkan helm sambil merapikan rambutku. Ya ampun Heri kamu so sweet banget sih. Ghana bahkan tidak pernah peduli meski rambutku awut-awutan. Menurut dia malah seksi.
Perlahan dia memacu sepeda motornya dengan kecepatan sedang. Tiba-tiba dia menarik tanganku melingkari pinggangnya, "pegangan, Sya."
Kurasakan tangan Heri sangat lembut menyentuh tanganku. Aroma tengkuknya sangat segar beraroma citrus khas parfum pria dengan kulit yang bersih meski kulihat beberapa bekas jerawat di sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kamar Kost
RomanceAda pepatah bijak mengatakan, jangan pernah menceritakan kelebihan, kebaikan pasangan kalian pada orang lain. Karena itu sama halnya membuka jalan dan memancing penasaran bagi orang lain untuk masuk ke dalam hubungan sebagai pihak ketiga. Begitu pu...