Presiden Suite

919 76 24
                                    

Bilal membaca berulang-ulang pesan dari Miranti bertuliskan kangen. Hanya satu kata namun dampaknya begitu luar biasa. Seharusnya Bilal mengerti arti tamparan keras di wajahnya saat itu, Miranti sedang cemburu dan itu memang karakter wanita jika merasa memiliki seorang kekasih.

"Maaf, aku terlalu lama mengabaikanmu." Bilal membatin sambil berusaha mencari kata-kata yang pas untuk membalas pesan rindu itu.

[Assalamu'alaikum, Mira.] Bilal membalas pesan dengan jantung berdebar-debar. Kakinya bergerak-gerak gugup dengan jawaban Mira.

Centang abu-abu.

Itu artinya dia harus menunggu untuk beberapa saat dalam ketidak pastian. Pemuda tampan itu memandang ke arah kolam renang di hadapannya. Mengingat kembali saat pertama kali keluarganya pindah dan memiliki fasilitas kolam renang pribadi.

Apalagi saat di mana, Ayah pertama kali berenang. Hanya mengenakan celana dalam dan membawa gayung. Untung saja hanya Bilal yang melihat.

"Ya ampun, lama sekali dia membuka pesanku." Bilal menarik rambutnya, merasa kesabarannya mulai menipis.

Bilal merasa urusan dalam percintaanya selalu nahas. Jatuh cinta, ditinggalkan, entah karena hati atau situasi. Pelik.

Beberapa tahun yang lalu, seorang wanita pernah mengajak dia kabur ke luar negeri. Ke Alaska dan berganti identitas.

"Aku tidak ingin menikah dengan Tuan Alan, Bil." Lea, wanita yang sedang hangat menjalani pendekatan dengannya menolak untuk dinikahi pria yang usianya terpaut jauh dari dia.

Lea adalah gadis sebatang kara yang ditinggal mati oleh satu-satunya Kakak perempuannya. Sedangkan Alan adalah mantan pasangan hidup saudara Lea tersebut.

Alan merasa bersalah karena membuat Lea harus menghadapi banyak masalah hidup pasca kepergian saudara perempuannya yang mati karena melindungi Alan, hingga tak ada cara lain untuk menebus rasa bersalah kecuali menjadikan Lea seorang istri.

"Kau akan menikah dengan kepala mafia dan ingin kabur denganku, Lea? Ya ampun."

"Bil, aku tidak punya perasaan apapun dengan Tuan Alan. Aku ... tidak cinta."

Masih tajam dalam ingatan Bilal bagaimana Lea mengiba padanya untuk bersedia menemani dalam pelarian, namun pemuda itu sadar. Akan banyak hati yang terluka jika dia menuruti keinginan Lea saat itu.

Meskipun naif rasanya seorang lelaki menolak wanita kaya raya dan cantik juga sendiri seperti Lea. Masalahnya, pria bernama Alan adalah seorang jawara. Mafia terkenal sekaligus pebisnis, sialnya lagi Alan merupakan salah satu penanam saham di perusahaan milik saudara iparnya.

"Menikah tidak butuh cinta, tapi kedua mempelai, saksi dan ...."

"Aku ingin mati saja kalau kamu terus bicara omong kosong!"

Bilal merasa serba salah.

Pemuda yang saat itu bahkan belum menyelesaikan kuliahnya sungguh tak punya nyali untuk sekedar menimpali keinginan Lea.

"Aku takut, Lea. Bagaimana jika Tuan Alan marah?"

"Kau takut pada Tuan Alan, Bil? Takutlah pada Tuhan."

"I-iya, itu pasti. Tapi kamu akan segera dinikahi salah satu pria tampan, kaya dan jagoan. Dia merupakan paket lengkap, mesin ATM dan juga sekuriti sistem. Duh ngomong apaan sih ini."

Lea menangis terisak dan putus asa mendengar penolakan dari Bilal saat itu.

Lamunannya buyar seketika saat melihat Ibu pura-pura batuk sambil berjalan mendekat. Wanita setengah baya itu membawakan satu map warna coklat di tangannya.

Kamar KostTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang