Malam itu setibanya di rumah, sepulangnya dari acara meet up, kuputuskan untuk memberitahu kedua orang tuaku tentang rencana Heri berkunjung Sabtu besok. Ayah dan Ibu nampak bingung dengan kunjungan yang dimaksud.
"Dalam rangka apa, Nduk? Silaturahmi?" Ayah menyesap secangkir wedang jahe buatan Ibu di atas meja. Dari sikapnya, Ayah terlihat hanya ingin meyakinkan saja. Bukankah biasanya orang tua memiliki feeling masing-masing terhadap anak-anaknya.
"Bukannya waktu itu Ayah yang minta dia dan keluarganya untuk ke sini?"
"Iya, tapi ini tema-nya apa supaya Ayah nggak jantungan. Mempersiapkan mental kalau-kalau .... "
"Kalau apa, Ayah?" Aku menyadar di bantalan kursi sambil sedikit memposisikan miring. Sungguh lelah setelah beberapa jam berpura-pura tersenyum untuk Nela. Mendengarkan dia menyanjung Heri setinggi langit, rasanya membuatku bagai kebanyak makan mayonnaise.
Enegh.
"Kalau dia langsung melamarmu bagaimana?" tanya Ayah sambil menamati wajahku.
"Bagaimana?"
"Ya Ayah harus jawab bagaimana, Nduk. Cah Ayu."
Aku menarik nafas dalam. Benar juga kata Ayah. Kalau Heri langsung melamarku bagaimana, apalagi keluarganya selama ini menganggap kami sudah bertunangan malam itu. Sesungguhnya aku masih merasa bingung dengan hubungan ini, dengan rasa-rasa yang belum terkonfirmasi.
"Sya! Malah bengong," sentak Ibu sambil menggerakkan selembar tisu pada wajahku.
"Terima saja lamarannya, Ayah."
Ayah dan Ibu saling berpandangan lalu tersenyum jahil sekali menggodaku. Ayah bahkan mencolek lenganku sambil mengerling.
"Pacaran ya, sama Hendro? Hah! ... eh ciye. Anak Ayah mau kawin."
"Heri, Ayah. Kok Hendro sih." Kututup wajah dengan dua telapak tangan sungguh sangat malu. Ayah menggodaku. Bisa-bisanya.
Ayah nampak tidak keberatan menerima Heri karena menurutnya, Heri laki-laki yang baik dan bertanggung jawab. Heri juga sangat sopan saat bicara dengan Ayah, tidak seperti Ghana yang terkadang urakan dengan menyebut Ayahku, old Brother.
Aku tidak yakin dengan Heri namun, perasaanku mengatakan bahwa Heri adalah orang yang tepat untuk mendampingiku. Menjadi Bapak dari anak-anakku kelak. Heri itu pria misterius yang membuat hatiku saat ini serta merta galau dan merindu setengah mati.
Tentunya sebagai wanita normal, aku berharap memiliki seorang imam yang soleh dalam rumah tangga serta bisa memimpin keluarga kami kelak. Entah kemana perginya rasa cintaku pada Ghana saat ini. Takdir menggoreskan luka sekaligus penawarnya bersamaan. Aku hanya merasakan kecewa namun tidak sempat patah hati.
Malam itu aku lewati dengan perasaan gundah namun justru membuat mimpi dalam tidurku menjadi tak karuan. Lagi-lagi masih tentang Heri.
Dalam mimpiku, aku terkejut saat Andreas ikut serta dalam rombongan keluarga Heri. "Eh, kok kamu bisa ikut. Fani mana?"
Andreas tersenyum yang sulit kutangkap maknanya, "bukan cuma cewek-cewek saja yang punya rahasia, cowok juga kali."
Ish nggak jelas. Apa sih.
Heri, Bapaknya, Andreas dan Ayahku serta beberapa pria lain berkumpul di ruang tamu. Saat yang lain sedang berbincang serius, Andreas tiba-tiba masuk ke ruang tengah.
"Sya, kalau nikahnya tiga bulan lagi kelamaan nggak?" Andreas memicingkan mata ke arahku.
"Kelamaan?" Aku balik bertanya dengan intonasi bingung.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kamar Kost
RomansaAda pepatah bijak mengatakan, jangan pernah menceritakan kelebihan, kebaikan pasangan kalian pada orang lain. Karena itu sama halnya membuka jalan dan memancing penasaran bagi orang lain untuk masuk ke dalam hubungan sebagai pihak ketiga. Begitu pu...