Bab 39

674 70 13
                                    

Dokter Niko kembali menyapa Nasya yang sudah siuman. Tubuh Nasya sudah dibersihkan sehingga terlihat jelas bekas luka kecil-kecil di kulitnya yang putih bersih.

"Untung nggak kena wajah, cuma gosong karena asap." Dokter Niko mengulas senyum sambil memeriksa perban-perban di tubuh Nasya.

"Dokter ...."

"Ehem."

Nasya menggigit bibirnya sambil mengalihkan pandangan ke bagian tubuh yang lain. Luka terkena sisa pembakaran memang terhalang tubuh Ghana, meski beberapa di antara benar-benar mengenai kulitnya. Ghana melindungi wajah Nasya dengan cara mendekapnya.

"Ghana ... bagaimana keadaannya?"

"Ghana? Teman kamu namanya Ghana?"

"Iya, apakah dia baik-baik saja?"

Dokter Niko menarik kursi di samping ranjang Nasya. Dokter tampan itu melipat tangannya di dada dengan sorot mata mengawang. Perlahan-lahan dia mulai membicarakan kondisi Ghana pasca mengalami luka bakar di sekujur tubuhnya.

Pemuda itu terpaksa di tempatkan di ruang ICU karena kondisinya yang tidak stabil.

Berita tentang musibah yang menimpa Nasya dan Ghana sampai juga ke telinga Nela. Entah harus tutut bersedih atau merasa senang, namun baginya ini adalah sebuah peluang.

"Nasya dan Ghana terbakar? Terima kasih Tuhan." Nela membatin saat membaca pesan-pesan dari Fani.

Fani sengaja memberitahukannya kepada Nela karena bagaimanapun pernah ada hubungan special antara Nela dan Ghana dan Fani berharap agar sahabatnya itu bersedia memberikan dukungan moril kepada keluarga Ghana.

[Om sama Tante Hermas sedih banget, gue nggak tahu lagi mesti gimana. Lo kalau bisa ke sini ya, Nel.] Bunyi pesan yang di kirim oleh Fani.

[Gue bisa apa dong, Fan? Sedangkan Bokap gue lagi ancang-ancang buat bikin tuntutan ke Ghana saat ini.]

[Nel, please. Mereka nggak peduli itu semua saat ini. Lo datang dan temani gue, oke.]

Nela tersenyum licik saat memandang dirinya di cermin. Refleksi tubuh indah yang selalu dia banggakan tanpa cela. Bagaimanapun kali ini nasib baik dirasa sedang berpihak kepadanya.

[Oke, gue siap-siap dulu ya.]

Nela langsung membuka lemari pakaian, mencari-cari baju favorit yang dulu sering membuatnya disanjung oleh Heri saat masih bersama. Sebuah jaket rajut berwarna ungu terang pemberian Heri akhirnya menjadi pilihan.

Nela merasa kesempatan baginya telah tiba dan semesta memberinya jalan untuk bersatu kembali dengan Heri.

Keadaan begitu lengang saat Heri dan Ayahnya Nasya tiba di rumah sakit. Hanya beberapa keluarga pasien yang terlihat berbaring di kursi-kursi sepanjang koridor bangunan tua itu.

"Nak, Ayah dulu saja yang masuk atau bagaimana? Takutnya nanti Nak Heri takut lihat wajah Nasya,"ucap Ayah.

"Kita masuk sama-sama saja, Pak. Ayo."

Heri merangkul bahu pria setengah baya itu, dan mendorong pintu kaca ruang UGD.

Kedua laki-laki itu menebar pandangan namun tirai-tirai pemisah ranjang pasien semuanya tertutup, hanya kaki ranjang yang nampak dari bawah.

"Suster, anak saya di ranjang yang mana?" Ayah Nasya menyapa seorang perawat yang melewatinya.

"Anak bapak?" Perawat itu mengernyit, "siapa namanya?"

"Nasya, Sus. Nasya Dzulaikha."

"Oh, yang itu. Pasien luka bakar ya?"

Ayah dan Heri saling berpandangan, mengangguk bersamaan.

Kamar KostTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang